Oleh
Agus Ali Imron Al Akhyar
Tim Ekspedisi :
1. Trijono, S.S.
2. Kang Karyo (Maryoko)
3. Bramanta Putra Pamungkas
4. Agus Ali Imron Al Akhyar
5. Puji Mahanani
6. Merza Zumairy
7. Novelia Fijri
8. Moh. Khoirul Mualifin
9. Cahyo Febrianto
Sejarah memang perlu untuk diungkap, sebagai rasa kesatuan zaman. Terutama daerah yang berada di selatan Propinsi Jawa Timur, yaitu Tulungagung. Daerah yang berada di pesisir selatan Jawa Timur ini dulunya pernah ditemukan fosil manusia purba, yaitu manusia purba Homo Wajakensis.
Temuan pertama kali, mengenai manusia purba oleh Eugene Dubois pada tahun 1889. Wajakensis pada saat penelitian Eugene Dubois ditemukan di pesisir selatan daerah Tulungagung, yaitu dukuh Cerme, Campurdarat, Tulungagung.
Homo Wajakensis kemudian melakukan perjalanan hingga sampai di benua Australia. Tengkorak Kwiler sebagai nenek moyang suku Aborigin, penduduk asli Australia yang bertempat tinggal di dekat Melbourne-Australia memiliki banyak persamaan dengan tengkorak manusia Homo Wajakensis (Brian, 1954:3).
Sehingga secara tidak langsung daerah Tulungagung merupakan pengisi catatan kesejarahan dunia internasional. Penemuan Eugene Dubois tersebut merupakan penemuan terhebat di daerah Tulungagung. Namun setelah penelitian yang dilakukan Eugene Dubois tersebut, keberadaan situs manusia purba wajakensis tertidur lelap. Perhatian dari pemerintah daerah Tulungagung sangat minim sekali. Bahkan keberadaan daerah yang dulunya menjadi penemuan manusia purba tidak dikasih monumen atau prasasti sebagai situ bersejarah.
Kesadaran Generasi Muda
Seiring perkembangan zaman, keberadaan situ itu mulai terungkap kembali. Ekspedisi kali ini dikomandani Bapak Trijono, S.S.. dan juga dibantu oleh siswi MAN Tulungagung 1, sebut saja Puji Mahanani, Merza Zumairy, dan Novelia Fijri.
Ekspedisi ini dilaksanakan pada hari senin, tanggal 15 Februari 2010. Lokasi ekspedisi kali ini berada di dukuh mBolu, desa Ngepoh, kec. Tanggunggunung, kab. Tulungagung. Daerah tersebut tepatnya berada di daerah pegunungan selatan Tulungagung. Kondisi daerah yang berbukit-bukit, dan juga rentetan pegunungan selatan yang menjadi ciri khas pegunungan selatan.
Ekspedisi ini dititik beratkan pada daerah dukuh mBolu. Menurut sebagian warga, banyak sekali ditemukan benda-benda semacam keong, siput, dan lain sebagainya, karena penduduk sekitar tidak mengetahui kalai itu benda berharga bagi keilmuan, maka dibiarkan saja. Ternyata setelah tim ekspedisi dari Kajian Sejarah, Sosial, dan Budaya {KS2B} Kabupaten Tulungagung, akhirnya menemukan berbagai sampah dapur manusia purba atau Kjokken Moddinger.
Sampah dapur manusia purba tersebut banyak ditemukan pada aliran sungai yang berada di belakang rumah warga. Ternyata setelah ditelusuri hingga radius 500 meter dari rumah warga tersebut, banyak sekali diketemukan sampah dapur manusia purba. Bahkan tidak hanya sebangsa siput, keong saja, akan tetapi kerang, cangkang, siput besar, maka dari itu ekspedisi terus digencarkan.
Keberadaan sampah dapur manusia purba tersbeut sangat banyak sekali. Dibalik rumah warga terdapat semacam bukit, ketika tim ekspedisi menjelajah di area bukit tersebut terdapat puluhan Kjokken Moddinger. Bagi tim ekspedisi penemuan tersebut merupakan kebetulan dan juga menjadi tertarik untuk melanjutkan ekspedisi berikutnya. Diduga sementara dari tim ekspedisi KS2B Kabupaten Tulungagung, bahwasanya daerah tersebut dulunya merupakan bagian dari keberadaan kehidupan manusia purba.
Keadaan Geografis
Daerah Tulungagung merupakan daerah jalur pegunungan selatan, daerah Tulungagung sendiri pada dasarnya merupakan area hutan. Keadaan tanahnya yang berkapur dan juga merupakan lahan subur. Masyarakat Tanggunggunung memanfaatkan lahan perhutanan sebagai ladang jagung, ubi-ubian, menanam padi, dan lain sebagainya. Pada tahun 2010, banyak sekali hutan yang dijadikan sebagai ladang alternatif.
Pusat ekspedisi KS2B Kabupaten Tulungagung kurang lebih sejauh 50 kilometer dari pusat pemerintahan Tulungagung. Dengan keadaan jalan yang menanjak dan juga banyak jurang ceram menjadi hiasan tersendiri.
Namun ketika malam, suasana sepi sunyi tanpada ada lampu penerangan yang cukup. Jarak antar kampong lumayan jauh, sehingga suasana malam nampak sunyi dan hanya belalang yang mengiringi malam-malam di Tanggunggunung. Daerah bagian selatan Tulungagung ini merupakan suatu datarantinggi yang kaya akan pertambangan, terutama marmer. Daerah seperti kecamatan Bandung, Besuki, Campurdarat, dan Tanggununggung, merupakan daerah tersusun oleh batu gamping geblur yang bersisipkan tanah lempung yang berkarbon. Bisa dibilang awal Miosan Tengah, sehingga daerah selatan Tulungagung termasuk catatan purba.
Etnografi Tanggunggunung
Menurut data statistik Kabupaten Tulungagung pada tahun 2003-2007, bahwasanya luas wilayah Tanggunggunung ± 117,73 km2 dengan jumlah penduduk pada tahun 2003 sebesar 23.863 jiwa, tahun 2004 sebesar 22.969 jiwa, tahun 2005 sebesar 23.984 jiwa, dan pada tahun 2006 sebesar 21.006 jiwa, serta pada tahun 2007 adalah sebesar 25.021 jiwa.
Mayoritas tingkat pendidikan yang terdapat pada masyarakat Tanggunggunung adalah lulusan SLTA. Sehingga sumber daya manusianya masih jauh dibandingkan dengan sumber daya alam yang ada. Pengelolaan lahan yang masih kurang, bertani, berkebun, penambang marmer dan bekerja di luar negeri. Sheingga bisa dibalang kehidupan keluarga terpenuhi. Rentetan rumah-rumah penduduk yang sudah nampak modern yang menunjukan kelas ekonomi menangah ke atas.
Potensi alam yang mendukung untuk bisa hidup lebih baik, namun karena pengembangan, menjadikan daerah Tanggunggunung hanya sebuah bukit pegunungan. Tentunya pengembangan investor dan memberdayakan potensi alam, bisa dijadikan sebagai objek wisata purba. Daerah pegunungan yang menyerupai palung dan juga dekat dengan pantai selatan.
Menurut data statistik Tulungagung, bahwasanya mata pencaharian masyarakat Tanggunggunung, diantaranya; sebagai petani (3.426 jiwa), buruh (2.283 jiwa), nelayan (232 jiwa), dan mendirikan industry sebanyak (157 jiwa), data tersebut terangkum pada tahun 2007.
Ekspedisi Tulungagung Selatan Pertama
Sebelum tim ekspedisi dari Kajian Sejarah, Sosial, dan Budaya {KS2B} Kabupaten Tulungagung melakukan ekspedisi, awal mulanya dari siswa MAN Tulungagung 1 yang melaporkan telah menemukan sebangsa kerang yang sudah membatu. Siswa tersebut melapor kepada gurunya yang bernama Bapak Trijono. Sesudah melaporkan penemuan itu, ditanggapi baik oleh Bapak Trijono, akhirnya teman-teman KS2B dikumpulkan pada sore harinya.
Pada tanggal 15 Februari 2010, tepatnya hari senin, tim ekspedisi KS2B Kabupaten Tulungagung menuju area penemuan fosil cangkang yang sempat dilaporkan oleh Cahyo (siswa MAN Tulungagung 1) yang menemukan. Pagi sekitar pukul 08:00 WIB, tim meluncur ke arah lokasi yang ditunjukan oleh Cahyo.
Sesampai di lokasi tepatnya di dukuh mBolu, desa Ngepoh, kec. Tanggunggunung, tepat pukul 09:15 WIB. Pada pukul 09:30 WIB kami memulai ekspedisi dengan menelusuri area perbukitan yang berada di belakang rumah salah satu warga. Pada hari itu juga tim ekspedisi KS2B Kabupaten Tulungagung menemukan berbagai macam bentuk kerang Gastropoda, yang berserakan di tanah, di aliran sumber air. Ekspedisi yang pertama kali ini menghabiskan waktu ± 4 jam. Penemuan pertama ini memang memuaskan dari hasil ekspedisi.
Ekspedisi Tulungagung Selatan Kedua
Karena hasil yang ekspedisi pertama, masih menimbulkan pertanyaan bagi KS2B Kabupaten Tulungagung, akhirnya pada tanggal 22 Februari 2010 tim KS2B meluncur lagi ke tempat yang diduga masih banyak fosil-fosil Gastropoda. Namun kali ini tempat yang menjadi target ekspedisi berada di balik bukit ± 1,5 kilometer dari penemuan awal. Ternyata di bukit tersebut terdapat fosil Gastropoda, dan di duga sementara fosil tulang manusia. Fosil-fosil tersebut berserakan di tanah, adapula yang tertimbun di dalam tanah.
Hasil ekspedisi yang kedua ini, memang dalam rangka menjawab pertanyaan dari tim ekspedisi. Sebab daerah tersebut, di duga dulunya ada laut. Karena mengalami gerak patahan bumi, sehingga daerah tersebut menjadi naik. Ekspedisi diakhiri pada pukul 13:00 WIB, karena cuaca tidak memungkinkan pada pukul 14:00 WIB kami kembali pulang.
Ekspedisi Tulungagung Selatan Ketiga
Ekspedisi yang ketiga ini tepat pada 25 Februari 2010. Pada ekspedisi kali ini tim Kajian Sejarah, Sosial, dan Budaya {KS2B} Kabupaten Tulungagung, menemukan fosil-fosil Gastropoda hampir satu tas ransel. Tempat ekspedisi kali ini, berada di dua bukit dan menelusuri anak sungai kecil. Bukit-bukit tersebut oleh masyarakat di jadikan ladang buka, dan di Tanami; jagung, ketala pohon, kacang tanah, dan umbi-umbian. Kami mulai ekspedisi pukul 09:30 WIB sampai pukul 13:00 WIB.
Menemukan berbagai Gastropoda dan Flage atau serpihan serta alat (kapak genggam). Fenomena alam yang terjadi saat ekspedisi ketiga ini, sangat indah dan sejuk. Namun masyarakat sekitar tidak peduli dengan keberadaan fosil-fosil tersebut, dikarenakan tidak mengerti fungsi dan manfaat bagi keilmuan. Bahkan saat kami melakukan ekspedisi bertemu dengan salah satu warga yang bertanya; dibuat apa lo…mas, apa dijual?.
Melihat dari pertanyaan tersebut, bahwa masyarakat sekitar beranggapan sebagai sistem ekonomis. Sehingga masyarakat tersebut tidak mengetahui fungsi dari fosil-fosil tersebut. Daerah Tanggunggunung sendri nampak seperti palung wajan, yang menimbulkan pertanyaan adalah mengapa di daerah penemuan fosil tersebut terdapat batu kerang, keong, siput (Gastropoda), batu setalakmit dan setalaktit? Padahal jarak dari keberadaan pantai yang sekarang ± 9 kilometer.
Memang penemuan fosil-fosil tersebut belum diuji di laboratorium. Namun berdasarkan ciri-ciri dari literature yang pernah ada, kami bisa menyebutkan penemuan kami sebagai fosil. Kalai kita runtut dengan sejarah, bahwasanya di sebelah utara daerah Tanggunggunung tepatnya di daerah Cerme-Campurdarat, pada tahun 1889 pernah diketemukan fosil manusia purba yang terkenal dengan sebutan Manusia Homo Wajakensis oleh Eugene Dubois. Hingga sekarang hasil penemuannya itu berada di Belanda.
Dengan rentan berjuta-juta tahun, bisa dimungkinkan kalau kawasan Tulungagung selatan merupakan daerah purba. Tanggunggung, Campurdarat adalah kawasan yang dulunya pernah dihuni masa kehidupan manusia purba.
Dampak Penemuan Fosil Gastropoda
Sangat membuat kebakaran jenggot bagi pemerintahan daerah Tulungagung, terutama Dinas Pariwisata, Budaya, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Tulungagung. Dengan cepatnya, fosil temuan dari Kajian Sejarah, Sosial, dan Budaya Kabupaten Tulungagung sudah terekspos. Berita mengenai penemuan tersebut sudah masuk media Koran baik tingkat daerah, nasional, dan internasional.
Berbagai media menanyakan langsung ke pihak dinas terkait, namun mereka tidak tahu apa-apa. Pekerjaan dinas terkait hanya duduk manis, canda tawa saja, namun tidak pernah (sering) terjun ke lapangan (khususnya petilasan Wajakensisi) untuk sekedar dilihatnya. Padahal potensi kesejarahan, yang ada di Tulungagung sangat besar.
Dilain pihak ada juga yang iri akan ekspedisi yang dilaksanakan oleh KS2B Kabupaten Tulungagung. Akan tetapi ada pula yang menyalahkan KS2B Kabupaten Tulungagung, karena berbagai alasan, adapun SMS (Short Message Servis) yang pernah di terima oleh penulis (Agus Ali Imron Al Akhyar), pada tanggal 04 Maret 2010, pengirimnya adalah Bapak Hariyadi petugas BP3 Trowulan-Mojkerto, yang diperkerjakan untuk mengurus Museum Daerah Tulungagung.
Adapun isi dari Short Message Servis tersebut;
Pengirim : Hariyadi (085259569898)
Penerima : Agus Ali Imron Al Akhyar (085235479897)
Mas agus, ada banyak
Pertanyaan ke saya
Berkaitan dgn fosil Anda.
1. Legalitas organisasi Anda
2. Ijin legal penggalian dan
Penelitian yang Anda lakukan.
Kemarin saya tlah di panggil
Pejabat pemkab dan hari itu juga saya
Dipanggil Bp3 trowulan berkaitan fosil Anda
Dari SMS (Short Message Servis) tersebut telah menanyakan kridibilitas KS2B dan juga hasil ekspedisi. Namun dilain sisi lemahnya birokrasi pemerintahan juga perlu dipertanyakan, secara teori ketika belum ada penemuan, padahal mengetahui kalau tempat itu adalah tempat fosil-fosil, tapi mengapa para pemangku birokrasi hanya duduk-duduk saja, ketika ada penemua mereka kalang kabut kebakaran jenggot. Itu yang harus dipertanyakan, pekerjaannya apa?
Saya tidak mendalami untuk mengkritik jalan birokrasi di pemerintahan setempat, namun saya hanya ingin menuangkan pengalaman saya, tatkala berhadapan dengan birokrasi di pemerintahan Tulungagung.
Kembali ke fosil, kalau kita menuju ke arah selatan daerah Tulungagung (jalur Pantai Popoh), tepatnya di daerah kerajinan marmer, maka kita akan melihat fosil-fosil tumbuhan yang sedang dipajang di depan showroom atau depan rumah. Fosil-fosil tersebut diperjual belikan dengan nyata, namun apa respon dari dinas terkait mengenai fenomena tersebut?