Kamis, 06 September 2012

"TERMINAL “KEMBANG SORE”


Oleh
Agus Ali Imron al Akhyar



Tulungagung daerah kabupaten yang memiliki berbagai legenda yang melatar belakangi heterogenitas penduduk. Legenda yang telah mendarah daging dalam keseharian masyarakat lokal Tulungagung menjadikan hal tersebut sebagai kekayaan tersendiri yang dituangkan dalam sisi sejarah dan kebudayaan yang khas yang membedakan Tulungagung dengan daerah yang lain. Setiap daerah memang memiliki cerita dan sejarah yang berbeda, namun yang membedakan adalah bagaimana masyarakat tersebut dapat menghidupkan, menjaga dan melestarikannya agar dapat dituangkan dalam m,emilih langkah yang akan menjadi acuan bagi generasi selanjutnya.

Kepedulian kepada sejarah tidak hanya dapat dituangkan dengan mempelajarinya, namun juga dapat diterapkan dalam mengenang, menjaga dan melestarikan. Salah satunya dengan cara menamakan Terminal Tulungagung dengan nama Terminal “Kembang Sore”. Nama Kembang Sore itu sengaja penulis pilih dengan alasan nama tersebut memberikan sebuah cerita yang melegenda di masyarakat Tulungagung sekitar.

ALASAN PENAMAAN TERMINAL KEMBANG SORE
Alasan utama penulis menggunakan nama Kembang Sore adalah mengangkat kembali sosok  yang bernama asli Roro Kembang Sore yang namanya pernah tersohor di masa silam. Dengan diangkatnya kembali nama ini, diharapkan masyarakat lebih apresisatif dan antusias dengan lingkungan dan sejarah Tulungagung.  Bagi penulis, dengan mengenalkan legenda daerah lokal, masyarakat Tulungagung akan lebih bangga dalam memiliki dan memperkenalkan apa yang dimiliki Tulungagung, salah satunya yaityu sector terminal daerah, yang oleh penulis dinamakan Terminal  Kembang Sore. Nama Kembang Sore diangkat penulis dari nama asal Roro Kembang Sore, agar dalam pelafalan ucapan masyarakat tidak begitu sulit maka penulis memilih kata Kembang Sore sebagai nama Terminal di Tulungagung.  
SEJARAH RORO KEMBANG SORE
Nama Roro Kembang Sore ini penulis pilih karena mempunyai cerita legenda tersendiri. Roro Kembang Sore menurut cerita para tetua di kabupaten Tulungagung, ada seorang Jejaka bernama Joko Budeg yang keturunan orang biasa dan Roro Kembang sore dari keluarga Ningrat. Joko Budeg sangat mendambakan Roro Kembangsore menjadi pasangan hidupnya, karena Joko Budeg mencintai Kembangsore dengan sepenuh hatinya.

Tentu saja keinginan Joko Budeg yang berlebihan ini tidak mendapat tanggapan dari Kembang Sore, karena Kembangsore berpendapat bahwa Joko Budeg bukanlah pasangan yang setimpal untuk dirinya. Sebagai lelaki Joko Budeg tidak pernah surut keinginannya untuk mempersunting wanita idamannya, berbagai cara sudah dilakukan agar keinginannya bisa terwujud.

Lama kelamaan hati Kembang Sore yang keras bagaikan batu, luluh oleh keseriusan Joko Budeg mendekati dirinya. Tetapi tentu saja keinginan ini tidak serta merta diterima begitu saja oleh Kembang Sore. Roro Kembangsore mau menerima lamaran Joko Budeg dengan persyaratan yang harus dipenuhi oleh Joko Budeg.

Kembang Sore mau dipersunting oleh Joko Budeg asalkan Joko Budeg mau bertapa 40 hari 40 malam di sebuah bukit, beralaskan batu dan memakai tutup kepala “cikrak” (alat untuk membuang sampah di Tulungagung) sambil menghadap ke Lautan Kidul. Joko Budeg menerima persyaratan ini, dan melaksanakan apa yag diminta oleh Roro Kembang Sore.

Setelah waktu berlalu sesuai  yang dijanjikan, Roro Kembang Sore berharap Joko Budeg datang untuk memenuhi janjinya. Setelah ditunggu 1 hari 1 malam, ternyata Joko Budeg tidak muncul juga, kembang sore mulai cemas (karena sebenarnya di hati Kembang Sore juga tumbuh rasa cinta kepada Joko Budeg). Seketika itu juga Kembangsore mendatangi bukit yang digunakan untuk bertapa Joko Budeg. Sesampai disana masih Nampak Joko Budeg dengan khususknya bertapa. Kasihan melihat keaadaan itu, kembangsore membangunkan Joko Budeg dari bertapanya.

Setelah cukup lama usaha Kembang Sore untuk membangunkan Joko Budeg tidak membawa hasil, akhirnya KembangSore jengkel, dan keluar kata-kata yang cukup keras “ditangekke kok mung jegideg wae, koyo watu” (bahasa jawa Tulungagung-an~dibangunkan kok tidak bangun-bangun, kayak batu) seketika itu terjadi keajaiban alam, Joko Budeg berubah wujudnya menjadi batu.
Saat ini bukit tempat Joko Budeg bertapa dikenal dengan nama “Gunung Budeg” dan patung Joko Budeg bertapa masih utuh sampai sekarang.

Roro Kembang Sore, dengan penyesalan yang dalam.. kembali ke kediamannya, dan bersumpah tidak akan menikah dengan orang lain selain Joko Budeg. Roro Kembang Sore akhirnya bertapa di satu tempat, sampai meninggal dan dikuburkan di tepat itu. Saat ini tempat pemakaman kembang sore dikenal sebagai  Pemakaman Gunung Bolo yang sangat terkenal .

SIMPULAN
Nama terminal merupakan identitas atau jati diri suatu Kabupaten. Dengan akulturasi nilai sejarah didalamnya,  akan menambah wawasan dan nilai edukasi bagi masyarakat lokal. Dengan penamaan Terminal RORO KEMBANG SORE diharapkan Tulungagung akan lebih bersinar sesuai dengan motonya. Terminal diharapkan menjadi salah satu aspek dan sisi transportasi yang dapat meningkatkan citra dan nama Tulungagung di kalangan masyarakat luas. Dengan akulturasi budaya dan sejarah, diharapkan Tulungagung semakin bersinar dan dikenal oleh khalayak ramai.