Minggu, 18 November 2012

SEJARAH BUDAYA SITUS-SITUS DI TULUNGAGUNG DIGUNAKAN DALAM ACARA MGMP BAHASA INDONESIA SE-KABUPATEN TULUNGAGUNG TAHUN 2009


1. MUSEUM DAERAH KABUPATEN TUKUNGAGUNG.
Museum Dearah Kabupaten Tulungagung dibangun pada tahun 1996, berlokasi di Jalan Raya Boyolangu KM 4, kompleks SPP/SPMA Tulungagung. Museum dengan luas lahan 4.845 m2 dan luas bangunan 8 x 15m. Museum ini difungsikan sebagai tempat menyimpan koleksi yang semula disimpan di Pendopo Kabupaten yang selanjutnya direncanakan pengembangan pembangunannya di komplek SPP/SPMA.

Museum merupakan tempat penyimpanan benda-benda koleksi yang bernilai penting bagi sejarah dan kebudayaan bangsa. Selai itu merupakan sebuah saran untuk memberikan informasi sebanyaknya kepada masyarakat mengenai fungsi dan nilai suatu benda dalam kehidupan manusia. Benda-benda koleksi Museum tidak hanya antik, alngka dan etnis, juga merupakan rekaman perjalanan perdaban sebuah bangsa sehingga dapat dijadikan sarana pendidikan bagi masyarakat.

Gagasan didirikannya MuseumDaerah Tulungagung dimaksudkan sebagai wadah/tempat penyelamatan warisan budaya, tempat study dan rekreasi bagi pelaja, mahasisw maupun bagi masyarakat luas. Museum Daerah Tulungagung merupakan museum umum yang koleksinya terdiri dari kumpulan bukti material manusia dan lingkungannya yang berkaitan dengan berbagai cabang seni, disiplin ilmu dan teknologi. Dari berbagai jenis benda warisan budaya yang disimpan sebagai koleksi Museum saat ini dapat dikelompokkan sebagai koleksi arkeologi dan etnografi.

Koleksi arkeologi yang ada di Museum Daerah Tulungagung berupa peninggalan benda bergerak berupa arca yang sebagian besar terbuat dari abtu andesit dan sampai sekarang jumlah koleksinya sebanyak 100 buah (observasi 2007). Koleksi etnografi juga teknologi tradisional berupa peralatan pertanian dan perikanan yang mempunyai nilai sejarah bagi keberadaan kota Tulungagung yang dulunya dikenal dengan Kadipaten Ngrowo.

PENDAHULUAN.
Pada dasarnya candi berasal dari kata candika grha, yang mempunyai arti Rumah Dewi Candika. Dewi Candika ialah merupakan Dewi Maut, dewi yang dipuja-puja oleh orang yang beragama Hindu pada jaman dahulu kala. (Jakob Sumardjo; 1986:9). Secara umum candi di Indonesia merupakan kuburan para raja-raja. Biasanya abu jenasah raja tersebut ditaruh disebuah batu perabuan yang dinamai peripih. Peripih merupakan sebuah batu yang mempunyai sembilan lubang. Sedangkan lubang yang berada ditengah berisikan abu jasad raja, serta lubang-lubang yang berada disekelilingnya berisikan peralatan  upacara keagamaan (Baca R. Soekmono; 1990: 80-81). Biasanya peralatan-peralatan tersebut yang dipuja oleh sang raja semasa hidupnya. Akan tetapi walaupun Agama Islam sudah masuk di Indonesia serta mengakulturasi kebudayaan, kita sebagai pewaris sehendaknya masih melestarikan budaya peninggalan nenek moyang.

Melihat pengertian tersebut memang Candi sebenarnya adalah bangunan untuk memuliakan orang yang telah wafat, khususnya untuk para Raja dan orang-orang terkemuka. Yang dikuburkan (dalam bahasa Kawi; ”Cinandi”) di situ bukanlah mayat ataupun abu jenasah melainkan bermacam-macam benda, seperti potongan-potongan berbagai jenis logam dan batu-batu akik, yang disertai dengan saji-sajian. Sajian-sajian tersebut biasanya dinamakan ”Pripih”,dan dianggap sebagai lambang zat-zat jasmaniah dari sang raja yang telah bersatu kembali dengan dewa penitisnya.

Mayat seorang Raja yang meninggal dibakar dan abunya dibuang atau dihanyutkan ke laut. Hal ini dilakukan dengan berbagai upacara dan upacara-upacara serupa ini nantinya dilakukan lagi beberapa kali dengan antra waktu yang tertentu. Maksudnya ialah menyempurnakan roh agar dapat bersatu kembali dengan dewa yang dahulu menitis menjelma di dalam sang raja itu. Upacara terakhir adalah upacara ”sraddha”. Pada kesempatan ini roh itu dilepaskan sama sekali dari segala ikatan keduniawian yang mungkin masih ada dan lenyaplah penghalang untuk dapatnya bersatu kembali roh itu dengan penitisnya. Sebagai lambang jasmaniah dibuatkanlah sebuah boneka dari daun-daunan, yang disebut ”Puspasarira”. Sebagai penutup upacara ”sraddha” maka ”puspasarira ini dihanyutkan ke lautan.

Setelah sang raja lepas dari alam kemanusiaan dan menjadi dewa, didirikanlah sebuah bangunan untuk menyimpan ”pripih”, tersebut di atas. Pripih ini ditaruh dalam sebuah peti batu dan peti ini diletakkan dalam dasar bangunannya. Disamping dibuatkanlah sebuah patung atau arca yang mewujudkan sang raja sebagai dewa dan patung atau arca ini menjadi sasaran pemujaan bagi mereka-mereka yang hendak memuja sang raja.

Candi sebagai semacam pemakaman hanya terdapat dalam Agama Hindu. Candi-candi Agama Budha dimaksudkan sebagai tempat pemujaan dewa belaka. Di dalamnya tidak terdapatka peti ”peripih” dan arcanya tidak mewujudkan seorang raja. Abu jenasah, juga dari para bhiksu yang terkemuka, ditanam dis ekitar candi dalam bangunan ”stupa”.

Dengan demikian arca perwujudan yang melukiskan sang raja sebagi dewa dan yang menjadi arca utama di dalam candi, umumnya adalah arca Siwa. Kerap kali arca perwujudan ini berupa lambang siwa saja, yaitu ayng berupa ”Lingga”. Ada juga kalanya arca perwujudan ini berupa Dewa Agama Budha, tetapi dalam hal ini agamanya bukanlah Agama Budha yang sesungguhnya melainkan ”Tantrayana”.

1. CANDI MIRIGAMBAR ATAU CANDI ANGLING DHARMA.
Situs bangunan Candi Mirigambar  atau SAngling Dharma mempunyai Panjang 8,5 m, Lebar 7,7 m dan Tinggi 2,35 m. Candi ini terletak di Dusun Mirigambar, Desa Mirigambar, Kecamatan Sumbergempol. Bahan Bangunan Candi terbuat batu bata dan batu andesit, yang dibangun di atas areal tangah dengan Panjang 28,5 m dan Lebar 19 m. Candi Mirigambar berpintu masuk di sisi barat dengan tinggi dari kaki hingga atas (yang telah rusak) adalah 110 m dan lebar tangga besar masuk 140 m.

Candi-candi di Jawa Timu, khususnya Candi Mirigambar lebih banyak berfungsi untuk pemakaman sedangkan candi di Jawa Tengah untuk tempat peribadatan. Pada sebagian batu Candi Mirigambar terdapat tulisan singkat berupa angka tahun 1214 Saka dan 1310 Saka. Berdasarkan data ini dapat dipastikan bahwa masa pembangunan dan penggunaannya berlangsung pada akhir abad XIII hingga abad ke XIV. Melihat angka tahun tersebut diperkirakan Candi Mirigambar merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit yang keberadaanya sekarang memerlukan uluran tangan yang ahli dalam berbagai disiplin ilmu untuk melestarikannya.

Pada tahun 1915 pernah diteliti bahwa Candi Mirigambar kondisi sangat rusak dan memprihatinkan hingga saat ini. Keadaan sebagian candi sudah runtuh, terutama bagian atap. Pintu masuk candi bagian barat dan dilengkapi dengan pipi tangga. Pada semua sisi kaki candi dilengkapi dengan relief-relief. Namun relief yang ada di sisi timur telah aus dimakan usia. Sampai saat ini relief tersebut belum diketahui alur ceritanya hanya umumnya menggambarkan tokoh manusia dan binatang. Di sini perlu penanganan yang sangat serius untuk menjaga dan melestarikannya, yang nanti dpat digunakan sebagai aset wisata budaya.

2. SITUS CANDI PENAMPE'AN ATAU CANDI ASMARA BANGUN.
Candi ini berada di tempat dataran tinggi, sebelah utara kota kabupaten Tulungagung, tepatnya berada di Desa Geger, Kecamatan Sendang. Candi ini juga terletak di sebelah selatan Gunung Wilis dengan ketinggian 974 m di atas permukaan laut. Komplek candi tepat dikelilingi tumbuhan perkebunan teh (milik KOdam V Brawijaya/ Ini observasi KS2B tahun 2006).

Candi ini merupakan sebuah candi berundak teras yang membujur barat ke timur, yang terdiri dari 3 teras dengan ketinggian 9,74 m, yaitu :

TERAS I. Teras bawah sendiri adalah tempat berdirinya Prasasti Tinulad (tulisan/bahasanya Jawa Kuno) yang diperkirakan 820 saka atau 898 M. Menurut para ahli bahwa prasasti Tinulad merupakan suatu copyan prasasti yang pembuatannya lebih ditekankan pada unsur legitimasi penguasa raja. Prasasti ini menyebutkan seorang Raja Putri bernama Mahesa Lalatan.

Di bawah Prasasti Tinulad, terdapat bangunan semacam altar yang disusun dari batuan andesit berdenah lonjong, ukuran altar (Panjang 5 m, Lebar 2,5 m dan Tinggi 1,5 m). Di depan Prasasti Tinulad terdapat arca Bima (yang sekarang sudah tidak ada kepalanya) dan terdapat dua (2) arca Dwarapala, ayitu tokoh dua (2) arca tokoh wanita dan sebuah bola batu (sudah tidak ada di tempat lokasi).

Selain itu ada Prasasti yang dipahat di atas tujuh (7) lempengan tembaga inbi dikenal dengan Prasasti Sarwadharma, yang berangka tahun 1191 saka dan dikeluarkan tepatnya pada tanggal 31 Oktober 1269 M dan dapat diketahui pula bahwa kekunoan Candi Penampe'an, berhubungan dengan Tokoh Kertanegara (tokoh yang mengubah upacara keagamaan serta segala upacara agama yang mati dihidupkan kembali).

Teras II. Di teras ini hanya terdapat "makara Bermahkota", teras ini tempat untuk menunggu, kemudian melalui sebuah tangga masuk di tengah teras ke atas ketiga.

Teras III. Teras yang paling atas terdapat sebuah tangga masuk di tengah yang menghubungkan teras ketiga dan kedua. Pada teras ketiga terdapat 3 buah bangunan yang berada di tengah tepat di depan tangga masuk candi berupa candi induk yang berbentuk kura-kura dengan ukuran pan jang 9,70 m, lebar 4,90 m dan tinggi 1,10 m. Bangunan tersebut berbhan batu andesit dan batu bata sebagai tulisannya.

Di bagian atas bangunan candi terdapat kura-kura raksasa yang pernah juga ditemukan sebuah prasasti berangka tahun 1382 saka dan sebuah arca tokoh wanita dengan anka tahun 1116 saka. Selain itu juga diatasnya candi induk terdapat sepasang arca naga bermahkota, kepala garuda, sepasang kera, didepannya candi induk terdapat arca Dwarapala. Di sebelah candi induk tepatnya di sebelah selatannya terdapat sebuah relief hewan, seperti katak, celeng, macan dan lain-lain. Intinya semua hewan yang ada pada hutan tersebut dan relief yang menggambarkan tiga (3) gajah untuk membajak, tetapi sekarang relief tersebut sudah dipindahkan ke museum trowulan-Mojokerto. Mayoritas arca-arca yang ada di situs Candi Penampe'an sudah hilang dan lainnya telah diselamatkan atau ditaruh di Museum Trowulan Mojokerto.

Candi ini dibangun diperkirakan pada masa Kerajaan Kadiri abad ke 10 M. Namun kesejarahannsitus tersebut dapat dikenali melalui penemuan prasasti. Dari komplek percandian ini dijumpai dua (2) jenis prasasti, yakni prasasti yang dipahatkan pada batuan andesit dan lempengan tembaga. Prasasti berbahan batuan andesit tersebut dikeluarkan oleh Rakai Watukura tahun 820 saka, tokoh yang naik tahta Kerajaan Mataram Kuno karena itu, diyakni memang meluaskan kekuasaan ke Jawa Timur. Berkenaan dengan keberadaan prasasti tersebut, ada pendapat para ahli yang mangatakan bahwa prasasti tersebut adalah sebuah prasasti Tinulad, copyan prasasti yang pembuatannya lebih ditekankan pada unsur legitimasi seorang Raja atau penguasa. Mereka yang menerima versi ini berkeyakinan bahwa situs candinya tidaklah setua itu (abad X).

Prasasti dari Tembaga, diketahui bahwa kompleks kekunaan Candi Penampe'an berhubungan dengan tokoh Kertanagara yang disebut sebagai Narasimhamuti. Diceritakan pula bahwa Kertanagara mengubah upacara keagamaan serta segala upacara agama yang mulai dihidupkan kembali. Hal ini dikaitkan dengan acara Tantrayana yang dianut Kertanagara.

Prasasti Penampe'an yang dipahatkan di atas tujuh lempengan temabga yang dikenal pula sebagai Prasasti Sarwadharmma itu berangka tahun 1191 saka dan dikeluarkan tepatnya pada tanggal 31 Oktober 1269. Di dalammnya disebutkan pula pembagian kasta dalam kelompok-kelompok masyarakat (Kasta).

Fungsi Candi tentu dihubungkan dengan masalah Pemujaan yang bersifat Hindu, bila dihubungkan dengan penggambaran kura-kura yang melandasi bangunan utamanya, seperti yang diketahui mitologi Hindu, kura-kura adalah salah satu "awatara" Penjelmaan Wisnu. Begitu pula bila dikaitkan dengan prasasti terbuat dari batuan andesit yang berukuran besar yang terdapat dipercandian ini atau dapat pula dikatakan bersifat Tantris (Buddha-Tantrayana) bila dihubungkan dengan isi prasasti lain yang terdapat di sana yang berupa tujuh lempengan tembaga.

3. SITUS CANDI DADI.
Situs Bangunan Candi Dadi mempunyai Panjang 11 m, Lebar 14 m, Tinggi 6,5 m. Terdapat juga sumur dengan kedalaman 3,5 m dan diameter 3,5 m. Lokasi Candi dadi berada di atas bukit pegunungan Wajak bagian selatan dan Candi ini berbahan batu andesit, tanpa tangga (undak-undak) di atas batu tersebut terdiri kaki candi dengan denah segi delapan. Bangunan Candi Dadi diperkirakan dibangun pada masa Kerajaan Majapahit abad ke 13-14M. Secara data historis Candi Dadi ini belum ada sumber data tertulis yang akurat, maka  ini perlu penelusuran secara mendetail baik data arkeologis data sumber sejarah.

Bangunan candi ini terdapat sumur, diduga sumur ini dipakai sebagai tempat pengabuan pembakaran tokoh penguasa. Keletakkan pada puncak sebuah bukit ini dihubungkan dengan anggapan masyarakat kuno bahwa puncak gunung merupakan tanah suci. Sebagai sebuah tradisi yang berlangsung sejak jaman prasejarah yang dipercaya bahwa arwah para leluhur berada di sana. Masyarakat penganut budaya Hindu juga memanfaatkan puncak gunung untuk meletakkan bangunan sucinya. Hal ini berkaitan dengan mitos keagamaan dalam Hindu menganggap bahwa tempat bersemayamnya para dewa (Sang Hyang Widhi Wasa) Tuhan Yang Maha Esa adalah tempat yang tinggi.

Sedang sifat keagamaan yang melatarbelakangi pendiriannya belum diketahui (tidak ditemukannya data/sumber yang menunjang). Di sekitar Candi Dadi terdapat juga Candi Butho, Candi Gemali (kedua candi berbentuk batu andesit yang berbentuk seperti tempat berwudlu yang menyerupai kepala naga yang memakai mahkota berukuran kecil. Ke-2 candi ini hingga sekarang belum ada/tidak ada entah kemana keberadaannya).Selain ke-2 Candi tersebut terdapat juga Candi Urug (tidak ada/keberadaannya tidak ketahui).

Situs Bangunan Candi yang berada di atas bukit pegunungan yang indah dan jika dikelola dengan baik serta sarana prasarana yang mendukung diharapkan dapat digunakan sebagai aset wisata sangat bagus bagi Kabupaten Tulungagung.

4. SITUS CANDI SANGGRAHAN (CANDI CUNGKUP).
Bangunan Situs Candi Sanggarahan atau Candi Cungkup, Panjang 12,60 m, Lebar 9,05 m dan Tinggi 5,86 m. Lokasi Candi Sanggrahan dengan ukuran luas 54m x 50 m, berada di Dusun Sanggrahan Desa Sanggrahan Kecamatan Boyolangu. Candi ini berada pada teras atau undakan berukuran 51 m x 42,5 m, sedang pagar penahan undakan adalah batu setinggi 2 sampai 2,5m.

Candi Sanggrahan ini terbagi menjadi berapa bagian yaitu kaki, tubuh dan atap. Fungsi utama Candi Sanggrahan sebagai tempat pemujaan, hal ini didukung oleh keterangan lain yang menyebutkan bahwa Candi Sanggrahan sebagai suatu atau sebuah tempat persinggahan sebelum diadakan upacara sekar atai nyekar di candi Gayatri atau Candi Boyolangu.

Candi Sanggrahan diduga sebagai tempat yang digunakan untuk beristirahatnya rombongan pembawa jenasah seorang Ratu Majapahit bernama Tribhuana Tunggadewi Djajawisnuwardhana atau Gayatri yang bergelar Rajapatni yang memerintah abad ke 13 M. Gayatri wafat 1330 M yang diduga abu jenasahnya disimpan di Candi Boyolangu atau Candi Gayatri.

Bangunan Candi Sanggrahan terbuat dari batu andesit (batu kali), diperkirakan berdiri pada masa Kerajaan Majapahit abad 13. Bangunan Candi terdiri atas 4 tingkat yang masing-masing berdenah bujursangkar dengan arah hadap ke barat. Di tempat ini dulu terdapat 5 buah arca, demi keamanan dari pencurian sekarang arca tersebut disimpan di Museum Tulungagung. Candi Sanggrahan ini tidak dapat direkonstruksi lagi karena kerusakannya yang sangat parah khususnya bagian atap, untuk itu perlu perhatian dan pelestarian bagi pemerintah daerah dan masyarakat pada umumnya. Untuk pengembangan dan pemberdayaan candi ini dapat digunakan sebagai aset wisata budaya, maka perlu ada seperti gelanggang festival, pasar seni, kafe tradisional dan gedung arsip dan dokumen yang kesemuanya itu dibangun dalam lingkungan candi.

5. SITUS CANDI BOYOLANGU (CANDI GAYATRI).
Bangunan Sutus Candi Boyolangu atau Candi Gayatri, Panjang 11,40 M, Lebar 11,40M, Panjang 2,30 M. Bangunan candi ini terdapat sebuah arca Wanita Budha dan berapa umpoak batu besar, 2 umpak yang berangka 1231 Saka (1369 M) dan 1322 Saka (1389 M). Arca wanita Budha ini terbuat dari batu andesit (batu Kali) yang berukuran tinggi 120 cm, lebar 112 cm dan tebal 100 cm. Tiinggi Lapik arca 70 cm, lebar 168 cm dan tebal 140 cm. Selain itu candi Gayatri yang berdenah segi empat dengan tangga masuk di bagian barat, tersisa hanya baturannya berukuran 11,40 m x 11,40 m dan ukuran penampik (tangga masuknya) 2,68 m x 2,68 m. 

Situs Candi Boyolangu atau Candi Gayatri berada di tengah pemukiman penduduk, di Dusun Dadapan, Desa Boyolangu, Kecamatan Boyolang. Candi ini ditemukan pada tahun 1914 dalam timbunan tanah oleh orang Belanda (tidak disebutkan namanya siapa ?). Bangunan Situs Candi Boyolangu atau Candi Gayatri dibangun masa Kerajaan Majapahit pada Pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1359-1389).

Situs Candi Boyolangu (Candi Gayatri) merupakan tempat pemuliaan dan penyimpanan abu jenasah Gayatri atau Tribhuana Tunggadewi Djajawisnuwardhana dengan gelar Rajapatni. Gayatri ini wafat pada tahun 1330 M. Dalam pemuliaan tersebut Gayatri diwujudkan sebagai "Dhyani Budha Wairacana", dengan sikap tangan "Dharma Cakra Muda" (sedang mengajar atau berbicara). Melihat bangunan candi tersebut diperkirakan sebagai tempat pemujaan, mengingat pada bangunan itu terdapat arca Siwamahadewa,  Arca Dewi Durga, Arca Nandi, Arca Dwarapala (Arca ini telah dipindah ke MUSEUM Tulungagung).

Situs Bangunan Candi Boyolangu atau Candi Gayatri terbuat dari batu bata yang tidak dapat direkonstruksi lagi karena kerusakannya yang sangat parah untuk itu perlu perhatian dan pelestarian bagi pemerintah daerah dan masyarakat pada umumnya. Untuk pengembangan dan pemberdayaan candi ini dapat digunakan sebagai aset wisata budaya, maka perlu seperti gelanggang festival, pasar seni, kafe tradisional dan gedung arsip dan dokumen yang kesemuanya itu dibangun dalam lingkungan candi.

6. GUA SELOMANGLENG.
Situs Gua Selomangleng berada di Sanggrahan Kidul, Desa Sanggrahan, Kecamatan Boyolangu. Kompelk Gua ini menempati areal kehutanan lingkungan BKPH Kalidawir, merupakan lereng jurang Sanggrahan yang cukup terjal. Pada bagian atas mulut Gua terdapat ukiran Kepala Kalla yang berukuran besar, memenuhi hampir seluruh sisa bagian atas batu.

Gua pertama berada di bagian tanah yangrelatif datar, merupakan hasil pengerukan terhadap sebuah bongkah batu besar (monolit) dengan bentuk mulut persegi empat sebanyak dua buah. Gua pertama dihiasi dedngan relief, sedangkan Gua kedua tidak memiliki relief. Lahan yang ditempati bongkahan batu bergua tersebut mel;iptui areal seluas 29,5 m x 26 m. Ukuran bagian dalam gua pertama adalah panjang 360 cm dan lebar 175 cm dan dalam ceruk 380 cm.

Mulut gua itu menghadap ke arah barat. Relief dipahatkan pada panel di dinding sisi timur dan utara. Hiasan itu menggambarkan bagian dari cerita Arjuna Wiwaha, yakni ketika Indra memerintahkan bidadarinya untuk menggoda Arjuna di gunung Indrakila. Digambarkan pula adegan ketika bidadari menuruni awan dari khayangan ke bumi.

Gua kedua terletak di bagian selatan Gua pertama, pada bongkahan batu ayng sama, tetapi pada posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan Gua pertama. Gua selatan ini menghadap ke selatan dan tidak memiliki hiasan apapun didalamnya. Ukurannya adalah panjang 360 cm dan lebar 200 cm. Beberapa meter di sebelah timur Gua tersebut, pada tempat yang lebih tinggi dijumpai bongkahan batu lain. Pada bongkahan batu itu dipahatkan kaki dan batur Candi berdenah perwsegi empat dengan ukuran panjang 490 cm dan lebar 475 cm. Candi berarah hadap ke barat dengan tinggi (dari kaki hingga batur) 110 cm dan lebar tangga masuk disebalah barat adalah 140 cm. Dinding batur ini dihiasi palang Yunani berbingkai bujur sangkar.

Secara khusus tidak dijumpai keterangan yang dapat dipakai untuk mengenal lebih dalam lagi latar belakang sejarah situs tersebut. Menghubungkan kesamaan relief yang terdapat di gua selomangleng dengan yang dijumpai dipertirtaan jalatunda, A.J. Berbet Kempres menduga bahwa situs tersebut dibuat dan digunakan pada akhir abad X. Sebaliknya, berdasarkan cara pemahatan dan penataan rambut tokoh-tokohnya. Pendapat Satyawati Suleiman berpendapat bahwa Gua terbut berasal dari amsa awal Majapahit (Kempres; 1959dan Suleiman; 1981)

PENDAHULUAN.
Masuk dan berkembangnya Agama Islam di Nusantara menandai berakhirnya dominasi Agama Hindu-Budha di Nusanatar, seperti halanya Agama Hindu, Budha dan Islam juga bukan merupakan agama asli bangsa Indonesia. Proses masuknya Agama Islam ke Indonesia melalui berbagai cara, diantaranya lewat perdagangan, perkawinan, pendidikan/surau /pesantren, dan lewat dakwa maupun lewat seni budaya.

Ramainya perdagangan antar bangsa di Indonesia mengakibatkan terjadi akulturasi budaya, yaitu proses percampuran dua budaya yang berbeda, menghasilkan kebudayaan baru tanpa meninggalkan budaya aslinya. Akulturasi budaya Atap Tumpang Masjid dengan Atap Tumpang Meru. "Meru" Dalam bahasa sansekerta artinya Gunung, persepsi budaya Hindu gunung adalah "pelinggih" Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Masa Esa). Demikian juga dalam budaya Hindu, bahwa tempat yang tinggi merupakan tempat yang dapat mendekatkan kepada Sang Pencipta. Wujud akulturasi budaya Atap Tumpang Meru dengan Atap Tumpang Masjid yang terjadi di Masjid daerah Tulungagung, diantaranya masjid :

1. MASJID MAJAN.
Lokasi berada di Desa Majan, Kecamatan Kedungwaru. Di desa Majan ini pernah ada seorang ulama bernama KH. Khasan Mimbar yang pernah mendapat tugas mengurus soal-soal Islam di Kabupaten Ngrowao. Tugas tersebut dari Adipati Ngrowo I, Kyai Ngabei Mangoendirono, atas nama Keraton Surakarta dalam bentuk surat dengan tulisan huruf arab tertanggal 16 Rabiul Akhir 1652 (1727 M).

KH. Khasan Mimbar dalam mengembangkan agama islam di Kabupaten Ngrowo dengan mendirikan masjid Majan dengan ukuran lebar 20 m dan panjang 22 m. Sebelah kiri masjid ada sebuah pendopo masjid di atas tanah seluas 10.000m2. Namun dlam perkembangan saat ini masjid ini sudah direnovasi dengan ukuran menjadi lebar 35 m dan panjang 22m, akrena mengingat waktunya yang sudah bertahun-tahun sehingga kondisi bangunan hampir rusak sehingga kondisi bangunan perlu diperbaiki agar orang yang menjalankan ibadah lebih tenang dan khusuk.

Peninggalan Masjid Majan yang amsih ada dan asli antara lain; Pusaka Kyai Golok, Mimbar, Bedug dan kentongan. Takmir Masjid Majan sekarang dipimpin olh Haji Samsuri dan penanggungjawab KH. Moch Yasin. (observasi 2007). Kegiatan tradisi yang masih dipertahankan, diantaranya; Pusaka Kyai Golok setiap tanggal 12 Maulid diadakan ritual dengan membaca Shalawatan dan Pusaka dilepas dari Waronkonya diangkat ke atas. Kemudian juga setiap mengadakan Qaulnya KH. Moch Khasan Mimbar diadakan sema'an Al-Qur'an, Istiqosah, Tahlil yang diikuti oleh beberapa jamaah dari berbgai tempat.

2. MASJID WINONG.
Lokasi Masjid Winong berada di Desa Winong, Kecamatan Kedungwaru dengan ukuran bangunan panjang 9 m dan lebar 9 m ditmabah dengan pendopo dengan ukuran panjang 18 m dan lebar 9 m dengan biaya swadaya masyarakat. Pendiri Masjid Winong adalah KH. Ilyas dengan peninggalan-peninggalan yang masih ada dan asli antara lain; Mimbar, bedug. (observasi 2007).

KH. Ilyas meninggal dan dimakamkan di Desa Jeruk Wangi Pare, Kabupaten Kediri. Di belakang Masjid Winong ada sebuah makam kuno yaitu Mbah Langkir. Beliau pengikut Pangeran Diponegoro dan ikut melakukan pemberontkan melawan Belanda 1826 M. Setelah perang Diponegoro berkahir (1825-1830) dan Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan, para pengikutnya banyak yang melarikan diri diri ke desa-desa menghindari kejaran Belanda. Salah satu pengikut itu adalah Mbah Langkir yang melarikan diri ke Kadipaten Ngrowo yang menyamar sebagai rakyat biasa dan mengajar ngaji di daerh Ngrowo. Mbah Langkir yang sekarang makamnya di Desa Winong Kecamatan Kedungwaru dipercaya masyarakat Tulungagung sebagai penyiar agama islam sejak tahun 1825 hingga 1835 M. Pada tahun tersebut Kadipaten Ngrowo dijabat oleh Raden Mas Tumenggung Djayaningrat Adipati ke-5 yang memerintah pada tahun 1831-1855 dengan pusat pemerintahan di kalangbut.

3. MASJID TAWANGSARI.
Lokasi Masjid ini berada di Desa Tawangsari, Kecamatan Kedungwaru. Masjid ini diduga ada sejak desa Tawangsari itu berdiri skitar abad ke 16-17 M. Melihat tanah Tawangsari merupakan tanah perdikan sejak awal diperuntyukkan pesantren dan penyebaran agam, maka secara langsung didirikan pula Masjid Tawangsari

Salah satu acara masjid yang hingga sekarang masih dilestarikan oleh keturunan Abu Mansur adalah tadarusan 2 juz, baik yang dilakukan pada jum'at pagi maupun pada saat bulan Ramadhan. Disamping tadarusan ada juga tradisi Shalawatan yang menurut keterangan salah seorang anggota biasa diistilah dengan Shalawat Salalahu. Bahkan hingga masa Abu Mansur VI Tahlil Rawatib, yakni Tahlil sebagaimana yang ada sejak jaman Kyai Tegal Sari juga masih sempat diselenggarakan. (observasi 2007). Selain tradisi tersebut keberadaan Masjid Tawangsari juga dijadikan tempat menyelenggarakan berbagai bentuk kesenian, deianataranya Gambusan, Terbangan, Jedor, Gendidngan, Orkes (keroncongan maupun yang modern). Umumnya segala kesenian ini dimunculkan pada bulan maulid, sehingga pada bulan Maulid biasanya Tawangsari ramai dengan berbagai perayaan.

Tawangsari merupakan dulunya daerah perdikan mutihan dari Keraton Surakarta kepada Abu Mansyur yang telah berjasa kepada Keraton Surakarta dalam melawan Belanda tahun 1750 M. Setelah perjanjian Gianti 1755, yang isinya diantaranya Mangkubhumi diangkat sebagai Raja di Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengkubhuwono I. Hal ini tidak terlepas dari perjuangan dan bantuan Kyai Basyariyah (Moh. Besari) dan murid-muridnya dari Ponorogo Kyai Abu Mansur salah seorang murid Kyai Basyariyah, mendapat tugas dari Mangkubhumi untuk menghidupkan jiwa perjuangan melawan Belanda dengan cara mendidik masyarakat Tawangsari. Abu Mansur mendirikan Pondok Pesantren untuk melatih beladiri dan belajar agama islam. Setelah Abu Mansur meninggal, tawangsari dibagi 3 bagian, masing-masing Desa Tawangsari dipimpin oleh Kyai Abu Yusuf (Abu mansur II), Desa Winong dipimpin oleh Kyai Ilyas dan Desa Madjan dipimpin oleh Kyai Khasan Mimbar.