Sabtu, 26 Juli 2014

SEKILAS NYADARAN

Sadranan, atau biasa disebut dengan nyadran bagi orang Jawa. Sadranan sendiri yang penulis pernah ketahui, dilaksanakan di area pundhen makam dengan menggelar tikar sebagai alas. Selain itu juga disertai dengan sesajen yang diwadahi tampah, loyang, dan ember seperti: gunungan nasi kuning, apem, ayam yang diolah ingkungan, kulupan, sambal goreng kentang, tahu yang dibumbui, dan air putih yang dimasukin dalam wadah kendhi. Pelaksanaan nyadran sendiri pada waktu pagi hari, atau sore hari, adapun siang hari tapi pelaksanaannya jarang, dan dipimpin oleh dukun atau tokoh masyarakat setempat yang biasanya dibawa oleh orang penyadran. Di dalam pelaksanaan sadranan, warga setempat juga turut diundang sebagai makmum (peserta sadranan).
Nyadran adalah tradisi yang dilakukan pada bulan Ruwah atau Sya’ban. Pada zaman sebelum Islam, upacara ini diselenggarakan untuk memuja roh para leluhur, selaras Animisme-Dinamisme yang menjadi model kepercayaan masyarakat saat itu. Namun pada saat sekarang, tradisi ini mengalami pergeseran makna dan bentuk, yakni dari pemujaan terhadap roh menjadi ritual untuk menunjukkan bakti seorang anak kepada orangtua. Hal yang menjadi alasan mengapa orang Jawa melakukannya setiap bulan Sya’ban, karena bulan tersebut bulan yang tepat (Sri HIdayati, 2003:2-3). Tradisi budaya nyadran dengan adanya perjalanan waktu, dilaksanakan tidak hanya pada bulan Sy’ban maupun Ruwah, melainkan saat-saat akan diadakannya hajatan pada suatu warga, seperti halnya hajatan pernikahan, pendirian rumah, maupun ruwatan. Bahkan saat menjelang bulan Ramadhan tiba, para warga mengadakan slametan di masjid, mushola, atau makam.
Menurut Bapak Sukriston, arti dari nyadran adalah nyadran, ungkapan rasa syukur atas berkah yang diterima lumantar CiptaanNya, Bumi-Geni-Angin-Lintang-Rembulan-Air-Kayu-Watu dan lain sebagainya, serta memuji kemuliaan bagi arwah pinuji yang telah nyata berjasa, berjuang mengembangkan budi pekerti luhur, berjasa membuka cikal bakal cepuren, desa, wilayah, pejuang kemerdekaan suatu bangsa. Nyadran, menciptakan harmoni hubungan manusia dengan Tuhan, Manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam. Nyadran menjadi modal sosial dan kearifan lokal, Nyadran adalah menyebarkan 'etika' dalam bungkusan estetika tentang kemanusiaan yang adil dan beradap, Manusia berTuhan (Wawancara, 17 Juli 2013).
Sadranan utawa nyadran yakuwi rangkean kegiatan keagamaan sing wis dadi tradisi sing dilakoni nang wulan Syakban (Ruwah) menjelang wulan Ramadhan (Puasa). Tradisi Sadranan wis umum dilakoni masyarakat muslim Asia Tenggara ning kadang beda jeneng karo beda rangkean kegiatane. Masyarakat Jawa, termasuk juga masyarakat Banyumasan ngelakoni tradisi kiye sebagai penghormatan maring arwah leluhur, kerabat/sedulur. Jaman gemiyen acara sadranan dilakoni kanggo pemujaan maring leluhur uga njaluk maring arwah leluhur, sebab dipercaya nek arwah leluhur sing wis meninggal kuwe jane esih urip bareng nang dunia kiye. Upacara sadranan jaman gemiyen nganggo ubarampe sing isine sesajen panganan-panganan sing ora enak dipangan contone: daging mentah, getih ayam, kluwak. BarAgama Islam melebu, para Wali ngerobah upacara sadranan kiye kanthi cara alus ben pada karo ajaran Islam. Pemujaan karo permohonan maring leluhur dirobah dadi dhonga maring Gusti Allah. Sesajen sing ora enak dipangan diganti dadi sajian panganan sing enak. Upacara sing gemiyen dianakna nang kuburan terus dipindah nang Masjid utawa Mushalla/Langgar uga bisa nang omah kerabat sesepuh/pinisepuh (http://map-bms.wikipedia.org/wiki/Sadranan).
Nyadran merupakan istilah dari tradisi kebudayaan yang berada di tanah Jawa. Nyadran identik dengan upacara kematian, slametan yang ditujukan kepada leluhur. Khasanah kekayaan tradisi yang dimiliki oleh orang Jawa memang bersumber dari warisan leluhurnya, dan dipercayai akan membawa nilai-nilai makna tersendiri bagi yang melaksanakan tradisi tersebut. Seiring Islam merajai tanah Jawa terjadilah akulturasi antara nilai-nilai Islam dengan tradisi budaya Jawa (kejawen). Nyadran sendiri secara tidak langsung merupakan wujud pengorbanan terhadap leluhur yang sudah meninggal, dengan wujud sesajen sebagai sesembahan, adapun yang bilang sesajen sebagai perantara. Selain itu pula sadranan memiliki nilai-nilai sosialitas orang Jawa terhadap kerukunan sesama manusia, dengan adanya slametan atau genduri bersama.
Meminjam istilah dari Mariasusai Dhavamony, nyadran bisa juga diistilahkan dengan pemujaan terhadap leluhur, tradisi ini dilakukan oleh suku Dahomey dan juga dalam tradisi China kuno. Dalam kepercayaan China, tradisi pemujaan terhadap leluhur ini memiliki peranan penting yang mana dalam masyarakat aristokrasi terhadap kepercayaan bahwa roh-roh leluhur mengawasi nasib manusia memberi hadiah, menghukum menurut jasa atau kekurangan keturunan mereka, serta menuntut pelayanan dan ketaatan mereka. Pemujaan terhadap roh leluhur ini dipuja ditempat-tempat suci keluarga, yang terletak disudut barat daya rumah. Di Jepang terdapat juga pemujaan terhadap leluhur dan telah dikembangkan dalam agama Shinto sebagai bentuk penghormatan nasional. Pemujaan terhadap leluhur juga terdapat pada suku-suku lainnya. Pemujaan leluhur ini hanyalah satu bagian dari kompleksitas total kelembagaan religious dan ritual serta sebagai bentuk penghormatan, pemujaan, dan persembahan untuk leluhur (Davamony, 1995:79-82). Tradisi budaya seperti nyadran tidak hanya di tanah Jawa saja, melainkan seperti Jepang, dan China juga ada, namun berbeda wujud ritualnya, akan tetapi makna yang terkandung didalamnya memiliki kesamaan nilai-nilai wujud penghormatan terhadap leluhur yang sudah meninggal dunia. Berbagai bentuk tradisi budaya pada suatu daerah, intinya sama, yaitu menghormati arwah para leluhur dan ucapan rasa syukur atas kenikmatan yang diberikan dari Sang Pencipta.
Nyadran selalu identik dengan pola prilaku slametan di tempat-tempat wingit, orang Jawa selalu memadukan antara slametan dengan sedekah, sebab kedua hal tersebut merupakan kesatuan yang ada pada ritual nyadran. Slametan merupakan nilai-nilai tradisi yang dilakukan oleh orang Jawa, sedangkan sedekah merupakan nilai-nilai ajaran dari Agama Islam. Perpaduan antara slametan dan sedekah sendiri sering nampak pada aktivitas sadranan. Menurut Beatty (2001:197), slametan merupakan suatu rangkaian upacara makan seremonial yang dilakukan secara bersama dengan menyajikan sesajian berupa makanan, adanya sambutan resmi, dan doa.
Mempererat tali silaturrohim dalam tradisi nyadran merupakan khasanah kekayaan nilai-nilai keharmonisan pada masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa sendiri memiliki nilai-nilai keharmonisan kerukunan, gotong-royong, dan menciptakan ketentraman dalam nuansa kekeluargaan. Sebagai makhluk sosial, masyarakat Jawa mengedepankan kerukunan serta memiliki jiwa integritas yang tinggi. Sistem tradisi budaya yang terbangun dalam masyarakat Jawa sudah mengakar kuat dalam bentuk konsep pola prilaku seperti nyadran atau sadranan. Sehingga ketika tradisi nyadran tidak dilaksanakan, maka ada nilai-nilai keharmonisan antara manusia dengan leluhur yang hilang.
Sistem nilai budaya, pandangan hidup, dan ideologi, merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari  adat istiadat. Hal ini disebabkan karena nilai-nilai budaya itu merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga sesuatu masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai berharga, dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai pedoman yang memberi arah dalam orientasi kepada kehidupan para warga masyarakat tadi (Koentjaraningrat, 2012:190). Sadranan kuwe hakekate ialah kesadaran menungsa maring perkara urip karo meninggal. Sing wis meninggal ganu ngelairna sing esih urip, sing esih urip mengkone nyusul sing wis mati (Sangkan Paraning Dumadi). Sadranan uga ngandung makna nek menungsa kuwe kudhune terus eling nek dheweke urip kuwe hakekate bebarengan karo ngenteni meninggal, kiye mangsude ben saben ngelakoni apa baen dong esih urip kudhu ngati-ati (http://map-bms.wikipedia.org/wiki/Sadranan).