Sabtu, 05 Februari 2011

“FOLKLOR” SEBAGAI SIMBOL IDENTITAS KEDAERAHAN

Oleh 

Agus Ali Imron Al Akhyar




Indonesia terutamanya, sungguh mengagumkan sekali kekayaan khasanah sejarah, budaya dan keseniannya. Tentu hal ini tidak lepas dari berkah Tuhan Semesta Alam, menurut cerita; batang ketela pohonpun ditancapkan bisa menghasilkan buah. Nusantara dengan keelokannya menyimpan misteri yang masih belum terungkap seluruhnya. Salah satunya adalah keberadaan folklor yang terdapat di daerah, yang belum sempat ditulis di lembaran kertas (pendokumentasian). Manfaat yang diperoleh selain sebagai dokumen juga dapat dijadikan bacaan kaum muda.


Di setiap daerah tentunya mempunyai ciri khas tersendiri, sehingga antara satu daerah dengan daerah lain berbeda. Hal inilah yang menjadi tantangan bagi kita semua untuk dapat menulis sejarah daerah masing-masing. Menurut Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo dalam pengantarnya di buku Silang Budaya karangan Denys Lombord bahwsanya telah diketahui umum, setiap generasi menulis sejarahnya sendiri berdasarkan perspektif atau optiknya sendiri. Baik jiwa zaman (zeitgeist) maupun ikatan kebudayaannya (kultur gebundenbeit) menuntut agar dilakukan rekonstruksi sejarah komunitasnya yang sesuai dengan generasinya (Denys Lombord; 1996:xi).

Tentunya untuk mengumpulkan serpihan-serpihan cerita rakyat (folklor) tidak gampang. Pada saat ini generasi muda ditantang oleh pergolakan zaman, sehingga masih mampukah untuk mempertahankan tradisi dan warisan nenek moyangnya?.

Jawabnya, kalau kita memiliki tekad dan bekerja keras tentunya mampu untuk mendokumentasikan warisan leluhur. Begitu juga dengan folklor, setiap daerah memiliki cerita rakyat tersendiri. Kita bisa membayangkan kalau seandainya dari ujung Aceh hingga ujung Irian Jaya dapat terdokumentasikan, berapa tebal dan jilidkah kalau dicetak menjadi buku. Keberadaan folklor dijadikan bahan bacaan pelajar sebagai pemahaman akan cinta kearifan lokal.

Bumi kita sudah semakin tua, namun Indonesia masih belum terlambat untuk merangkai folklor yang ada di daerah. Maknanya adalah bagi generasi muda khususnya yang mempunyai disiplin ilmu, belum terlambat untuk mendokumentasikan keberadaan folklor. Kita bisa mendokumentasikan keberadaan folklor yang ada di daerah kita. Melalui cerita dari sesepuh desa maupun orang tertua di daerah tersebut atau bahkan bukti-bukti peninggalan seperti; yoni, lingga, keris, makam kuno, candi, masjid kuno atau pohon besar yang biasa dianggap angker.

Maka dari itulah generasi muda Indonesia untuk dapat mendokumentasikan maupun menuangkan dalam wujud tulisan. Penulis dalam hal ini sudah mengumpulkan hampir seratusan folklor yang ada di sekitar daerah Tulungagung. Sejarah merupakan khasanah intelektual yang nantinya menjadi tolok ukur dalam menjalankan kehidupan dimasa depan, untuk mewujudkan kearifan lokal pada masa moderniasai seperti sekarang ini.

Identitas Kedaerahan
Di daerah tentu memiliki folklor yang tidak sama dengan daerah lainnya. Tradisi-tradisi yang masih ada, tentu akan menambah khasanah folklor. Seperti Reog Gendang dari Tulungagung, Reog Ponorogo dari Ponorogo, Tradisi Petik Laut dari Banyuwangi, Budaya Carok dan Karapan Sapi dari khas Madura serta masih banyak lainnya tradisi folklor yang ada di Nusantara ini.

Menurut Kamus Istilah Sastra, Folklor adalah adat istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan turun temurun tetapi tidak dibukukan; suatu budaya kolektif yang memiliki sejumlah ciri khas yang tidak dimiliki oleh budaya lain (Laelasari & Nurlailah, 2006:100). Sedangkan menurut Kamus Besar Indonesia (2008:418), Folklor adalah adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang tidak dibukukan. Ilmu yang menyelidiki adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang tidak dibukukan. Bisa dikata folklor adalah cerita rakyat yang masih dipercayai oleh masyarakat.

Sehingga apa saja yang ada di daerah terutama yang terkait mengenai cerita rakyat, cerita keberadaan sebuah desa, dapat menjadi sesuatu yang berarti (Folklor). Berbagai macam tradisi, cerita rakyat dan budaya masyarakat, merupakan khasanah folklor yang harus terdokumentasikan. Generasi muda sekarang ini, jarang yang mengetahui sejarah daerahnya, bahkan cerita rakyat yang ada di tempat tinggalnya.

Memang sungguh disayangkan kalau pewaris budaya (generasi muda) tidak mengetahui asal usul daerahnya. Keberadaan pendokumentasian folklor merupakan sesuatu hal yang baik, hal itu demi menjaga kemurnian budaya daerah. Pemunculan folklor sendiri juga bisa dijadikan simbolisasi suatu identitas kedaerahan. Kita menyadari kalau disetiap daerah memiliki ciri khas dan cerita rakyat yang berbeda. Kalau Tulungagung mempunyai tradisi siraman Pusaka Tombak Kiai Upas sedangkan Blitar memiliki siraman Gong Mbah Pradah.

Pusaka Tombak Kiai Upas
Sering kita mendengar berbagai nama benda pusaka yang ada di daerah-daerah. Biasanya pusaka-pusaka tersebut menjadi simbolisasi keberadaan suatu daerah. Seperti halnya Pusaka Tombak Kiai Upas dari daerah Tulungagung. Pusaka yang berwujudkan tombak tersebut mengiringi sejarah keberadaan daerah Tulungagung. Ditinjau dari legenda maupun oral history (baca; cerita rakyat). Tombak Kiai Upas setiap satu tahun sekali, tepatnya bulan suro selalu diadakan upacara siraman di Kanjengan-Kepatihan-Tulungagung.

Asal mula sejarah Tombak Kiai Upas tersebut dari cerita seorang Raja Mataram yang bernama Ki Ageng Mangir. Suatu hari Ki Ageng Mangir mempunyai putra dan dengan kekuasaan Allah, putra itu terlahir berwujudkan seekor Naga. Melihat putranya seperti itu Ki Ageng Mangir merasa malu, untuk menutupi rasa malu itu Ki Ageng Mangir membuang anaknya yang berwujud Naga tersebut ke arah selatan. Kemudian diterima oleh Ratu Kidul. Namun sebelum anaknya yang berwujud ular naga itu dibuang, Ibunya (Istri Ki Ageng Mangir) memberikan tanda berupa kalung bel dileher ular Naga tersebut.

Setelah dibuang ke arah selatan, oleh Ratu Kidul dipelihara dan dilatih sampai dewasa dan diberi nama Jaka Baru Klinting, yang mempunyai arti Jaka = anak laki-laki sedangkan Baru = dari kata Baruna, Naga Laut, dan Klinting = indentitas dirinya yang diberikan oleh ibunya. Meskipun Jaka Baru Klinting berbentuk Ular Naga, tetapi nyawa atau sukmanya seperti manusia hanya saja badannya seperti ular.

Lalu oleh Ratu Kidul, Jaka Baru Klinting di suruh untuk bertapa di ”Phajang” atau di ”Gunung Wilis”. Di saat bertapa Jaka Baru Klinting bertemu dengan Brahmana.

Brahmana ini tidak lain adalah Ki Ageng Mangir, ayah Jaka Baru Klinting. Ki Ageng Mangir sendiri tahu kalau ular Naga tersebut adalah anaknya, karena Beliau melihat dileher ular Naga itu ada kalung pemberian oleh ibunya.

Dan Ki Ageng Mangir tetap merasa malu mempunyai anak yang berwujud ular Naga itu. Lalu Beliau bicara kepada ular Naga tersebut, Kalau kamu bisa melingkari Gunung Wilis sampai ekor bertemu dengan kepada atau berbentuk seperti gelang, maka saya akan akui kamu sebagai anakku!!. Langsung Jaka Baru Klinting melaksanakan perintah itu, akan tetapi pada waktu sampai/hampir maksimal ekornya tidak bisa bertemu dengan kepala (moncong kepala Naga), karena Jaka Baru Klinting mempunyai akal seperti manusia maka ia segera menjulurkan lidah, karena lidah termasuk bagian dari tubuh.

Tetapi ketika Ular Naga tersebut menjulurkan lidahnya, Ki Ageng Mangir segera memotong lidah tersebut. Karena tahu kalau ular Naga itu sudah hampir berhasil. Setelah lidah putus terjadilah kejadian ghoib. Lidah, badan naga, mulai kepala sampai ekor menjadi landean/batang tombak.

Selain itu kejadian tersebut, Ki Ageng Mangir menyesal lalu Beliau melemparkan tombak tersebut ke arah selatan, dan diterima oleh Ratu Kidul, setelah itu oleh Ratu Kidul diberi nama ”Tombak Kiai Upas”, kenapa diberi nama seperti itu, karena berasal dari lidah ular. Lalu oleh Ratu Kidul disuruh betapa di Telatah Ngrowo. Dan Tombak Kiai Upas bertapa didampingi oleh anak buah Ratu Kidul di Daerah Ngrowo. Dan bekas tancapan tombak dititik tengah alun-alun Kota Tulungagung.

Yang menemukan Tombak Kiai Upas di telatah Ngrowo adalah K.P.H. Kusumayudha, Beliau adalah putra ketiga Ki Ageng Mangir, yang sebenarnya adalah adik dari Jaka Baru Klinting. Konon certia penemuan Tombak Kiai Upas itu, ketika K.P.H. Kusumayudha berjalan atau mengembara sampai ke daerah Kalangbret. Beliau melihat ke arah timur dan ada seberkas cahaya pelangi dan dia terus mencari cahaya itu dan akhirnya menemukan ujung ”Tombak Kiai Upas”. Hubungan K.P.H. Kusumayudha dengan pewaris amanah terakhir adalah karena ingin tombak tersebut dirawat oleh keturunan-keturunannya. Tombak Kiai Upas ini hingga saat ini berada di Kepatihan tepatnya di Pendopo Kanjengan-Kepatihan-Tulungagung, dekat dengan Perpustakaan Daerah Kabupaten Tulungagung.

Hal itulah salah satu folklor atau cerita rakyat yang masih dipercayai oleh sebagian masyarakat Tulungagung. Cerita di atas merupakan hasil wawancara penulis dengan R.M. Indronoto pada tahun 2007. R.M. Indronoto adalah yang merawat dan menunggu keberadaan Pusaka Tombak Kiai Upas di Kanjengan, Kepatihan, Tulungagung.

Pentingnya Menulis
Betapa pentingnya folklor untuk pengetahuan generasi muda sekarang, agar mereka memahami identitas dearahnya. Pelajar khususnya, bisa dijadikan subjek untuk menulis folklor, terutama dalam bidang matapelajaran IPS (Sejarah). Sehingga anak didik yang ada di sekolah diberi tugas untuk menulis folklor yang terdapat di daerahnya. Maka dari situlah anak didik dilatih untuk mampu mendokumentasikan (menulis) keberadaan cerita rakyat yang ada di daerahnya masing-masing.

Tentunya dibalik penulisan folklor, terdapat segi estetika yang mempengaruhi, kenapa harus folklor. Dengan bahasa yang dipakai pelajar, tentunya akan nampak khas dan masih murni tanpa dipengaruhi sudut pandanga politik atau kepentingan lainnya. Pentingnya menulis suatu peristiwa adalah dapat dijadikan medium yang akan datang. Selain itu, peserta didik juga dilatih agar tidak berbudaya meng-copy-paste. Melatih menulis sejak dini akan mengasah antara realita yang dihadapi, otak akan menangkap dan diaplikasikan oleh tangan yang menulis.

Makin sering berlatih, makin terampil kita menulis dan makin enak tulisan kita untuk dibaca. Sebagai catatan, renungilah bagaimana kita dahulu mempelajari kiat naik sepeda. Makin sering berlatih naik sepeda, makin paham kiat memulainya, akhirnya kitapun piawai dalam mengemudikannya (Wahyu Wibowo, 2008:131). Khususnya didalam penulisan folklor, anak didik juga harus mampu mencari sumber data yang akurat dan autentik, dari situlah dimulainya sifat mendidik kejujuran pada diri anak.

Dengan melakukan penelitian tentang cerita lokal (folklor), kita tidak hanya akan bisa memperkaya perbendaharaan Sejarah Nasional, tapi lebih penting lagi memperdalam pengetahuan kita tentang dinamika sosiokultural dari masyarakat Indonesia yang majemuk ini secara lebih intim. Dengan begini kita makin menyadari pula bahwa ada berbagai corak penghadapan manusia dengan lingkungannya dan dengan sejarahnya (Buku Petunjuk Seminar Sejarah Lokal, 1982:1-2).

Berangkat dari situlah pentingnya menulis untuk mendokumentasikan sebuah peristiwa (sejarah), hingga akhirnya akan menjadi dokumentasi rapi untuk masa yang akan datang. Tentunya sebelum kita menuliskan kesejarahan modern, sekiranya kita mampu untuk menulis sejarah masa lampau (folklor). Sungguh indahnya kalau kita sebagai generasi muda mampu mendokumentasikan perjalanan kehidupan ini.<<>>