Oleh
Agus Ali Imron al Akhyar
Tulungagung daerah kabupaten yang memiliki berbagai legenda yang
melatar belakangi heterogenitas penduduk. Legenda yang telah mendarah daging
dalam keseharian masyarakat lokal Tulungagung menjadikan hal tersebut sebagai
kekayaan tersendiri yang dituangkan dalam sisi sejarah dan kebudayaan yang khas
yang membedakan Tulungagung dengan daerah yang lain. Setiap daerah memang memiliki
cerita dan sejarah yang berbeda, namun yang membedakan adalah bagaimana
masyarakat tersebut dapat menghidupkan, menjaga dan melestarikannya agar dapat
dituangkan dalam m,emilih langkah yang akan menjadi acuan bagi generasi
selanjutnya.
Kepedulian kepada sejarah tidak hanya dapat dituangkan dengan
mempelajarinya, namun juga dapat diterapkan dalam mengenang, menjaga dan
melestarikan. Salah satunya dengan cara menamakan Terminal Tulungagung dengan
nama Terminal “Kembang Sore”. Nama Kembang Sore itu sengaja penulis pilih
dengan alasan nama tersebut memberikan sebuah cerita yang melegenda di
masyarakat Tulungagung sekitar.
ALASAN
PENAMAAN TERMINAL KEMBANG SORE
Alasan utama penulis menggunakan nama Kembang Sore adalah mengangkat
kembali sosok yang bernama asli Roro
Kembang Sore yang namanya pernah tersohor di masa silam. Dengan diangkatnya
kembali nama ini, diharapkan masyarakat lebih apresisatif dan antusias dengan
lingkungan dan sejarah Tulungagung. Bagi
penulis, dengan mengenalkan legenda daerah lokal, masyarakat Tulungagung akan
lebih bangga dalam memiliki dan memperkenalkan apa yang dimiliki Tulungagung,
salah satunya yaityu sector terminal daerah, yang oleh penulis dinamakan
Terminal Kembang Sore. Nama Kembang Sore
diangkat penulis dari nama asal Roro Kembang Sore, agar dalam pelafalan ucapan
masyarakat tidak begitu sulit maka penulis memilih kata Kembang Sore sebagai
nama Terminal di Tulungagung.
SEJARAH RORO
KEMBANG SORE
Nama Roro Kembang Sore ini penulis pilih karena mempunyai cerita
legenda tersendiri. Roro Kembang Sore menurut
cerita para tetua di kabupaten Tulungagung, ada seorang Jejaka bernama Joko
Budeg yang keturunan orang biasa dan Roro Kembang sore dari keluarga Ningrat.
Joko Budeg sangat mendambakan Roro Kembangsore menjadi pasangan hidupnya,
karena Joko Budeg mencintai Kembangsore dengan sepenuh hatinya.
Tentu saja keinginan Joko Budeg yang
berlebihan ini tidak mendapat tanggapan dari Kembang Sore, karena Kembangsore
berpendapat bahwa Joko Budeg bukanlah pasangan yang setimpal untuk dirinya. Sebagai lelaki Joko Budeg tidak pernah surut
keinginannya untuk mempersunting wanita idamannya, berbagai cara sudah
dilakukan agar keinginannya bisa terwujud.
Lama kelamaan hati Kembang Sore yang keras
bagaikan batu, luluh oleh keseriusan Joko Budeg mendekati dirinya. Tetapi tentu
saja keinginan ini tidak serta merta diterima begitu saja oleh Kembang Sore.
Roro Kembangsore mau menerima lamaran Joko Budeg dengan persyaratan yang harus
dipenuhi oleh Joko Budeg.
Kembang Sore mau dipersunting oleh Joko Budeg
asalkan Joko Budeg mau bertapa 40 hari 40 malam di sebuah bukit, beralaskan
batu dan memakai tutup kepala “cikrak” (alat untuk membuang sampah di
Tulungagung) sambil menghadap ke Lautan Kidul. Joko Budeg menerima persyaratan
ini, dan melaksanakan apa yag diminta oleh Roro Kembang Sore.
Setelah waktu berlalu sesuai yang
dijanjikan, Roro Kembang Sore berharap Joko Budeg datang untuk memenuhi
janjinya. Setelah ditunggu 1 hari 1 malam, ternyata Joko Budeg tidak muncul
juga, kembang sore mulai cemas (karena sebenarnya di hati Kembang Sore juga
tumbuh rasa cinta kepada Joko Budeg). Seketika itu juga Kembangsore mendatangi
bukit yang digunakan untuk bertapa Joko Budeg. Sesampai disana masih Nampak
Joko Budeg dengan khususknya bertapa. Kasihan melihat keaadaan itu, kembangsore
membangunkan Joko Budeg dari bertapanya.
Setelah cukup lama usaha Kembang Sore untuk
membangunkan Joko Budeg tidak membawa hasil, akhirnya KembangSore jengkel, dan
keluar kata-kata yang cukup keras “ditangekke kok mung jegideg wae, koyo watu”
(bahasa jawa Tulungagung-an~dibangunkan kok tidak bangun-bangun, kayak batu)
seketika itu terjadi keajaiban alam, Joko Budeg berubah wujudnya menjadi batu.
Saat ini bukit tempat Joko Budeg bertapa
dikenal dengan nama “Gunung Budeg” dan patung Joko Budeg bertapa masih utuh
sampai sekarang.
Roro Kembang Sore, dengan penyesalan yang
dalam.. kembali ke kediamannya, dan bersumpah tidak akan menikah dengan orang
lain selain Joko Budeg. Roro Kembang Sore akhirnya bertapa di satu tempat,
sampai meninggal dan dikuburkan di tepat itu. Saat ini tempat pemakaman kembang
sore dikenal sebagai Pemakaman Gunung Bolo yang sangat terkenal .
SIMPULAN
Nama terminal merupakan identitas atau jati
diri suatu Kabupaten. Dengan akulturasi nilai sejarah didalamnya, akan menambah wawasan dan nilai edukasi bagi
masyarakat lokal. Dengan penamaan Terminal RORO KEMBANG SORE diharapkan
Tulungagung akan lebih bersinar sesuai dengan motonya. Terminal diharapkan
menjadi salah satu aspek dan sisi transportasi yang dapat meningkatkan citra
dan nama Tulungagung di kalangan masyarakat luas. Dengan akulturasi budaya dan
sejarah, diharapkan Tulungagung semakin bersinar dan dikenal oleh khalayak
ramai.