Minggu, 11 November 2012

“FOLKLOR” MENELUSURI JEJAK-JEJAK CERITA LISAN ASAL MULA SEBUAH NAMA DESA DI TULUNGAGUNG

Oleh
Agus Ali Imron Al Akhyar
 


Jawa Timur terutamanya, sungguh mengagumkan sekali kekayaan khasanah cerita-cerita sejarah yang terdapat di daerah. Menurut cerita; batang ketela pohon pun ditancapkan bisa menghasilkan buah. Daerah Jawa Timur, dengan keelokannya menyimpan misteri yang masih belum terungkap seluruhnya. Salah satunya adalah keberadaan folklor atau cerita lisan yang terdapat di daerah, yang belum sempat ditulis di lembaran kertas (pendokumentasian). Manfaat yang diperoleh selain sebagai dokumen juga dapat dijadikan bacaan pengetahuan pelajar.

Di setiap desa tentu mempunyai ciri khas cerita sejarah tersendiri, sehingga antara satu desa dengan desa lain berbeda. Hal ini yang menjadi tantangan bagi kita semua untuk dapat menulis folklor daerah masing-masing. Menurut Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo dalam pengantarnya di buku Silang Budaya karangan Denys Lombord, bahwsanya telah diketahui umum, setiap generasi menulis sejarahnya sendiri berdasarkan perspektif atau optiknya sendiri. Baik jiwa zaman (zeitgeist) maupun ikatan kebudayaannya (kultur gebundenbeit) menuntut agar dilakukan rekonstruksi sejarah komunitasnya yang sesuai dengan generasinya (Denys Lombord, 1996:xi).

Tentunya untuk mengumpulkan serpihan-serpihan cerita rakyat (folklor) tidak gampang, dengan jumlah 73.067 desa di Indonesia (Kompas, 11 Juni 2011). Pada saat ini generasi muda ditantang oleh pergolakan zaman, sehingga masih mampukah untuk mempertahankan warisan cerita lisan tradisi nenek moyangnya?.

Kalau kita memiliki tekad kuat dan bekerja keras tentunya mampu untuk mendokumentasikan warisan leluhur. Begitu juga dengan folklor, setiap daerah memiliki cerita rakyat tersendiri. Kita bisa merangkaikan cerita yang terdapat di desa-desa yang ada di Jawa Timur, cerita sejarahnya didokumentasikan, berapa tebal dan jilidkah kalau dicetak menjadi buku bacaan pelajar. Keberadaan folklor dijadikan bahan bacaan pelajar sebagai pemahaman akan cinta kesejarahan lokal.

Meneliti folklor sungguh indah, karena yang diteliti adalah hidup manusia yang indah pula. Lika-liku hidup penuh dengan tantangan. Pahit getir hidup itu akan terungkap lewat folklor, karena folklor adalah cerminan diri manusia. Oleh karena itu, mengungkapkan folklor sama halnya menyelami misteri indah manusia (Endraswara, 2009:11).

Kita bisa mendokumentasikan keberadaan folklor yang ada di daerah. Melalui cerita lisan dari sesepuh desa maupun orang tertua di daerah tersebut atau bahkan bukti-bukti peninggalan seperti; yoni, lingga, keris, makam kuno, candi, masjid kuno atau pohon besar yang biasa dianggap angker. Maka dari itu, pelajar setidaknya mampu untuk dapat mendokumentasikan maupun menuangkan dalam wujud tulisan. Sejarah merupakan khasanah intelektual yang nantinya menjadi tolok ukur dalam menjalankan kehidupan dimasa depan, untuk mewujudkan kearifan lokal pada masa modernisasi seperti sekarang.

Pada sekitar tahun 1960, pemerintah melalui Jawatan Kebudayaan melakukan pencatatan erita rakyat yang kemudian diterbitkan berjilid-jilid oleh Balai Pustaka. Pada sekitar tahun 1980, berbagai lembaga dalam lingkungan Depdikbud mengadakan pencatatan berbagai tradisi lisan secara lebih luas, tetapi hasilnya hanya disebarkan dalam lingkungan terbatas. Dengan demikian tradisi lisan dari seluruh Kepuluan Indonesia itu tidaklah sampai dibaca oleh anak-anak Indonesia yang sebenarnya harus mengenalnya, baik dalam bahasa aslinya (bahasa daerah) maupun dalam bahasa nasionalnya (bahasa Indnesia). Entah akan diperlukan berapa tahun lagi untuk menyebarkan hasil pencatatan itu kepada anak-anak di seluruh Indonesia (Ajip Rosidi, 1995:112).

Meneliti folklor akan sampai pada the enjoyment of life, artinya sebuah kenikmatan hidup itu salah satunya ada dalam folklor. Oleh karena itu, dalam pandangan folklorlife can be beautiful”, artinya hidup itu sendiri indah. Hidup adalah seni, diantara seni adalah folklor. Jadi, mempelajari folklor juga menikmati hidup dan keindahan (Barnouw, 1982:241).


Folklor: Identitas Kedaerahan
Di daerah tentu memiliki folklor yang tidak sama dengan daerah lainnya. Tradisi-tradisi cerita lisan yang masih ada, tentu akan menambah khasanah folklor. Seperti Reog Gendang dari Tulungagung, Reog Ponorogo dari Ponorogo, Tradisi Petik Laut dari Banyuwangi, Karapan Sapi dari khas Madura, serta masih banyak lainnya tradisi folklor yang ada di Nusantara ini, salah satunya cerita desa-desa yang terdapat di Jawa Timur.

Pengertian folklor, adalah peng-Indonesiaan dari Bahasa Inggris folklore. Kata tersebut merupakan kata majemuk yang berasal dari kata dasar, yaitu folk dan lore. Menurut Alan Dundes, kata folk berarti sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sama yang dapat dibedakan dari kelompok sosial yang lainnya. Ciri-ciri pengenal itu adalah warna kulit, bentuk rambut, mata pencaharian, bahasa, taraf pendidikan, dan agama, serta cerita rakyat yang telah memiliki tradisi secara turun temurun. Sedikitnya dua generasi dan diakui sebagai milik bersama serta yang paling penting adalah bahwa mereka itu memiliki kesadaran akan identitas sebagai masyarakat.

Sedangkan kata lore merupakan tradisi dari folk, yaitu sebagian kebudayaan yang diwariskan secara lisan atau melalui contoh yang disertai gerak isyarat atau alat bantu pengingat. Sehingga folklore adalah bagian dari kebudayaan yang disebarkan dan diwariskan secara tradisional, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat.

Menurut Kamus, Istilah Sastra, Folklor adalah adat istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan turun temurun tetapi tidak dibukukan; suatu budaya kolektif yang memiliki sejumlah ciri khas yang tidak dimiliki oleh budaya lain (Laelasari & Nurlailah, 2006:100). Sedangkan menurut Kamus Besar Indonesia (2008:418), Folklor adalah adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang tidak dibukukan. Ilmu yang menyelidiki adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang tidak dibukukan. Bisa dikata folklor adalah cerita rakyat yang masih dipercayai oleh masyarakat.

Sehingga apa saja yang ada di daerah terutama yang terkait mengenai cerita rakyat, cerita keberadaan asal mula nama desa, dapat menjadi sesuatu yang berarti (folklor). Berbagai macam tradisi, cerita rakyat dan budaya masyarakat, merupakan khasanah folklor yang harus terdokumentasikan. Generasi muda sekarang ini, jarang yang mengetahui cerita asal usul nama desa, bahkan cerita rakyat yang ada di tempat tinggalnya. Memang sungguh disayangkan kalau pewaris budaya tidak mengetahui asal usul nama desa atau daerahnya.

Adapun beberapa ciri-ciri folklor diantaranya; (1). Penyebaran dan pewarisannya secara lisan; (2). Bersifat tradisional; (3). Berkembang dalam versi cerita yang berbeda-beda; (4). Bersifat anonim (tanpa pengarang); (5). Biasanya mempunyai bentuk cerita yang berpola; (6). Mempunyai manfaat dalam kehidupan kolektif; (7). Bersifat pralogis; (8). Menjadi milik bersama dari masyarakat tertentu; (9). Pada umumnya bersifat lugu dan polos, sehingga sering kali kelihatannya kasar atau terasa tidak sopan (cerita mentah).

Pada dasarnya folklor yang terdapat di daerah-daerah tersebut masih berbentuk kasar, belum diolah secara bahasa yang mudah dipahami. Sehingga bisa dibilang masih berbahan mentah. Menurut Jan Harold Brunvand, dia seorang ahli folklor dari Amerika Serikat, berdasarkan tipenya ada beberapa macam folklor adalah;

Pertama, folklor lisan atau bisa disebut pula dengan fakta mental (mentific), yaitu; (a). Bahasa rakyat, seperti halnya logat, bahasa tabu; (b). Uangkapan tradisional, seperti halnya peribahasa dan sindiran; (c). Pertanyaan tradisional, dikenal sebagai teka-teki; (d). Sajak atau puisi rakyat, seperti pantun dan syair; (e). Cerita prosa rakyat, menurut William R. Bascom dibagi tiga golongan, yaitu: mite/mitos, legenda, dan dongeng; (f). Nyanyian rakyat.

Kedua, folklor sebagian lisan, disebut juga fakta sosial (Sosiofact), yaitu; (a). Kepercayaan dan takhayul; (b). Permainan dan hiburan rakyat setempat; (c). Teater rakyat, seperti; lenong, ludruk, dan ketoprak; (d). Tari rakyat, seperti tari tayuban dan jaran kepang; (e). Adat kebiasaan, seperti sambatan dalam pembuatan rumah, gugur gunung dalam pembuatan jalan desa, pesta selamatan, dan khitan; (f). Upacara tradisional, seperti tingkeban, turun tanah, dan temu manten; (g). Pesta rakyat tradisional, seperti selamatan bersih desa dan selesai panen.

Ketiga, folklor bukan lisan, disebut juga artefak (artifact), yaitu; (a). Arsitektur bangunan rumah tradisional, seperti joglo (Jawa), gadang (Minangkabau), betang (Kalimantan) dan lain sebagainya; (b). Seni kerajinan tangan tradisional; (c). Pakaian tradisional; (d). Obat tradisional; (e). Alat-alat musik tradisional; (f). Peralatan dan senjata tradisional; (g). Makanan dan minuman khas/tradisional daerah.

Remaja tergolong umur transisi. Banyak inisiasi yang terkait dengan folklor sebenarnya. Namun para ahli folklor jarang yang mau berkonsentrasi pada masalah remaja. Akibatnya, folklor remaja juga kurang berkembang. Kecuali itu, daya tolak remaja pada hal-hal yang bersifat tradisi telah berkembang. Mereka umumnya ingin hal-hal yang aneh. Begitu jika asumsi dasar folklor adalah bersifat tradisional. Padahal semestinya tidak demikian. Folklor yang ke arah inovatif juga tidak sedikit. Bahasa gaul saja, sebenarnya menarik ditinjau dari aspek folklor (Endraswara, 2009:68).

Keberadaan pendokumentasian folklor merupakan sesuatu hal yang baik, hal itu demi menjaga kemurnian budaya tradisi daerah. Pemunculan folklor sendiri juga bisa dijadikan simbolisasi suatu identitas kedaerahan yang vital. Kita menyadari kalau disetiap daerah memiliki ciri khas dan cerita rakyat yang berbeda. Kalau Tulungagung mempunyai tradisi siraman Pusaka Tombak Kiai Upas, sedangkan Blitar memiliki siraman Gong Mbah Pradah. Namun penekanan dalam tulisan ini adalah pendokumentasian cerita asal mula nama sebuah desa.

Asal Mula Nama Sebuah Desa
Setiap desa atau daerah tentunya memiliki sejarah dan latar belakang tersendiri, yang merupakan pencerminan dari sebuah karakteristik serta pencirian khas tertentu dari suatu daerah. Sejarah desa atau daerah sering kali tertuang dalam wujud dongeng-dongeng yang diwariskan secara turun temurun, dari mulut ke mulut, sehingga sulit untuk dilukiskan secara fakta dan tidak jarang dongeng (legenda) tersebut dihubungkan dengan mitos tempat-tempat tertentu yang dianggap keramat atau mempunyai kekuatan mistik tertentu.

Folklor dalam tulisan kali ini, ada beberapa desa yang penulis angkat untuk dijadikan sample. Adapun beberapa desa di daerah Tulungagung; desa Kalangbret, desa Tertek, desa Aryojeding, desa Bandung, dan desa Ngunut. Di bawah ini akan tertuang dalam bentuk tulisan mengenai cerita-cerita terbentuknya nama desa tersebut di atas, hasil penelitian penulis.

Ø Asal Mula Nama Desa Kalangbret
Di sebuah kerajaan dilahirkan seorang pangeran yang diberi nama Pangeran Kalang. Namun sering dipanggil adipati Kalang, setelah beberapa bulan lahir lagi anak kedua, seorang putri cantik yang tepatnya diberi nama Putri Kembang Sore. Mereka berdua tambah dewasa tanpa kasih sayang seorang ibu. Ibu mereka meninggal setelah melahirkan Putri Kembang Sore, namun ayah mereka memberikan kasih sayang yang lebih kepada mereka berdua. Sampai suatu ketika Adipati Kalang diam-diam menyukai adiknya sendiri, peristiwa tersebut tanpa diketahui oleh ayahnya.

Putri Kembang Sore memang dianugerahi kecantikan pada wajahnya, namun sebenarnya Putri Kembang Sore adalah seorang gadis yang liar. Hal tersebut dikarenakan kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari ayahnya, karena sibuk dengan masalah kerajaan.

Adipati Kalang akhirnya memberanikan diri untuk berbicara kepada adiknya, bahwa dirinya mencintai adiknya sendiri dan ingin segera mempersuntingnya, akan tetapi Kembang Sore menolak, karena tidak mungkin dia harus menikah dengan kakaknya sendiri. Namun tetap saja Adipati Kalang bersikeras membujuk adiknya agar mau menjadi istrinya, tanpa peduli Putri Kembang Sore adalah adiknya sendiri.

Setiap hari, Putri Kembang Sore berusaha menjauhi kakaknya sendiri, karena dia tidak ingin kalau kakaknya terus menerus memaksa dirinya dijadikan istri. Namun Adipati Kalang tetap memaksa Kembang Sore.

Adipati Kalang adalah orang yang sakti, sehingga dimana pun Putri Kembang Sore bersembunyi, Adipati Kalang tetap bisa menemukannya. Putri Kembang Sore sangat bingung dan ingin sekali kabur dari kerajaan, karena kelakukan dari kakaknya.

 Pada suatu saat seorang pangeran dari Kerajaan Majapahit yang mempunyai nama Pangeran Lembu Peteng melihat kecantikan Putri Kembang Sore. Namun Pangeran Lembu Peteng tidak bisa mengungkapkan perasaannya, bahkan untuk mendekati Putri Kembang Sore saja tidak bisa, dikarenakan Adipati Kalang selalu mendampinginya.

Namun Pangeran Lembu Peteng tidak putus asa untuk bisa mendekati Putri Kembang Sore, walaupun setiap saat Adipati Kalang mendekatinya. Adipati Kalang ternyata mengetahui, bahwasanya Pangeran Lembu Peteng juga menaruh perasaan cinta kepada Putri Kembang Sore. Namun Pangeran Lembu Peteng tidak putus asa untuk terus mendekati Putri Kembang Sore.

Suatu hari Adipati Kalang mengundang Pangeran Lembu Peteng di sebuah tempat, di tempat itulah Adipati Kalang berniat untuk membunuh Pangeran Lembu Peteng dengan senjata kerisnya. Pertarungan pun akhirnya terjadi dengan sengit, pertarungan cukup lama, yang ternyata dimenangkan oleh Adipati Kalang dengan merobek-robek tubuhnya.

Karena kejadian itulah tempat atau daerah tersebut diberi nama “Kalangbret”. Saat kejadian tersebut, Putri Kembang Sore melarikan diri ke sebuah gunung, dan disitulah Putri Kembang Sore menjadi seorang ratu. Namun tetap saja Adipati Kalang bisa menemukannya, karena kesaktiannya yang dimiliki. Tetapi Putri Kembang Sore tetap menolak bujukan Adipati Kalang. Sehingga kesabaran Adipati Kalang pun habis, akhirnya dibunuhlah Putri Kembang Sore, dan menguburkannya di gunung tersebut. Gunung tersebut saat ini bernama “Gunung Cilik” yang berada di daerah Kalangbret, namun kawasan gunung tersebut sering dikenal dengan sebutan Gunung Mbolo.
Sumber Informan:
Nama                : Ibu Wiwit
Umur                 : 60 Tahun
Pekerjaan          : Bertani

Ø Asal Mula Nama Desa Tertek
Menurut cerita dari sebagian para orang yang sudah tua dan tokoh-tokoh di desa Tertek, menyebutkan bahwa asal mula nama desa Tertek berawal dari sebuah jembatan. Pada zaman dahulu banyak para tokoh penting bertempat tinggal di sebuah tempat, kemudian tokoh tersebut membangun sebuah jembatan yang bertujuan untuk menghubungkan daerah satu dengan daerah lainnya untuk memperlancar perjalanannya.

Pada suatu hari dibangunkanlah jembatan oleh tokoh-tokoh tersebut, jembatan itu sangat berfungsi untuk menyeberang ke tempat lain. Maka lokasi penghubung tersebut biasa disebut dengan “Tertek” oleh sebagian orang Jawa. Dari situlah para tokoh-tokoh dahulu yang bertempat tinggal di daerah tersebut, menyebut daerahnya dengan sebutan “Tertek”. Hingga akhirnya semakin banyak orang yang bermukim di daerah tersebut. Berlahan tapi pasti, hingga akhirnya daerah tersebut semakin banyak yang bermukim di sekitar tertek. Sehingga masyarakat sekitar daerah tersebut menamakan kawasan tersebut dengan Tertek.

Tertek atau jembaran, merupakan suatu alat penghubung antara satu daerah dengan daerah lainnya, agar hubungan transportasi bisa berjalan lancar. Sampai sekarang, daerah Tertek masih ada dan menjadi tempat pemukiman padat penduduk.
Sumber Informan:
Nama                : Bapak Hamzah Asanuddin
Umur                 : 51 Tahun
Pekerjaan         : Wiraswasta

Ø Asal Mula Nama Desa Aryojeding
Seorang bangsawan menangah ke atas yang bernama Aryo Blitar, dia mempunyai putra yang bernama Joko Kandung. Dia adalah seorang pengembara yang selalu ditemani oleh burung setianya. Seuatu ketika Joko Kandung singgah di sebuah daerah yang tanpa nama. Bertahun-tahun Joko Kandung menetap di daerah tersebut.

Lama sudah Joko Kandung menetap di daerah tersebut, akhirnya dia melanjutkan perjalanan pengembaraannya. Oleh warga setempat, daerah tersebut dinamakan Aryojeding. Joko Kandung singgah di sebuah pegunungan, setiap pagi ia mandi di telaga kecil di bawah sebuah pohon besar. Di samping pohon besar itu terdapat sebuah pohon bambu besar, tempat dia menaruh burung ajaibnya yang dapat berbicara dengan manusia. Akhirnya Joko Kandung meninggal dan di makamkan di desa Aryojeding tersebut.
Sumber Informan:
Nama                : Bapak Mulyono
Umur                 : 48 Tahun
Pekerjaan         : Wiraswasta

Ø Asal Mula Nama Daerah Bandung
Dahulu desa Bandung merupakan sebuah wilayah yang berkecukupan dan memiliki kekayaan alam melimpah ruah. Di tempat tersebut terdapat sebuah sumber air yang lumayan besar dan setiap petani sering memakainya sebagai pengairan sawah (baca: irigasi). Akan tetapi hal tersebut berubah ketika Adipati di daerah tersebut diganti dengan seorang Adipati yang tamak, rakus, dan kikir, sebut saja dengan Adipati Hadijaya. Seluruh sumber air yang ada di daerah tersebut dikuasai olehnya, sehingga penduduk mengalami kesulitan untuk mengairi sawahnya, sehingga petani mengalami kerugian besar.

Nasib para penduduk di daerah tersebut sungguh menyedihkan, kelaparan terjadi di mana-mana. Hingga akhirnya berita tersebut didengar oleh putri Adipati Hadijaya yang bernama Putri Roro Jonggrang, dia adalah putri Adipati Hadijaya. Roro Jonggrang tersebut memiliki sifat seperti ibunya, yang lemah lembut namun tegas dalam bertindak. Dia meminta pada ayahandanya untuk memberikan pengairan terhadap sawah-sawah penduduk, tapi sang ayah menolak.

Sang putri besikeras untuk mempertahankan pendirinya untuk menolong penduduk, agar pengairan dapat diberikan kepada warga, biar para petani dapat bertani dengan baik. Selama tujuh hari sang putri bersimpuh pada ayahandanya, akhirnya pada malam ke tujuh hari, hati sang ayah luluh. Adipati Hadijaya mengabulkan permintaan putrinya tersebut, asalkan sang putri mau menikah dengan seorang raja dari kerajaan tetangga.

Mau tidak mau dan juga berat hati, akhirnya Roro Jonggrang harus menuruti permintaan ayahandanya. Ketika Bandung Bondowoso tiba, raja yang hendak meminang putri Roro Jonggrang. Mereka berdua pergi ke sebuah tempat, yaitu sebuah sumber air. Ketika sudah sampai di sumber air tersebut, Roro Jonggrang langsung melemparkan kalung yang sangat disayanginya.

Kalung tersebut adalah pemberian dari ibunya, sehingga Roro Jonggrang langsung meminta pada Bandung agar mau mengambilkan kalung tersebut. Jika mampu mengambilnya, maka Bandung akan menjadi suaminya. Ketika Bandung masuk ke sumber air, dengan cekatan sang putri segera menendang batu untuk menutupi sumber air tersebut, sehingga Bandung tertutup di dalam sumber air tersebut.

Tiba-tiba batu tersebut terlempar, Bandung akhirnya mampu keluar dan meminta penejelasan dari sang putri apa maksud dari ini semua. Dengan menangis sang putri menjelaskan, bahwa dirinya diminta ayahnya agar membunuh Bandung. Supaya Adipati Hadijaya dapat menguasai wilayah kerajaan Bandung.

Saat itu Bandung merasa sangat marah sekali, bercampur dengan kesal hawa nafsunya, pada saat itu amarahnya tidak bisa dibendung lagi. Bandung lekas menghampiri Adipati Hadijaya dan menusuknya dengan senjata handalannya, akhirnya tidak lama kemudian Adipati Hadijaya mati ditangan Bandung. Secara tidak langsung akhirnya Bandung menggantikan kekuasaan Adipati Hadijaya. Bandung akhirnya menikah dengan Roro Jonggrang. Mereka berdua menikah dan juga hidup bahagia serta masyarakat menyukai mereka berdua sebagai pemimpin daerah tersebut.
Sumber Informan
Nama               : Ibu Syamsiah
Umur                 : 68 Tahun
Pekerjaan         : -           

Ø Asal Usul Nama Ngunut
Konon dahulu asal mula desa Ngunut, para sesepuh desa Ngunut menyebutnya dengan sebutan nunut (bahasa Jawa: numpang). Sebab dahulu banyak orang yang bepergian jauh dari daerah manapun selalu singgah (bahasa Jawa: mampir) di warung, posko polisi, yang bermaksud untuk sekedar nunut atau numpang, istirahat, karena seringnya orang-orang yang mampir, akhirnya daerah tersebut diberi nama “Ngunut”, sampai sekarang cerita asal muasal desa tersebut sangat singkat sekali, yaitu adanya nama desa Ngunut dikarenakan banyak orang yang sering nunut atau numpang.
Sumber Informan:
Nama                 : Joko Prasetyo
Umur                 : 49 Tahun
Pekerjaan         : Guru


Tulisan di atas, sekilas mengenai jejak-jejak asal mula sebuah nama desa atau daerah yang berada di daerah Tulungagung. Tentunya masih banyak lagi desa-desa yang belum sempat dituangkan dalam bentuk tulisan. Menurut Ajip Rosidi (1995:112) menyebutkan, di Indonesia pencatatan dongeng-dongeng atau bentuk tradisi lisan lainnya mulai dilakukan dalam abad ke-19 oleh para pejabat Belanda yang mempunyai perhatian tehadapnya; sebagian telah diterbitkan dalam berbagai majalah atau buku, tetapi sebagian besar masih tersimpan berupa naskah. Tak perlu diterangkan bahwa kebanyakan majalah atau buku yang memuatnya itu merupakan bacaan untuk bangsa Belanda, karena ditulis dalam bahasa Belanda. Dengan demikian hasil pencatatan itu tidaklah sampai disebarkan kepada anak-anak suku bangsa yang memilikinya. Hanya sebagian kecil saja dari dongeng-dongeng itu yang pernah diterbitkan dalam bahasa aslinya dan dimuat dalam buku-buku pelajaran atau buku bacaan yang pada masa sebelum perang banyak diterbitkan oleh Balai Pustaka dan lain-lain.

Maka dari itulah, pada zaman sekarang kita sebagai generasi pelajar mampu untuk menuliskan cerita-cerita desa dengan bahasa Indonesia. Sehingga mudah untuk dimengerti oleh anak Indonesia, khususnya sebagai bahan bacaan di sekolah-sekolah. Dengan disertai animasi yang menarik, tentu tidak akan membuat bosan dibaca. Sehingga secara tidak langsung, warisan cerita lisan leluhur tidak musnah diterjang era globalisasi.

Menulis Folklor; Sebuah Konsep Pembelajaran
Betapa pentingnya folklor untuk pengetahuan generasi pelajar sekarang, agar mereka memahami identitas desanya. Pelajar khususnya, bisa dijadikan subjek untuk menulis folklor, terutama dalam bidang mata pelajaran IPS (Sejarah). Sehingga anak didik yang ada di sekolah diberi tugas untuk menulis folklor yang terdapat di desanya. Anak didik dilatih untuk mampu berkomunikasi dan mendokumentasikan (menulis) keberadaan cerita rakyat yang ada di daerahnya masing-masing.

Tentu dibalik penulisan folklor, terdapat segi estetika yang mempengaruhi. Salah satunya mengenai bahasa yang dipakai pelajar, akan nampak khas dan masih murni tanpa dipengaruhi sudut pandang politik, ekonomi, atau kepentingan lainnya. Menulis suatu peristiwa dapat dijadikan media pembelajaran di masa yang akan datang. Selain itu, peserta didik juga dilatih agar tidak berbudaya meng-copy-paste. Melatih menulis sejak dini akan mengasah antara realita yang dihadapi, otak akan menangkap, dan diaplikasikan oleh tangan yang menulis.

Makin sering berlatih, makin terampil kita menulis, dan makin baik tulisan kita untuk dibaca. Sebagai catatan, renungilah bagaimana kita dahulu mempelajari kiat naik sepeda. Makin sering berlatih naik sepeda, makin paham kiat memulainya, akhirnya kitapun piawai dalam mengemudikannya (Wahyu Wibowo, 2008:131). Khususnya didalam penulisan folklor, anak didik juga harus mampu mencari sumber data yang akurat dan autentik, dari situlah dimulainya sifat mendidik kejujuran pada diri anak.

Melakukan  penelitian tentang cerita lisan lokal (folklor), kita tidak hanya akan bisa memperkaya perbendaharaan Sejarah Nasional, tapi lebih penting lagi memperdalam pengetahuan kita tentang dinamika sosiokultural dari masyarakat Indonesia, yang majemuk ini secara lebih intim. Dengan begini kita makin menyadari pula bahwa ada berbagai corak penghadapan manusia dengan lingkungannya dan dengan sejarahnya (Buku Petunjuk Seminar Sejarah Lokal, 1982:1-2).

Berangkat dari situlah pentingnya menuangkan dalam bentuk tulisan untuk mendokumentasikan sebuah peristiwa sejarah, hingga akhirnya akan menjadi dokumentasi naskah rapi untuk bahan referensi masa yang akan datang. Tentunya sebelum kita menuliskan kesejarahan modern, kita mampu untuk menulis sejarah masa lampau khususnya folklor. Sungguh indahnya kalau kita sebagai generasi muda mampu mendokumentasikan perjalanan proses kehidupan yang ada di desa-desa.

Agar berfungsi secara optimal didalam proses pembelajaran, perlunya keberadaan sumber folklor perlu dikembangkan dan dikelola dengan sebaik mungkin. Tentunya untuk pengolahan folklor tersebut perlunya berbagai aktivitas; penelitian, penulisan, pengadaan, produksi, penyimpanan, distribusi, dan pemanfaatan. Sehingga folklor benar-benar dapat digunakan secara optimal dikalangan dunia pendidikan.

Adanya konsep pembelajaran, memungkinkan untuk memberikan wawasan luas bagi generasi pelajar. Didalam pendidikan merupakan proses pembelajaran yang identik dengan menanamkan nilai-nilai positif. Mematikan kenegatifan pola pikir anak didik, dengan memberikan proses pembelajaran yang menyertai konsep positif, merupakan sebuah sikap baik demi terwujudnya generasi muda yang berkarakter dan berbudaya positif.

Menurut Waoodruff dalam Amin (1987), bahwasanya menjelaskan pengertian konsep menjadi tiga bagian, yaitu:
1.      Konsep dapat didefinisikan sebagai gagasan ide yang relatif sempurna dan bermakna;
2.      Konsep merupakan suatu pengertian tentang suatu objek;
3.      Konsep adalah produk subjektif yang berasal dari cara;

Konsep dalam memberikan proses pendidikan merupakan suatu keabstrakan, sebelum dikerjakan. Didalam konsep tersebut tentu akan memberikan nilai-nilai positif untuk pelajar. Penanaman karakter dan budaya yang baik, tentu akan menghasilkan generasi yang handal dan berkompeten ketika mereka terjun ke masyarakat.

Hasan Langgulung (1980:92), melihat arti pendidikan dari sisi fungsi pendidikan, yaitu; 1). Menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat di masa mendatang; 2). Mentransfer pengetahuan, sesuai dengan peranan yang diharapkan; 3). Mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat bagi kelangsungan hidup masyarakat dan peradaban.

Bisa juga konsep penulisan folklor ini ditinjau dari mata pelajaran sastra Indonesia. Sehingga apabila dikombinasikan secara baik, akan menumbuhkan perkembangan dunia sastra lokal juga. Mengembangakan kreativitas pelajar dalam menulis untuk mencintai produk lokal yang berupa folklor, merupakan sesuatu kebangkitan positif yang perlu untuk dikembangkan.

Mentransfer pengetahuan, tidak harus di ruang kelas saja, melainkan anak didik dengan mendapatkan bimbingan dan pengarahan dari gurunya, dapat terjun ke masyarakat, khususnya dalam pencarian sumber folklor tersebut. Dari situlah anak didik belajar mental ketika berhadapan langsung dengan masyarakat. Begitu pula menanamkan sifat jujur dan berucap, akan nampak ketika pencarian sumber informasi.

Sehingga anak didik juga belajar untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan daerahnya. Seperti yang diungkapkan oleh Prof. Dr. H. Mohammad Asrori (2007:198), seseorang dikatakan memiliki kemampuan penyesuaian diri yang baik atau yang buruk dalam istilah aslinya disebut “well adjusted person” adalah manakala individu itu mampu melakukan respon-respon yang matang, efisien, memuaskan, dan sehat. Dikatakan efisien artinya mampu melakukan respon dengan mengeluarkan tenaga dan waktu sehemat mungkin. Dikatakan sehat artinya respon-respon yang dilakukan individu cocok dengan hakikat individu, lembaga, atau kelompok individu, dan hubungan antara indiviu dengan penciptanya. Bahkan, dapat dikatakan bahwa sifat sehat ini adalah gambaran penyesuaian diri itu dikatakan baik.

Dengan demikian, individu yang dipandang mempunyai penyesuaian diri yang baik adalah yang telah belajar mereaksi terhadap dirinya dan lingkungannya dengan cara-cara yang matang, efisien, memuaskan, dan sehat serta dapat mengatasi konflik mental, frustasi, serta kesulitan pribadi dan sosial tanpa mengembangkan perilaku simptomatik dan gangguan psikosomatik yang mengganggu tujuan-tujuan moral, sosial, agama, dan pekerjaan.

Cerita Lisan Lokal; Pembentuk Karakter
Menurut Prof. Dr. Sardjito, kita semua mengetahui betapa besarnya peranan dan pengaruh pengetahuan perihal sejarah terhadap pertumbuhan jiwa kita, karena kita pada saat ini sedang mulai dengan membangun jiwa-jiwa pemuda kita, supaya perkembangannya jangan salah wesel (alamat), lalu tidak menjadi pemuda yang tidak tahu keagungan leluhur kita, dan tidak menghargai adat istiadat kita yang member corak kebudayaan kita (Buklet Seminar “Historiografi dan Periodisasi Dalam Sejarah Indonesia” di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2007:3).

Tradisi cerita lisan, merupakan kekayaan khasanah yang berada di desa-desa. Berbagai cerita yang kita dapati merupakan suatu pesan moral yang harus dicerna dengan positif. Sehingga dari pesan yang disampaikan melalui cerita lisan (folklor), secara tidak langsung akan membentuk karakter generasi. Apalagi kalau keberadaan cerita lisan dilestarikan dengan dibuatkan film, yang sumber datanya diambilkan dari cerita lisan lokal.

Sehingga akan memunculkan suatu tontonan yang akan memberikan tuntunan, dengan pesan moral yang disampaikan melalui film. Melihat fenomena tersebut, merupakan arah perkembangan zaman yang sudah modern. Teknologi serba canggih, dan juga bisa menjangkau keberbagai penjuru. Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan menengok kearifan lokal yang ada di desa-desa.۞