Sabtu, 05 Februari 2011

SELAYANG PANDANG SEJARAH MASJID AGUNG AL – MUNAWWAR KABUPATEN TULUNGAGUNG1

Oleh 
Agus Ali Imron Al Akhyar




Eranya Mengurus Masjid Secara Professional. Tidak Semata Wadah Penadah Sedekah. Fungsinya Beragam, Mulai Dari Pusat Ibadah Sampai Pengelolaan Maslahat Umat. Masjid merupakan sebuah wujud bangunan yang menjadi instrument umat Islam dalam beribadah. Selain itu juga masjid juga menjadi pusat kegiatan dalam penyebaran Agama Islam (Islamic Center). Berbagai aktifitas bernuansa Islami telah memberikan warna hidup sebuah masjid. Bangunan masjid sendiri dipengaruhi oleh unsur kebudayaan daerah setempat. Maka dari itulah style yang berada pada bangunan masjid kuno sangat sarat dengan roh masjidnya. Perpaduan corak yang ada saat ini (baca: zaman modern) merupakan perpaduan “budaya meniru” dari unsur style masjid Timur Tengahan. Munurut Purwadi (2007:304-305), bahwasanya seni bangunan Persi, Byzantium, India dan sebagainya setahap demi setahap mempengaruhi bangunan-bangunan tempat suci di Indonesia. Model masjid Persia, kubahnya seperti bentuk bawang dan mengingatkan pula seperti topi prajurit Persi pada zaman dahulu. Sedangkan menara adzan sepasang dengan bentuk cylender.


Sehingga tidak menutup kemungkinan, bangunan masjid yang ada saat ini mayoritas mengalami transisi perubahan dari tradisional ke modern (baca: Masjid Timur Tengahan). Hal itu nampak pada keberadaan bangunan Masjid Agung Al-Munawwar, bangunan aslinya merupakan wujud bangunan yang kuno, kita dapat melihatnya pada foto Arsip Daerah Tulungagung. Menurut hasil penelitian,bahwasanya perubahan gaya bangunan Masjid Agung Al-Munawwar terjadi sebanyak 3 (tiga) kali. Bisa disebut dengan istilah masjid tiga zaman.

Selain itu keberadaan Masjid Agung Al-Munawwar selain menjadi tempat beribadahan, juga menjadi tempat untuk akselerasi budaya dan juga kegiatan yang bernuansa Islami. Di masjidlah kita akan berinteraksi langsung dengan masyarakat, sehingga masjid menjadi pusat aktifitas masyarakat. Hubungan dengan Allah dan juga hubungan dengan manusia.

Memang keberadaan bangunan masjid di suatu daerah sebagai instrumen untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT (baca: beribadah). Selain itu keberadaan sebuah masjid juga sebagai tempat penyebaran Agama Islam, dan juga dengan adanya bangunan berupa masjid atau tempat peribadahan merupakan gambaran bahwasanya Agama Islam sudah ada di daerah tersebut. Dilihat dari arsitektur masjid sendiri bisa menandakan bahwasanya masjid tersebut dibangun pada masanya.

Bangunan Masjid

Arti kata sebenarnya dari adalah tempat sujud, yaitu tempat orang bersembahyang menurut peraturan Islam. Sesuai dengan pendirian, bahwa Allah itu ada dimana saja, tidak terikat pada suatu tempat, maka untuk menyembahNya manusia dapat melakukan shalat dimana-mana. Memang menurut hadits, masjid itu adalah setiap jengkal tanah di atas permukaan bumi ini. (Soekmono, 1973:75).

Wujud dari bangunan masjid sendiri, merupakan bertanda kalau di daerah tersebut terdapat komunitas umat Islam. Selain sebagai beribadah, masjid dipakai untuk berinteraksi, diskusi, mengaji dan akselerasi budaya. Sehingga wujud roh dari masjid itu sendiri adalah dari keberibadatan (umat Islam) terhadap Allah SWT.

Ditinjau dalam bentuk bangunan, sebuah masjid banyak mendapat pengaruh budaya lokal. Perubahan sebuah bangunan masjid menandakan mendapat pengaruh kuat dari budaya lain. Hal itulah yang sedang terjadi pada masjid-masjid di daerah Tulungagung pada umumnya. Menurut Zein Wiryoprawiro (1986:155-156), masjid sebagai bangunan arsitektur memiliki fungsi yang dapat dipergunakan bagi kegiatan-kegiatan umat Islam. Fungsi umum dari sebuah masjid adalah sebagai tempat untuk melakukan hubungan antara manusia dengan Allah SWT., dalam bentuk ibadah sholat. Namun proses perkembangan, masjid juga sebagai tempat melakukan hubungan antar manusia, seperti; tempat berzakat (LAZ),tempat acara pernikahan, tempat mencari ilmu dan mengaji serta acara-acara kebudayaan Islam lainnya.

Bila kita sekarang perhatikan masjid kuno atau masjid peninggalan zaman madya Indonesia3 terutama di daerah Tulungagung yang dulunya bernama Ngrowo, bentuk masjidnya telah mengalami proses akulturasi dari budaya Hindu. Berdasarkan hasil penelitian penulis dengan Bapak Trijono bahwasanya masjid kuno yang berada di daerah Tulungagung memiliki ciri-ciri, diantaranya;

 Berdenah persegi atau bujur sangkar
 Mempunyai serambi depan dan samping
 Memakai pagar keliling dengan satu pintu utama atau gapura bentar
 Beratap tumpang dan arah kiblat ke barat
 Penopangnya berupa tiang kayu (soko)
 Menara masjid berdiri terlepas dari bangunan induk masjid
 Mempunyai kocehan atau kolam air

Dengan adanya penafsiran mengenai keberadaan wujud bangunan masjid di daerah Tulungagung semacam itu, dapat diperkirakan bangunan masjid tersebut mendapat pengaruh dari masa Majapahit. Selain ciri di atas adapula salah satu ciri yang tidak boleh ditinggal, yaitu; Atap Tumpang masjid. Sebab keberadaan masjid yang beratapkan tumpang merupakan akulturasi antara budaya Hindu dan Islam. Salah satu contoh masjid yang masih bergayakan klasik dengan beratapkan tumpang, diantaranya; Masjid Winong, Masjid Tawangsari, Masjid Majan, Masjid Al-Muhajjirin dan Masjid Agung Al-Munawwar (namun Atap Tumpangnya baru). Masjid Atap Tumpang merupakan akulturaasi dari budaya Hindu, yaitu bangunan Meru.

Menurut Sumarno dkk (1996:129) hal tersebut juga dipertegas oleh Pijper yang mengatakan bahwa bentuk bangunan masjid-masjid kuno Indonesia merupakan bentuk tradisi asli dan mungkin bisa dihubungkan dengan konsep Meru4. Soekmono (1973) berpendapat bahwa ada tiga hal penting berkenaan dengan bangunan masjid-masjid peninggalan zaman madya, seperti;

1. Atap berupa atap tumpang, bersusun bentuk limas dengan jumlah tumpang selalu ganjil.
2. Letak masjid senantiasa berdekatan dengan istana dan Alun-alun.
3. Tidak ada dan adanya sebuah menara masjid.

Adapun konsep akulturasi budaya antara Meru dengan Masjid adalah terdapat pada Atap Tumpangnya. Kita sering melihat wujud bangunan masjid yang beratapkan tumpang seperti contoh diatas. Tentunya atap yang beratapkan tumpang mempunyai makna tersendiri, yaitu;

 Masjid beratapkan tumpang satu, mempunyai makna Laillahaillah.
 Masjid beratapkan tumpang dua, mempunyai makna dua kalimat syahadat.
 Masjid beratapkan tumpang tiga, mempunyai makna Iman, Islam dan Ihsan.
 Masjid beratapkan tumpang empat, bermakna Syari’at, Thoriqat, Hakikat dan Ma’rifat.
 Masjid beratapkan tumpang lima, mempunyai makna Rukun Islam.

Adapun yang sering kita lihat di daerah Tulungagung khususnya, Atapnya tidak lebih dari tiga tmpang. Sedangkan menurut penelitian yang sudah kami lakukan, bahwasanya masjid yang masih bercorak klasik adalah Masjid Winong, Masjid Majan dengan gapura bentarnya.

Masjid Agung Al-Munawwar dalam Pena
Tentunya tidak menyadari kalau kita (baca: umat Islam) mempunyai Masjid Agung Al-Munawwar Tulungagung, yang sudah berganti style. Masjid yang berada di pusat Kota Tulungagung ini menyimpan kenangan yang indah dalam perjalanannya hingga sekarang ini. Kita bisa menyebutnya dengan sebutan masjid tiga zaman. Sebab Masjid Agung Al-Munawwar Tulungagung mengalami transisi perubahan bangunan selama tiga kali priode; Periode Ngrowo (masjid awal), Periode Transisi dan Periode Modern.

Menurut bapak Kiai Ali Mustakim sesepuh Kelurahan Kauman yang dipaparkan oleh bapak KH. Abu Sofyan Sirojuddin, selaku ketua ta’mir Masjid Agung Al-Munawwar Tulungagung periode 2007-2012, mengatakan bahwasanya keberadaan tanah yang di atasnya dibangun sebuah Masjid Agung Al-Munawwar Tulungagung dulunya merupakan tanah wakaf dari Mbah Ichsan Puro. Penulistidak dapat dengan pasti menelusuri siapa Mbah Ichsan Puro tersebut, karena sumber data pada saat itu belum ada yang mendokumentasikannya, selain itu keluarganyapun sulit untuk dilacak dan pelaku sejarah (oral history) pada saat itu mayoritas sudah meninggal dunia. Menurut bapak Muhadi Latief, Mbah Ichsan Puro merupakan suatu keluarga kenaipan5 yang dulunya bertempat tinggal disekitar daerah Masjid Jami’ Al-Munawwar. Menurut bapak KH. Abu Sofyan Sirojuddin, bahwasanya Masjid Agung Al-Munawwar Tulungagung dibangun pertama kalinya diperkirakan sekitar tahun 1262 H/1841 M, angka tersebut dapat dilihat pada hiasan ukir-ukiran imaman yang berada di Masjid Jami’ Al-Muhajjirin Gedangsewu Tulungagung tepatnya dibagian atas. Selain itu Imam masjid yang pertama kali, yang hidup pada masa tersebut belum dapat dideteksi siapa saja. Jadi siapa yang menggagas berdirinya Masjid Agung Al-Munawwar masih belum jelas. Bahkan ta’mir yang kali pertamapun juga masih sulit untuk ditelusuri keberadaannya. Maka dari itulah lembaran-lembaran tulisan ini mayoritas menuliskan dengan sumber data yang masih ada dan juga disinergikan dengan zaman penulisan. Namun sebuah inksripsi atau tulisan yang telah ditemukan sebagai bukti awal dibangunnya Masjid Agung Al-Munawwar Tulungagung sedikit memberikan gambaran dalam penulisan mengenai sejarah masjid ini. Bukti tersebut berada dihiasan imaman yang berada di Masjid Jami’ Al-Muhajjirin Gedangsewu. Inskripsi tersebut merupakan suatu inskripsi perpaduan antara tulisan Arab dan bahasa Jawa serta tanpa ada kharokatnya. Inskripsi tersebut terdiri dari tiga baris, adapun bunyi dalam bacaan bahasa Indonesia; Baris pertama : Laaillahaillah Muhammadurrosullah Baris kedua : Pẻngẻt tatkala nyẻlẻr Kiai Mangun (Fiqhan) Baris ketiga : Ing dino akhad kaping 11 syawal tahun 1262 H
Tulisan tersebut berada disisi atas tepatnya di tengah-tengah hiasan imaman dengan dikelilingi hiasan ukir-ukiran yang bermotif bunga. Tulisan tersebut bisajuga sebagai bukti dibangun pertama kalinya masjid yang berada di barat Alun-alun Tulungagung tersebut. Atau juga bisa dimungkinkannya tulisan tersebut sebagai bukti pembuatan hiasan imaman. Akan tetapi kalau sebagai bukti pembuatan hiasan imaman, mengapa pada tempat untuk khotbah tidak ada tanggalnya semacam itu. Sehingga kemungkinan besar inskripsi tersebut merupakan suatu tulisan yang mewakili bukti dalam pembangunan Masjid Agung Al-Munawwar Tulungagung.

Sehingga antara Masjid Agung Al-Munawwar dan Masjid Jami’ Al-Muhajjirin Gedangsewu merupakan sinergi kemasjidan yang tidak dapat dipisahkan. Untuk itulah perlunya sebuah pelestarian diantaranya, sebab pada zaman sekarang ini kita mempunyai dua masjid yang seiring perjalanannya menyimpan penuh makna.

Masjid Oh Masjid
Banyaknya bangunan masjid kali merupakan trend mode baru dalam zaman ini. Sehingga kita dapat mensipulkan kalau semakin banyak masjid yang dibangun, maka kesadaran ummat Islam juga semakin besar. Dunia sudah tua namun kita tidak menyadarinya.

Masjid bukan sekedar tempat sujud. Sebagaimana makna harfiahnya. Ismail Raji Al-Faruqi, pakar kebudayaan Islam asal Palestina, mencatat, sejak zaman Nabi Muhammad Saw., 14 abad silam, masjid punya ragam fungsi. Tidak hanya untuk ritual murni saja (ibadah mahdah); seperti sholat dan iktikaf. Bahkan kompleks masjid bisa menjadi pusat pemerintahan, markas militer, sentra pendidikan, bahkan ruang tawanan perang.

Dalam perkembangan kontemporer, muncul banyak persepsi yang justru mempersempit fungsi masjid. Bila sebidang tanah diwakafkan untuk masjid, maka yang terpikir, peruntukannya untuk ibadah murni. Pola pikir ibadah oriented ini juga berkembang di Indonesia, seperti tang terbaca dalam arsip Departemen Agama (DEPAG), bahwa wakaf terbesar digunakan buat tempat ibadah (68%). Sisanya untuk sarana pendidikan (8,5%), kuburan (8,4%) dan lain-lain (14,6%).

Karena minimnya peran horizontal wakaf masjid, maka efek sosial-ekonominya pun kurang optimal. Ada masjid mentereng yang tidak bisa berbuat banyak menyelesaikan kemiskinan jamaah sekitarnya. Sebagian masjid (maaf) malah menjadi pangkalan puluhan pengemis. Masjid lantas menjadi ikonketimpangan sosial agamis; bangunan masjid mewah yang berdampingan dengan pola tingkah sosial yang miskin.

Dengan sebuah wakaf tentunya masjid mampu diberdayakan untuk kepentingan kemaslahatan umat Islam khususnya. Kita sering melihat fenomena yang menyedihkan dalam hati, setiap hari Jum’at tiba maka berjejerlah puluhan pengemis yang meratap ke banguna masjid, dengan alasan hari belas kasih.

Keprofesionalan dalam mengelola masjid memang menjadi problematika tersendiri. Hal itulah yang perlu untuk dikejer ketinggalan dalam meraih kemaslahatan umat Islam. Untuk itu perlunya campur tangan dari tangan-tangan terampil pemuda dalam pengelolaan masjid.<<>>


DAFTAR PUSTAKA
Purwadi. 2007. Ensiklopedi Adat-Istiadat Budaya Jawa. Yogyakarta : Panji Pustaka.
Soekmono. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia III. Jakarta : Yayasan Kanisus.
Sumarno, Tini Suhartini, et. Al. 1996. Sejarah Budaya 4 untuk kelas 3 SMU Catur wulan I. Jakarta : Yudhistira
Majalah Gatra Edisi Masjid tahun 2008.