Kamis, 09 Juni 2011

Sekilas Sejarah Masjid Agung Al Munawwar Tulungagung

Oleh 

Agus Ali Imron Al Akhyar 




Tentunya tidak menyadari kalau kita (baca: umat Islam) mempunyai Masjid Agung Al-Munawwar Tulungagung, yang sudah berganti style. Masjid yang berada di pusat Kota Tulungagung ini menyimpan kenangan yang indah dalam perjalanannya hingga sekarang ini. Kita bisa menyebutnya dengan sebutan masjid tiga zaman. Sebab Masjid Agung Al-Munawwar Tulungagung mengalami transisi perubahan bangunan selama tiga kali priode; Periode Ngrowo (masjid awal), Periode Transisi dan Periode Modern.

Menurut bapak Kiai Ali Mustakim sesepuh Kelurahan Kauman yang dipaparkan oleh bapak KH. Abu Sofyan Sirojuddin, selaku ketua ta’mir Masjid Agung Al-Munawwar Tulungagung periode 2007-2012, mengatakan bahwasanya keberadaan tanah yang di atasnya dibangun sebuah Masjid Agung Al-Munawwar Tulungagung dulunya merupakan tanah wakaf dari Mbah Ichsan Puro. Penulis tidak dapat dengan pasti menelusuri siapa Mbah Ichsan Puro tersebut, karena sumber data pada saat itu belum ada yang mendokumentasikannya, selain itu keluarganyapun sulit untuk dilacak dan pelaku sejarah (oral history) pada saat itu mayoritas sudah meninggal dunia. Menurut bapak Muhadi Latief, Mbah Ichsan Puro merupakan suatu keluarga kenaipan[1] yang dulunya bertempat tinggal disekitar daerah Masjid Jami’ Al-Munawwar.
Menurut bapak KH. Abu Sofyan Sirojuddin, bahwasanya Masjid Agung Al-Munawwar Tulungagung dibangun pertama kalinya diperkirakan sekitar tahun 1262 H/1841 M, angka tersebut dapat dilihat pada hiasan ukir-ukiran imaman yang berada di Masjid Jami’ Al-Muhajjirin Gedangsewu Tulungagung tepatnya dibagian atas. Selain itu Imam masjid yang pertama kali, yang hidup pada masa tersebut belum dapat dideteksi siapa saja. Jadi siapa yang menggagas berdirinya Masjid Agung Al-Munawwar masih belum jelas. Bahkan ta’mir yang kali pertamapun juga masih sulit untuk ditelusuri keberadaannya. Maka dari itulah lembaran-lembaran tulisan ini mayoritas menuliskan dengan sumber data yang masih ada dan juga disinergikan dengan zaman penulisan.
Namun sebuah inksripsi atau tulisan yang telah ditemukan sebagai bukti awal dibangunnya Masjid Agung Al-Munawwar Tulungagung sedikit memberikan gambaran dalam penulisan mengenai sejarah masjid ini. Bukti tersebut berada dihiasan imaman yang berada di Masjid Jami’ Al-Muhajjirin. Inskripsi tersebut merupakan suatu perpaduan antara tulisan Arab dan bahasa Jawa serta tanpa ada kharokatnya.
Tulisan tersebut berada disisi atas tepatnya di tengah-tengah hiasan imaman dengan dikelilingi hiasan ukir-ukiran yang bermotif bunga. Tulisan tersebut bisa juga sebagai bukti dibangun pertama kalinya masjid yang berada di barat Alun-alun Tulungagung tersebut. Atau juga bisa dimungkinkannya tulisan tersebut sebagai bukti pembuatan hiasan imaman. Akan tetapi kalau sebagai bukti pembuatan hiasan imaman, mengapa pada tempat untuk khotbah tidak ada tanggalnya semacam itu. Sehingga kemungkinan besar inskripsi tersebut merupakan suatu tulisan yang mewakili bukti dalam pembangunan Masjid Agung Al-Munawwar Tulungagung.
Sehingga antara Masjid Agung Al-Munawwar dan Masjid Jami’ Al-Muhajjirin Gedangsewu merupakan sinergi kemasjidan yang tidak dapat dipisahkan. Untuk itulah perlunya sebuah pelestarian diantaranya, sebab pada zaman sekarang ini kita mempunyai dua masjid yang seiring perjalanannya menyimpan penuh makna.



[1] . Kenaipan dari kata dasar naip, ialah seorang penghulu Agama Islam yang kerjanya di Kantor Urusan Agama (Islam) atau KUA. Kalau kita lihat naib biasanya orang yang meng-ijab qobulkan kedua mempelai yang ingin menikah, selain itu juga mengurusi mengenai hal keagamaan (Islam).