Oleh
Agus Ali Imron Al Akhyar
Manusia Purba Homo Wajakensis merupakan aset kesejarahan yang bernilai tinggi, sehingga perlu untuk dipublikasikan, dilestarikan, dan juga menjadi media pembelajaran peserta didik, khususnya di Tulungagung. Keberadaan Manusia Purba Homo Wajakensis sendiri merupakan peradaban tempo dulu yang dimiliki oleh daerah Tulungagung. Maka dari itulah, perlunya penggalian potensi kesejarahan yang lebih terfokus dalam penanaman karakter generasi muda Tulungagung.
Kawasan daerah di sekitar Pegunungan Kapur Selatan
Tulungagung tercatat sebagai kawasan awal kehidupan dan sekaligus perkembangan
kehidupan sosial-budaya Tulungagung. Sehingga adanya awal kehidupan di daerah
Tulungagung tepat berada di bagian selatan itu, maka membuat transisi kehidupan
hingga sekarang.
Sebelum membahas mendalam mengenai manusia purba di
daerah Tulungagung yang terkenal dengan sebutan manusia Homo Wajakensis, lebih
baik kita telusuri di mana tempatnya diketemukan manusia purba tersebut. Pada
dasarnya mengenai letak diketemukannya manusia purba Wajakensis masih gelap.
Mayoritas masyarakat mengira kalau nama daerah ”Wajak” keberadaan daerahnya
berada di daerah Boyolangu yang sekarang kita kenal. Di atas sudah sedikit disinggung
mengenai biografi Dubois tentang penemuan awal fosil manusia wajakensis yang
berada di daerah tembang marmer.
Pada tahun 1859 M, Pegunungan Gamping selatan daerah
Campurdarat, waktu itu masih disebut dengan distrik Wajak. Daerah tersebut
tepatnya berada di Desa Gamping, di mana pada daerah tersebut terdapat
penggalian tambang marmer. Namun apabila kita kronologikan, maka nama daerah
yang dimaksud ”Wajak” pada masa penemuan situs fosil manusia purba tersebut
adalah di daerah Campurdarat, Tulungagung bagian selatan.
Di daerah selatan Tulungagung, yaitu tepatnya di daerah
distrik Wajak pada tahun 1889 diketemukan sisa-sisa manusia purba, termasuk
jenis manusia yang paling muda, oleh para ahli digolongkan ke dalam jenis
manusia cerdas (Homo Sapiens)
(Anonim; 1971:6). Fosil tenggkorak manusia purba, pada tahun 1889 M baru
diketemukan oleh B. D. Van Rietschouten dan penemuan fosil tersebut dinamakan
dengan Wajak I. Setelah itu fosil Wajak II diketemukan oleh Eugene Dubois pada
tahun 1890. dari situlah mulai terkuaknya tabir misteri suatu fosil manusia
purba yang akhirnya dinamakan dengan sebutan manusia purba Homo Wajakensis.
Manusia purba Homo Wajakensis tersebut merupakan jenis manusia muda yang
digolongkan sebagai manusia cerdas dan termasuk klarifikasi dalam Homo Sapiens.
Pengumuman pertama tentang fosil manusia purba Homo
Wajakensis diterbitkan tahun 1889 dalam pertemuan ”Koninklij – ke Natuurkundigo in Nederkansch – Indie” pada 13
Desember 1888, Mr. C. Ph. Sluiter tahun 1889 membaca surat dari Mr. B. D. Van
Rietshouten yang isinya dia telah menemukan tengkorak manusia dan sejenisnya.
Abstraksi tentang isi surat tersebut disimpan pada berkas koleksi Dubois, Rijksmuseum Van Natuurlijk Historie,
Leiden. Di dalamnya termasuk sketsa tentang situs wajak yang diproduksi ulang
oleh Van Briak, 1982. Surat tersebut tertanggal 31 Oktober 1888 (Majalah
Bersinar Tulungagung, edisi 25/IV/April 2005). Menurut Effendhie (1999), bahwasanya
manusia purba Wajakensis mempunyai tinggi badan 173 cm, manusia Wajak ini juga
menunjukkan ciri-ciri ras Mongoloid
dan Australomelanosoid, yang
diperkirakan hidup antara 40000 sampai 25000 tahun yang lalu.
Bagi Dubois, atas penemuannya yang berupa manusia purba
Homo Wajakensis tersebut, akhirnya ia tinggal di daerah Tulungagung kurang
lebih selama lima tahun. Di daerah Tulungagung tersebut, ia melakukan
penyisiran lagi, ditempat Rietschoten menemukan fosil tengkorak manusia, yakni
di daerah cekungan bebatuan sekitar daerah Wajak. Yang menarik pada saat Dubois
tinggal di daerah Tulungagung adalah ia juga sering berkunjung ke perkebunan
milik orang Skotlandia yang bernama Boyd, tepatnya di daerah Pegunungan Wilis.
Setelah Dubois menemukan fosil manusia purba di daerah Tulungagung Selatan
(Homo Wajakensis), ia semakin berambisi untuk bisa menemukan manusia purba yang
lainnya. Akhirnya ia berpindah ke berbagai tempat di daerah Jawa Timur dan
daerah Jawa Tengah (http://www.athenapub.com/13intro-he-htm).
Sudah berpuluh
tahun Dubois meninggalkan Indonesia, akhirnya kuburannya yang terletak di
perkebunan De Bedelaer miliknya di
Kota Venlo, hanya bisa membisu. Batu nisannya yang bertahtakan fosil tempurung
kepala dan dua tulang paha yang disilangkan dari Phithecantrhopus yang menjadi saksi bahwasanya Dubois adalah penemu
fosil manusia purba di Indonesia (khususnya daerah Jawa Tengah dan daerah Jawa
Timur) (http://www.athenapub.com/13intro-he-htm).
Adapun ciri-ciri khusus mengenai manusia purba Homo
Wajakensis, menurut S. Boeddhi Sampoerno yang dituliskan dalam Majalah Bersinar
Tulungagung edisi 25/IV/April 2005; bahwasanya fosil-fosil yang diketemukan di
distrik Wajak tersebut dinamakan Homo Wajakensis, ciri-cirinya adalah tengkorak
panjang dengan isi besar yakni Wajak I (wanita) berkapasitas 1.550 sentimeter
kubik dan Wajak II (laki-laki) berkapsitas 1.650 sentimeter kubik. Isi
tengkorak ini melebihi isi tengkorak manusia modern.
Tonjolan keningnya besar dan kuat seperti Australid, dahinya miring ke belakang
tetapi kurang primitif, dan bagian tengah atap tengkoraknya berlunas. Mukanya
lebar datar dengan tulang pipi menonjol ke samping seperti pada Mongoloid.
Matanya besar, tetapi agak rendah. Ada alur di depan hidungnya, akar hidungnya
melesak ke bawah dahi, tulang hidungnya sempit, kecil dan datar serta lubang
hidungnya lebar. Belakang tengkoraknya membonggol dengan tempat pelekatan otot
leher rata. Langit-langit mulutnya besar dan dalam, serta lebih besar dari Australid, giginya besar, tetapi dalam
proporsi modern, dan lengkungannya gigi lebih kecil dan berbentuk omega. Rahang
bawahnya kekar, kuat dan berat, sedangkan dagunya lemah dan miring ke belakang,
lebar cabang rahang bawahnya sebanding dengan manusia Hidelbreg (Jerman). Dari tulang paha dan tulang kering dapat
disimpulkan bahwa manusianya ramping dan tinggi.
Menurut Peter Bellwood (2000:125), mengatakan
tengkorak-tengkorak Wajak masih menimbulkan masalah-masalah yang menarik.
Banyaknya pakar menganggap tengkorak-tengkorak tersebut tergolong
Australo-Melanesia dan mempunyai otak dan wajak yang besar. Hanya saja, Coon
(1962) maupun Jacob (1967) mencatat kemungkinan adanya kecenderungan ciri Mongoloid yang tampak dari mukanya yang
datar. Jika tarikh tersebut benar, tengkorak dari Wajak mungkin memperlihatkan
beberapa tingkat kecenderungan Mongoloid untuk
populasi-populasi di Jawa sebelum masa penghunian oleh penutur bahasa
Austronesia. Sayangnya, kecenderungan ciri morfologis yang tepat dari
tengkorak-tengkorak ini tidak begitu jelas, karena adanya berbagai masalah
dalam rekontruksinya. Jika kecenderungan ciri-ciri tersebut menunjukkan aliran gen praAustronesia dari daratan Asia ke
Indonesia, maka tengkorak-tengkorak Wajak itu sangat penting. Pandangan
tersebut sebagian ditentang oleh Jacob (1967:51) yang pernah menganggap
populasi Wajak kemungkinan adalah leluhur bersama Mongoloid Indonesia maupun Australo-Melanesia sekarang.
Untuk merangkai informasi mengenai situs manusia purba
yang berada di Indonesia, khususnya dibagian selatan Tulungagung. Jacob (1967),
menyatakan bahwa baru-baru ini lebih banyak lagi yang diketemukan mengenai
manusia purba. Jacob beranggapan situs-situs yang paling bermasalah salah
satunya adalah situs Wajak di Jawa Timur bagian selatan. Di sini, dua tengkorak
diketemukan pada tahun 1888 dan 1890 – yang terakhir diketemukan oleh Dubois –
dalam satu ceruk peneduh yang sekarang sudah hancur dan tidak ada bukti
langsung yang tertinggal untuk penarikhan atau mengetahui konteksnya (Strom dan
Nelson 1992). Untungnya, baru-baru ini dimungkinkan untuk meneliti sebuah
tulang paha manusia dari situs tersebut dengan penarikhan C14 pada apatite tulang (Shutler et al. 1994), dengan hasil kira-kira
6500 BP, jadi tulang-tulang manusia dan binatang dari Wajak selayaknya dapat
dianggap berumur Holosen Awal sampai pertengahan (Peter Bellwood;
2000:124-125).
Menurut Soekmono ((a)1973:29), pendapat Dubois, Homo
Wajakensis itu termasuk dalam golongan bangsa Australoide, bernenek moyang Homo
Soloensis dan nantinya menurunkan langsung bangsa-bangsa asli Australia itu.
Menurut Voon Koenigswald, maka Homo Wajakensis itu seperti juga Homo Soloensis,
asalnya dari lapisan bumi Pleistosen Atas dan mungkin sekali sudah dimasukkan
dalam jenis Homo Sapiens. Ketinggian tingkatnya lebih jelas lagi dari
kenyataan, bahwa berbeda dari jenis-jenis manusia tertua yang sudah disebutkan
di atas, maka Homo Wajakensis itu telah di tanam (baca: dikubur), sebagaimana
realitanya dari bekas-bekasnya waktu diketemukan.
Pada zaman sekarang daerah Tulungagung menjadi salah satu
daerah industri tambang marmer yang terkenal hingga ke mancanegara, bisa
kemungkinan juga keberadaan situs-situs manusia purba Homo Wajakensis tepatnya
di gua-gua pegunungan selatan telah rusak akibat dari polah aktivitas manusia
dalam menambang marmer atau batu onix. Namun apabila kita ingin melacak
keberadaan situs-situs manusia purba Homo Wajakensis kemungkinan masih bisa,
dengan indikasi daerahnya berada di dukuh Cerme, Campurdarat dan gua-gua di
Cerme yang disebut dengan Gua Lawa.
Bukti arkeologis lain yang mengenai keberadaan kehidupan
manusia purba saat itu, adalah berupa temuan hunian gua (rock sheller) di daerah Besole, di daerah Besuki yaitu Gua Song
Gentong. Temuan yang didapatkan di situs gua hunian itu berupa sisa-sisa
makanan, yakni cangkang kerang (Gastropoda) dan juga tulang-tulang
binatang sebagai sampah dapur. Selain tempat-tempat itu, bukti serupa pernah
diketemukan di situs Gua Pasetran Gondomayit yang tepatnya di dusun Ngelorejo,
desa Janglungharjo, Kecamatan Tanggunggunung, Kabupaten Tulungagung.
Adanya gua-gua yang berada di Pegunungan Selatan
Tulungagung tersebut, sebagai tempat tinggal atau adanya sebuah kehidupan
manusia purba Homo Wajakensis. Sebab dimungkinkan gua-gua yang keberadaannya
tidak jauh dari pantai selatan tersebut menjadi tempat tinggalnya, karena
sewaktu-waktu mereka tidak jauh dalam mencari makanan yang berupa kerang-kerang
atau ikan. Daerah Wajak relatif tidak jauh dari keberadaan rawa-rawa ataupun
Samudera Hindia. Rawa Bening salah satunya, dimungkinkan memang rawa tersebut
merupakan rawa yang terjadi semasa dengan terjadinya Gunung Gamping di daerah
tersebut.
Namun tidak hanya keberadaan manusia Homo Wajakensis saja
yang ada, melainkan kehidupan di Pegunungan Kapur Selatan Tulungagung telah
dihuni berbagai jenis makhluk binatang seperti antelope, babi hutan, kijang, rhino,
dan juga berbagai jenis kera. Sehingga kalau ditarekhkan pada masa manusia
purba Wajakensis sudah mengenal kultur, sosio dan ekonomis. Secara tidak
langsung maka manusia purba tersebut sudah mampu untuk mengolah lingkungan
Pegunungan Kapur Selatan Tulungagung.
Dengan banyaknya gua-gua yang terdapat dibagian selatan
daerah Tulungagung tentunya kita dapat menafsirkan, bahwasanya kehidupan
manusia purba pada zaman dahulu memang sudah ada di daerah tersebut, bukti dan
data yang ada, sudah menjadi pengukuhan bagi dunia kesejarahan bahwasanya
daerah Tulungagung menjadi salah satu penyokong kesejarahan internasional,
dengan pernah diketemukannya fosil manusia purba yang akhirnya diberi nama Homo
Wajakensis. Temuan manusia purba Homo Wajakensis, mengisyaratkan pada kita
bahwa sekitar 40000 tahun silam, khususnya daerah Tulungagung bagian selatan
telah di diami oleh manusia purba Homo Sapiens yang tergolong dalam Ras Wajak,
tentunya berbeda dengan ras manusia sekarang pada umumnya yang bertempat
tinggal di kawasan tersebut.
Kalau ditinjau dalam segi kebudayaan, Homo Wajakensis
sudah mempunyai unsur budaya. Menurut Soekmono ((a)1973:14), kebudayaan dewasa
sekarang ini adalah hasil dari pertumbuhan dan perkembangan di waktu yang lalu
(sekali-kali bukan menjadi pengganti, melainkan lanjutan). Maka untuk
mengetahuinya dan mengenalnya, lebih-lebih untuk dapat menyelaminya dengan benar,
perlulah ditinjau dari sejarahnya.
Menurut manuskrip Sejarah dan Babad Tulungagung (1971),
bahwasanya dasar penguburan adalah erat kaitannya dengan sebuah kepercayaan,
yaitu suatu usaha untuk melindungi ruh-ruh dari gangguan alam (lingkungan) atau
binatang buas serta faktor-faktor lain. Maka dari itu, kalau memang benar
manusia purba Homo Wajakensis tersebut sudah mengenal penguburan, berarti
mereka sudah mengenal usaha untuk melindungi hidup mereka, yaitu berburu untuk
menjamin kelangsungan kehidupannya, mendirikan tempat tinggal untuk berteduh
dan melindungi dari gangguan dan liarnya binatang buas. Dalam hal ini tidak
mustahil apabila gua-gua yang terdapat di daerah Wajak pada masa dahulunya juga
merupakan tempat tinggal bagi manusia-manusia purba seperti Homo Wajakensis.
Corak kebudayaan yang ada masa manusia purba sangatlah
unik dan perlu untuk diketahui. Kala itu manusia antara lain telah mengenal
logam. Budaya prasejarah yang pernah terdeteksi di kawasan Tulungagung Selatan
diantaranya pernah diketemukan sarkofagus di situs Darungan di desa Kalibatur
Kecamatan Kalidawir. Pada saat diketemukan oleh penduduk setempat sekitar tahun
1978, didapati wadah kubur itu masih lengkap dengan bagian tutup yang terbuat
dari batuan gamping berwarna kekuningan. Salah satu ujungnya dipahat meruncing,
yang serupa dengan lunas perahu. Didalam lubang bagian atas sarkofagus itu
terdapat kerangka manusia dan bekal kubur atau burial gift yang berupa manik-manik dan senjata dari bahan besi.
Budaya semacam bekal kubur maupun perahu lunas yang
menyerupai perahu arwah, hal itu merupakan salah satu kebudayaan khas masa
megalitikum yang pernah ada di Tulungagung zaman prasejarah. Dalam kaitan hal
serupa pada tahun 1982 di dusun Nglempong, desa Gamping juga pernah diketemukan
sisa-sisa tulang manusia yang berupa tengkorak dan fragmen tulang serta
manik-manik dan juga benda yang terbuat dari perunggu.
Maka dari itulah, jejak-jejak sejarah zaman prasejarah
yang ada di daerah Tulungagung perlu untuk didokumentasikan dalam rangka demi
masa depan generasi muda maupun pelajar untuk bisa mengetahui dan mencintai
daerahnya. Tulungagung yang kini sudah berkembang pesat dalam berbagai sektor,
kita sebagai generasi muda Tulungagung setidaknya mengetahui, memahami,
mencintai, dan menyayangi kesejarahan lokal Tulungagung yang merupakan tempat
kelahiran.