Oleh
Agus Ali Imron Al Akhyar
Jawa Timur
terutamanya, sungguh mengagumkan sekali kekayaan khasanah cerita-cerita sejarah
yang terdapat di daerah. Menurut cerita; batang ketela pohon pun ditancapkan
bisa menghasilkan buah. Daerah Jawa Timur, dengan keelokannya menyimpan misteri
yang masih belum terungkap seluruhnya. Salah satunya adalah keberadaan folklor
atau cerita lisan yang terdapat di daerah, yang belum sempat ditulis di
lembaran kertas (pendokumentasian). Manfaat yang diperoleh selain sebagai
dokumen juga dapat dijadikan bacaan pengetahuan pelajar.
Di setiap desa tentu
mempunyai ciri khas cerita sejarah tersendiri, sehingga antara satu desa dengan
desa lain berbeda. Hal ini yang menjadi tantangan bagi kita semua untuk dapat
menulis folklor daerah masing-masing.
Menurut Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo dalam pengantarnya di buku Silang Budaya
karangan Denys Lombord, bahwsanya telah diketahui umum, setiap generasi menulis
sejarahnya sendiri berdasarkan perspektif atau optiknya sendiri. Baik jiwa
zaman (zeitgeist) maupun ikatan kebudayaannya (kultur gebundenbeit)
menuntut agar dilakukan rekonstruksi sejarah komunitasnya yang sesuai dengan
generasinya (Denys Lombord, 1996:xi).
Tentunya untuk
mengumpulkan serpihan-serpihan cerita rakyat (folklor) tidak gampang, dengan jumlah 73.067 desa di Indonesia (Kompas,
11 Juni 2011). Pada saat ini generasi muda ditantang oleh pergolakan zaman,
sehingga masih mampukah untuk mempertahankan warisan cerita lisan tradisi nenek
moyangnya?.
Kalau kita memiliki
tekad kuat dan bekerja keras tentunya mampu untuk mendokumentasikan warisan
leluhur. Begitu juga dengan folklor,
setiap daerah memiliki cerita rakyat tersendiri. Kita bisa merangkaikan cerita
yang terdapat di desa-desa yang ada di Jawa Timur, cerita sejarahnya
didokumentasikan, berapa tebal dan jilidkah kalau dicetak menjadi buku bacaan
pelajar. Keberadaan folklor dijadikan
bahan bacaan pelajar sebagai pemahaman akan cinta kesejarahan lokal.
Meneliti folklor
sungguh indah, karena yang diteliti adalah hidup manusia yang indah pula.
Lika-liku hidup penuh dengan tantangan. Pahit getir hidup itu akan terungkap
lewat folklor, karena folklor adalah cerminan diri manusia. Oleh
karena itu, mengungkapkan folklor sama halnya menyelami misteri indah
manusia (Endraswara, 2009:11).
Kita bisa
mendokumentasikan keberadaan folklor
yang ada di daerah. Melalui cerita lisan dari sesepuh desa maupun orang tertua
di daerah tersebut atau bahkan bukti-bukti peninggalan seperti; yoni, lingga, keris,
makam kuno, candi, masjid kuno atau pohon besar yang biasa dianggap angker.
Maka dari itu, pelajar setidaknya mampu untuk dapat mendokumentasikan maupun
menuangkan dalam wujud tulisan. Sejarah merupakan khasanah intelektual yang
nantinya menjadi tolok ukur dalam menjalankan kehidupan dimasa depan, untuk
mewujudkan kearifan lokal pada masa modernisasi seperti sekarang.
Pada sekitar tahun
1960, pemerintah melalui Jawatan Kebudayaan melakukan pencatatan erita rakyat
yang kemudian diterbitkan berjilid-jilid oleh Balai Pustaka. Pada sekitar tahun
1980, berbagai lembaga dalam lingkungan Depdikbud mengadakan pencatatan
berbagai tradisi lisan secara lebih luas, tetapi hasilnya hanya disebarkan dalam
lingkungan terbatas. Dengan demikian tradisi lisan dari seluruh Kepuluan
Indonesia itu tidaklah sampai dibaca oleh anak-anak Indonesia yang sebenarnya
harus mengenalnya, baik dalam bahasa aslinya (bahasa daerah) maupun dalam
bahasa nasionalnya (bahasa Indnesia). Entah akan diperlukan berapa tahun lagi
untuk menyebarkan hasil pencatatan itu kepada anak-anak di seluruh Indonesia
(Ajip Rosidi, 1995:112).
Meneliti folklor akan sampai pada the enjoyment of life, artinya sebuah kenikmatan hidup itu salah satunya ada
dalam folklor. Oleh karena itu, dalam
pandangan folklor “life can be beautiful”, artinya hidup
itu sendiri indah. Hidup adalah seni, diantara seni adalah folklor. Jadi, mempelajari folklor
juga menikmati hidup dan keindahan (Barnouw, 1982:241).
Folklor: Identitas Kedaerahan
Di daerah tentu
memiliki folklor yang tidak sama
dengan daerah lainnya. Tradisi-tradisi cerita lisan yang masih ada, tentu akan
menambah khasanah folklor. Seperti
Reog Gendang dari Tulungagung, Reog Ponorogo dari Ponorogo, Tradisi Petik Laut
dari Banyuwangi, Karapan Sapi dari khas Madura, serta masih banyak lainnya
tradisi folklor yang ada di Nusantara
ini, salah satunya cerita desa-desa yang terdapat di Jawa Timur.
Pengertian folklor, adalah peng-Indonesiaan dari
Bahasa Inggris folklore. Kata
tersebut merupakan kata majemuk yang berasal dari kata dasar, yaitu folk dan lore. Menurut Alan Dundes, kata folk
berarti sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan
kebudayaan sama yang dapat dibedakan dari kelompok sosial yang lainnya. Ciri-ciri
pengenal itu adalah warna kulit, bentuk rambut, mata pencaharian, bahasa, taraf
pendidikan, dan agama, serta cerita rakyat yang telah memiliki tradisi secara
turun temurun. Sedikitnya dua generasi dan diakui sebagai milik bersama serta
yang paling penting adalah bahwa mereka itu memiliki kesadaran akan identitas sebagai
masyarakat.
Sedangkan kata lore merupakan tradisi dari folk, yaitu sebagian kebudayaan yang
diwariskan secara lisan atau melalui contoh yang disertai gerak isyarat atau
alat bantu pengingat. Sehingga folklore
adalah bagian dari kebudayaan yang disebarkan dan diwariskan secara
tradisional, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak dengan
gerak isyarat atau alat bantu pengingat.
Menurut Kamus, Istilah Sastra, Folklor adalah
adat istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan turun temurun
tetapi tidak dibukukan; suatu budaya kolektif yang memiliki sejumlah ciri khas
yang tidak dimiliki oleh budaya lain (Laelasari & Nurlailah, 2006:100). Sedangkan
menurut Kamus Besar Indonesia (2008:418), Folklor adalah adat-istiadat
tradisional dan cerita rakyat yang tidak dibukukan. Ilmu yang
menyelidiki adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang tidak dibukukan.
Bisa dikata folklor adalah cerita
rakyat yang masih dipercayai oleh masyarakat.
Sehingga apa saja yang ada di daerah terutama yang
terkait mengenai cerita rakyat, cerita keberadaan asal mula nama desa, dapat
menjadi sesuatu yang berarti (folklor).
Berbagai macam tradisi, cerita rakyat dan budaya masyarakat, merupakan khasanah
folklor yang harus terdokumentasikan.
Generasi muda sekarang ini, jarang yang mengetahui cerita asal usul nama desa,
bahkan cerita rakyat yang ada di tempat tinggalnya. Memang sungguh disayangkan
kalau pewaris budaya tidak mengetahui asal usul nama desa atau daerahnya.
Adapun beberapa ciri-ciri folklor diantaranya; (1). Penyebaran dan pewarisannya secara lisan;
(2). Bersifat tradisional; (3). Berkembang dalam versi cerita yang
berbeda-beda; (4). Bersifat anonim (tanpa pengarang); (5). Biasanya mempunyai
bentuk cerita yang berpola; (6). Mempunyai manfaat dalam kehidupan kolektif;
(7). Bersifat pralogis; (8). Menjadi milik bersama dari masyarakat tertentu;
(9). Pada umumnya bersifat lugu dan polos, sehingga sering kali kelihatannya
kasar atau terasa tidak sopan (cerita mentah).
Pada dasarnya folklor
yang terdapat di daerah-daerah tersebut masih berbentuk kasar, belum diolah
secara bahasa yang mudah dipahami. Sehingga bisa dibilang masih berbahan
mentah. Menurut Jan Harold Brunvand, dia seorang ahli folklor dari Amerika Serikat, berdasarkan tipenya ada beberapa
macam folklor adalah;
Pertama,
folklor lisan atau bisa disebut pula dengan fakta mental (mentific), yaitu; (a). Bahasa rakyat,
seperti halnya logat, bahasa tabu; (b). Uangkapan tradisional, seperti halnya
peribahasa dan sindiran; (c). Pertanyaan tradisional, dikenal sebagai
teka-teki; (d). Sajak atau puisi rakyat, seperti pantun dan syair; (e). Cerita
prosa rakyat, menurut William R. Bascom dibagi tiga golongan, yaitu:
mite/mitos, legenda, dan dongeng; (f). Nyanyian rakyat.
Kedua,
folklor sebagian lisan, disebut juga fakta sosial (Sosiofact), yaitu; (a). Kepercayaan dan takhayul; (b). Permainan
dan hiburan rakyat setempat; (c). Teater rakyat, seperti; lenong, ludruk, dan
ketoprak; (d). Tari rakyat, seperti tari tayuban dan jaran kepang; (e). Adat
kebiasaan, seperti sambatan dalam pembuatan rumah, gugur gunung dalam pembuatan
jalan desa, pesta selamatan, dan khitan; (f). Upacara tradisional, seperti
tingkeban, turun tanah, dan temu manten; (g). Pesta rakyat tradisional, seperti
selamatan bersih desa dan selesai panen.
Ketiga,
folklor bukan lisan, disebut juga artefak (artifact), yaitu; (a). Arsitektur bangunan rumah tradisional,
seperti joglo (Jawa), gadang (Minangkabau), betang (Kalimantan) dan lain sebagainya;
(b). Seni kerajinan tangan tradisional; (c). Pakaian tradisional; (d). Obat
tradisional; (e). Alat-alat musik tradisional; (f). Peralatan dan senjata
tradisional; (g). Makanan dan minuman khas/tradisional daerah.
Remaja tergolong umur transisi. Banyak inisiasi yang
terkait dengan folklor sebenarnya. Namun para ahli folklor jarang
yang mau berkonsentrasi pada masalah remaja. Akibatnya, folklor remaja
juga kurang berkembang. Kecuali itu, daya tolak remaja pada hal-hal yang
bersifat tradisi telah berkembang. Mereka umumnya ingin hal-hal yang aneh.
Begitu jika asumsi dasar folklor adalah bersifat tradisional. Padahal
semestinya tidak demikian. Folklor yang ke arah inovatif juga tidak
sedikit. Bahasa gaul saja, sebenarnya menarik ditinjau dari aspek folklor
(Endraswara, 2009:68).
Keberadaan pendokumentasian folklor merupakan sesuatu hal yang baik, hal itu demi menjaga
kemurnian budaya tradisi daerah. Pemunculan folklor
sendiri juga bisa dijadikan simbolisasi suatu identitas kedaerahan yang vital.
Kita menyadari kalau disetiap daerah memiliki ciri khas dan cerita rakyat yang
berbeda. Kalau Tulungagung mempunyai tradisi siraman Pusaka Tombak Kiai Upas,
sedangkan Blitar memiliki siraman Gong Mbah Pradah. Namun penekanan dalam
tulisan ini adalah pendokumentasian cerita asal mula nama sebuah desa.
Asal
Mula Nama Sebuah Desa
Setiap desa atau daerah
tentunya memiliki sejarah dan latar belakang tersendiri, yang merupakan
pencerminan dari sebuah karakteristik serta pencirian khas tertentu dari suatu
daerah. Sejarah desa atau daerah sering kali tertuang dalam wujud
dongeng-dongeng yang diwariskan secara turun temurun, dari mulut ke mulut,
sehingga sulit untuk dilukiskan secara fakta dan tidak jarang dongeng (legenda)
tersebut dihubungkan dengan mitos tempat-tempat tertentu yang dianggap keramat
atau mempunyai kekuatan mistik tertentu.
Folklor
dalam tulisan kali ini, ada beberapa desa yang penulis angkat untuk dijadikan
sample. Adapun beberapa desa di daerah Tulungagung; desa Kalangbret, desa
Tertek, desa Aryojeding, desa Bandung, dan desa Ngunut. Di bawah ini akan
tertuang dalam bentuk tulisan mengenai cerita-cerita terbentuknya nama desa
tersebut di atas, hasil penelitian penulis.
Ø Asal Mula Nama Desa Kalangbret
Di sebuah kerajaan dilahirkan
seorang pangeran yang diberi nama Pangeran Kalang. Namun sering dipanggil
adipati Kalang, setelah beberapa bulan lahir lagi anak kedua, seorang putri
cantik yang tepatnya diberi nama Putri Kembang Sore. Mereka berdua tambah
dewasa tanpa kasih sayang seorang ibu. Ibu mereka meninggal setelah melahirkan
Putri Kembang Sore, namun ayah mereka memberikan kasih sayang yang lebih kepada
mereka berdua. Sampai suatu ketika Adipati Kalang diam-diam menyukai adiknya
sendiri, peristiwa tersebut tanpa diketahui oleh ayahnya.
Putri Kembang Sore memang
dianugerahi kecantikan pada wajahnya, namun sebenarnya Putri Kembang Sore
adalah seorang gadis yang liar. Hal tersebut dikarenakan kurang mendapatkan
perhatian dan kasih sayang dari ayahnya, karena sibuk dengan masalah kerajaan.
Adipati Kalang akhirnya
memberanikan diri untuk berbicara kepada adiknya, bahwa dirinya mencintai
adiknya sendiri dan ingin segera mempersuntingnya, akan tetapi Kembang Sore
menolak, karena tidak mungkin dia harus menikah dengan kakaknya sendiri. Namun
tetap saja Adipati Kalang bersikeras membujuk adiknya agar mau menjadi
istrinya, tanpa peduli Putri Kembang Sore adalah adiknya sendiri.
Setiap hari, Putri
Kembang Sore berusaha menjauhi kakaknya sendiri, karena dia tidak ingin kalau
kakaknya terus menerus memaksa dirinya dijadikan istri. Namun Adipati Kalang
tetap memaksa Kembang Sore.
Adipati Kalang adalah
orang yang sakti, sehingga dimana pun Putri Kembang Sore bersembunyi, Adipati
Kalang tetap bisa menemukannya. Putri Kembang Sore sangat bingung dan ingin
sekali kabur dari kerajaan, karena kelakukan dari kakaknya.
Pada suatu saat seorang pangeran dari Kerajaan
Majapahit yang mempunyai nama Pangeran Lembu Peteng melihat kecantikan Putri
Kembang Sore. Namun Pangeran Lembu Peteng tidak bisa mengungkapkan perasaannya,
bahkan untuk mendekati Putri Kembang Sore saja tidak bisa, dikarenakan Adipati
Kalang selalu mendampinginya.
Namun Pangeran Lembu
Peteng tidak putus asa untuk bisa mendekati Putri Kembang Sore, walaupun setiap
saat Adipati Kalang mendekatinya. Adipati Kalang ternyata mengetahui,
bahwasanya Pangeran Lembu Peteng juga menaruh perasaan cinta kepada Putri
Kembang Sore. Namun Pangeran Lembu Peteng tidak putus asa untuk terus mendekati
Putri Kembang Sore.
Suatu hari Adipati
Kalang mengundang Pangeran Lembu Peteng di sebuah tempat, di tempat itulah
Adipati Kalang berniat untuk membunuh Pangeran Lembu Peteng dengan senjata kerisnya.
Pertarungan pun akhirnya terjadi dengan sengit, pertarungan cukup lama, yang
ternyata dimenangkan oleh Adipati Kalang dengan merobek-robek tubuhnya.
Karena kejadian itulah
tempat atau daerah tersebut diberi nama “Kalangbret”. Saat kejadian tersebut,
Putri Kembang Sore melarikan diri ke sebuah gunung, dan disitulah Putri Kembang
Sore menjadi seorang ratu. Namun tetap saja Adipati Kalang bisa menemukannya,
karena kesaktiannya yang dimiliki. Tetapi Putri Kembang Sore tetap menolak
bujukan Adipati Kalang. Sehingga kesabaran Adipati Kalang pun habis, akhirnya
dibunuhlah Putri Kembang Sore, dan menguburkannya di gunung tersebut. Gunung
tersebut saat ini bernama “Gunung Cilik” yang berada di daerah Kalangbret,
namun kawasan gunung tersebut sering dikenal dengan sebutan Gunung Mbolo.
Sumber Informan:
Nama : Ibu Wiwit
Umur : 60 Tahun
Pekerjaan : Bertani
Ø Asal Mula Nama Desa Tertek
Menurut cerita dari
sebagian para orang yang sudah tua dan tokoh-tokoh di desa Tertek, menyebutkan
bahwa asal mula nama desa Tertek berawal dari sebuah jembatan. Pada zaman
dahulu banyak para tokoh penting bertempat tinggal di sebuah tempat, kemudian
tokoh tersebut membangun sebuah jembatan yang bertujuan untuk menghubungkan daerah
satu dengan daerah lainnya untuk memperlancar perjalanannya.
Pada suatu hari
dibangunkanlah jembatan oleh tokoh-tokoh tersebut, jembatan itu sangat
berfungsi untuk menyeberang ke tempat lain. Maka lokasi penghubung tersebut
biasa disebut dengan “Tertek” oleh sebagian orang Jawa. Dari situlah para
tokoh-tokoh dahulu yang bertempat tinggal di daerah tersebut, menyebut
daerahnya dengan sebutan “Tertek”. Hingga akhirnya semakin banyak orang yang
bermukim di daerah tersebut. Berlahan tapi pasti, hingga akhirnya daerah
tersebut semakin banyak yang bermukim di sekitar tertek. Sehingga masyarakat
sekitar daerah tersebut menamakan kawasan tersebut dengan Tertek.
Tertek atau jembaran,
merupakan suatu alat penghubung antara satu daerah dengan daerah lainnya, agar
hubungan transportasi bisa berjalan lancar. Sampai sekarang, daerah Tertek
masih ada dan menjadi tempat pemukiman padat penduduk.
Sumber Informan:
Nama :
Bapak Hamzah Asanuddin
Umur :
51 Tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Ø
Asal
Mula Nama Desa Aryojeding
Seorang bangsawan menangah ke atas yang bernama Aryo
Blitar, dia mempunyai putra yang bernama Joko Kandung. Dia adalah seorang
pengembara yang selalu ditemani oleh burung setianya. Seuatu ketika Joko
Kandung singgah di sebuah daerah yang tanpa nama. Bertahun-tahun Joko Kandung
menetap di daerah tersebut.
Lama sudah Joko Kandung menetap di daerah tersebut,
akhirnya dia melanjutkan perjalanan pengembaraannya. Oleh warga setempat,
daerah tersebut dinamakan Aryojeding. Joko Kandung singgah di sebuah
pegunungan, setiap pagi ia mandi di telaga kecil di bawah sebuah pohon besar.
Di samping pohon besar itu terdapat sebuah pohon bambu besar, tempat dia
menaruh burung ajaibnya yang dapat berbicara dengan manusia. Akhirnya Joko Kandung
meninggal dan di makamkan di desa Aryojeding tersebut.
Sumber
Informan:
Nama :
Bapak Mulyono
Umur :
48 Tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Ø
Asal
Mula Nama Daerah Bandung
Dahulu desa Bandung merupakan sebuah wilayah yang
berkecukupan dan memiliki kekayaan alam melimpah ruah. Di tempat tersebut
terdapat sebuah sumber air yang lumayan besar dan setiap petani sering
memakainya sebagai pengairan sawah (baca: irigasi). Akan tetapi hal tersebut
berubah ketika Adipati di daerah tersebut diganti dengan seorang Adipati yang
tamak, rakus, dan kikir, sebut saja dengan Adipati Hadijaya. Seluruh sumber air
yang ada di daerah tersebut dikuasai olehnya, sehingga penduduk mengalami
kesulitan untuk mengairi sawahnya, sehingga petani mengalami kerugian besar.
Nasib para penduduk di daerah tersebut sungguh
menyedihkan, kelaparan terjadi di mana-mana. Hingga akhirnya berita tersebut
didengar oleh putri Adipati Hadijaya yang bernama Putri Roro Jonggrang, dia
adalah putri Adipati Hadijaya. Roro Jonggrang tersebut memiliki sifat seperti
ibunya, yang lemah lembut namun tegas dalam bertindak. Dia meminta pada
ayahandanya untuk memberikan pengairan terhadap sawah-sawah penduduk, tapi sang
ayah menolak.
Sang putri besikeras untuk mempertahankan pendirinya
untuk menolong penduduk, agar pengairan dapat diberikan kepada warga, biar para
petani dapat bertani dengan baik. Selama tujuh hari sang putri bersimpuh pada
ayahandanya, akhirnya pada malam ke tujuh hari, hati sang ayah luluh. Adipati
Hadijaya mengabulkan permintaan putrinya tersebut, asalkan sang putri mau
menikah dengan seorang raja dari kerajaan tetangga.
Mau tidak mau dan juga berat hati, akhirnya Roro
Jonggrang harus menuruti permintaan ayahandanya. Ketika Bandung Bondowoso tiba,
raja yang hendak meminang putri Roro Jonggrang. Mereka berdua pergi ke sebuah
tempat, yaitu sebuah sumber air. Ketika sudah sampai di sumber air tersebut,
Roro Jonggrang langsung melemparkan kalung yang sangat disayanginya.
Kalung tersebut adalah pemberian dari ibunya,
sehingga Roro Jonggrang langsung meminta pada Bandung agar mau mengambilkan
kalung tersebut. Jika mampu mengambilnya, maka Bandung akan menjadi suaminya.
Ketika Bandung masuk ke sumber air, dengan cekatan sang putri segera menendang
batu untuk menutupi sumber air tersebut, sehingga Bandung tertutup di dalam
sumber air tersebut.
Tiba-tiba batu tersebut terlempar, Bandung akhirnya
mampu keluar dan meminta penejelasan dari sang putri apa maksud dari ini semua.
Dengan menangis sang putri menjelaskan, bahwa dirinya diminta ayahnya agar
membunuh Bandung. Supaya Adipati Hadijaya dapat menguasai wilayah kerajaan
Bandung.
Saat itu Bandung merasa sangat marah sekali,
bercampur dengan kesal hawa nafsunya, pada saat itu amarahnya tidak bisa
dibendung lagi. Bandung lekas menghampiri Adipati Hadijaya dan menusuknya
dengan senjata handalannya, akhirnya tidak lama kemudian Adipati Hadijaya mati
ditangan Bandung. Secara tidak langsung akhirnya Bandung menggantikan kekuasaan
Adipati Hadijaya. Bandung akhirnya menikah dengan Roro Jonggrang. Mereka berdua
menikah dan juga hidup bahagia serta masyarakat menyukai mereka berdua sebagai
pemimpin daerah tersebut.
Sumber
Informan
Nama :
Ibu Syamsiah
Umur :
68 Tahun
Pekerjaan : -
Ø
Asal
Usul Nama Ngunut
Konon dahulu asal mula desa Ngunut, para sesepuh
desa Ngunut menyebutnya dengan sebutan nunut (bahasa Jawa: numpang).
Sebab dahulu banyak orang yang bepergian jauh dari daerah manapun selalu
singgah (bahasa Jawa: mampir) di warung, posko polisi, yang bermaksud untuk
sekedar nunut atau numpang, istirahat, karena seringnya orang-orang
yang mampir, akhirnya daerah tersebut diberi nama “Ngunut”, sampai sekarang
cerita asal muasal desa tersebut sangat singkat sekali, yaitu adanya nama desa
Ngunut dikarenakan banyak orang yang sering nunut atau numpang.
Sumber
Informan:
Nama :
Joko Prasetyo
Umur :
49 Tahun
Pekerjaan : Guru
Tulisan di atas, sekilas mengenai jejak-jejak asal
mula sebuah nama desa atau daerah yang berada di daerah Tulungagung. Tentunya
masih banyak lagi desa-desa yang belum sempat dituangkan dalam bentuk tulisan. Menurut
Ajip Rosidi (1995:112) menyebutkan, di Indonesia pencatatan dongeng-dongeng
atau bentuk tradisi lisan lainnya mulai dilakukan dalam abad ke-19 oleh para
pejabat Belanda yang mempunyai perhatian tehadapnya; sebagian telah diterbitkan
dalam berbagai majalah atau buku, tetapi sebagian besar masih tersimpan berupa
naskah. Tak perlu diterangkan bahwa kebanyakan majalah atau buku yang memuatnya
itu merupakan bacaan untuk bangsa Belanda, karena ditulis dalam bahasa Belanda.
Dengan demikian hasil pencatatan itu tidaklah sampai disebarkan kepada
anak-anak suku bangsa yang memilikinya. Hanya sebagian kecil saja dari
dongeng-dongeng itu yang pernah diterbitkan dalam bahasa aslinya dan dimuat
dalam buku-buku pelajaran atau buku bacaan yang pada masa sebelum perang banyak
diterbitkan oleh Balai Pustaka dan lain-lain.
Maka dari itulah, pada zaman sekarang kita sebagai
generasi pelajar mampu untuk menuliskan cerita-cerita desa dengan bahasa
Indonesia. Sehingga mudah untuk dimengerti oleh anak Indonesia, khususnya sebagai
bahan bacaan di sekolah-sekolah. Dengan disertai animasi yang menarik, tentu
tidak akan membuat bosan dibaca. Sehingga secara tidak langsung, warisan cerita
lisan leluhur tidak musnah diterjang era globalisasi.
Menulis
Folklor; Sebuah Konsep Pembelajaran
Betapa pentingnya folklor untuk pengetahuan generasi pelajar sekarang, agar mereka
memahami identitas desanya. Pelajar khususnya, bisa dijadikan subjek untuk
menulis folklor, terutama dalam
bidang mata pelajaran IPS (Sejarah). Sehingga anak didik yang ada di sekolah
diberi tugas untuk menulis folklor
yang terdapat di desanya. Anak didik dilatih untuk mampu berkomunikasi dan mendokumentasikan
(menulis) keberadaan cerita rakyat yang ada di daerahnya masing-masing.
Tentu dibalik penulisan folklor, terdapat segi estetika yang mempengaruhi. Salah satunya
mengenai bahasa yang dipakai pelajar, akan nampak khas dan masih murni tanpa
dipengaruhi sudut pandang politik, ekonomi, atau kepentingan lainnya. Menulis suatu
peristiwa dapat dijadikan media pembelajaran di masa yang akan datang. Selain
itu, peserta didik juga dilatih agar tidak berbudaya meng-copy-paste. Melatih menulis sejak dini akan mengasah antara realita
yang dihadapi, otak akan menangkap, dan diaplikasikan oleh tangan yang menulis.
Makin sering berlatih, makin terampil kita menulis,
dan makin baik tulisan kita untuk dibaca. Sebagai catatan, renungilah bagaimana
kita dahulu mempelajari kiat naik sepeda. Makin sering berlatih naik sepeda,
makin paham kiat memulainya, akhirnya kitapun piawai dalam mengemudikannya
(Wahyu Wibowo, 2008:131). Khususnya didalam penulisan folklor, anak didik juga harus mampu mencari sumber data yang
akurat dan autentik, dari
situlah dimulainya sifat mendidik kejujuran pada diri anak.
Melakukan
penelitian tentang cerita lisan lokal (folklor), kita tidak hanya akan bisa memperkaya perbendaharaan
Sejarah Nasional, tapi lebih penting lagi memperdalam pengetahuan kita tentang
dinamika sosiokultural dari masyarakat Indonesia, yang majemuk ini secara lebih
intim. Dengan begini kita makin menyadari pula bahwa ada berbagai corak
penghadapan manusia dengan lingkungannya dan dengan sejarahnya (Buku Petunjuk
Seminar Sejarah Lokal, 1982:1-2).
Berangkat dari situlah pentingnya menuangkan dalam
bentuk tulisan untuk mendokumentasikan sebuah peristiwa sejarah, hingga
akhirnya akan menjadi dokumentasi naskah rapi untuk bahan referensi masa yang
akan datang. Tentunya sebelum kita menuliskan kesejarahan modern, kita mampu
untuk menulis sejarah masa lampau khususnya folklor.
Sungguh indahnya kalau kita sebagai generasi muda mampu mendokumentasikan
perjalanan proses kehidupan yang ada di desa-desa.
Agar berfungsi secara optimal didalam proses
pembelajaran, perlunya keberadaan sumber folklor perlu dikembangkan dan
dikelola dengan sebaik mungkin. Tentunya untuk pengolahan folklor
tersebut perlunya berbagai aktivitas; penelitian, penulisan, pengadaan,
produksi, penyimpanan, distribusi, dan pemanfaatan. Sehingga folklor
benar-benar dapat digunakan secara optimal dikalangan dunia pendidikan.
Adanya konsep pembelajaran, memungkinkan untuk
memberikan wawasan luas bagi generasi pelajar. Didalam pendidikan merupakan
proses pembelajaran yang identik dengan menanamkan nilai-nilai positif. Mematikan
kenegatifan pola pikir anak didik, dengan memberikan proses pembelajaran yang
menyertai konsep positif, merupakan sebuah sikap baik demi terwujudnya generasi
muda yang berkarakter dan berbudaya positif.
Menurut Waoodruff dalam Amin (1987), bahwasanya
menjelaskan pengertian konsep menjadi tiga bagian, yaitu:
1.
Konsep dapat didefinisikan
sebagai gagasan ide yang relatif sempurna dan bermakna;
2.
Konsep merupakan
suatu pengertian tentang suatu objek;
3.
Konsep adalah
produk subjektif yang berasal dari cara;
Konsep
dalam memberikan proses pendidikan merupakan suatu keabstrakan, sebelum
dikerjakan. Didalam konsep tersebut tentu akan memberikan nilai-nilai positif
untuk pelajar. Penanaman karakter dan budaya yang baik, tentu akan menghasilkan
generasi yang handal dan berkompeten ketika mereka terjun ke masyarakat.
Hasan Langgulung (1980:92), melihat arti pendidikan
dari sisi fungsi pendidikan, yaitu; 1). Menyiapkan generasi muda untuk memegang
peranan-peranan tertentu dalam masyarakat di masa mendatang; 2). Mentransfer
pengetahuan, sesuai dengan peranan yang diharapkan; 3). Mentransfer nilai-nilai
dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat bagi kelangsungan
hidup masyarakat dan peradaban.
Bisa juga konsep penulisan folklor ini
ditinjau dari mata pelajaran sastra Indonesia. Sehingga apabila dikombinasikan
secara baik, akan menumbuhkan perkembangan dunia sastra lokal juga. Mengembangakan
kreativitas pelajar dalam menulis untuk mencintai produk lokal yang berupa folklor,
merupakan sesuatu kebangkitan positif yang perlu untuk dikembangkan.
Mentransfer pengetahuan, tidak harus di ruang kelas
saja, melainkan anak didik dengan mendapatkan bimbingan dan pengarahan dari
gurunya, dapat terjun ke masyarakat, khususnya dalam pencarian sumber folklor
tersebut. Dari situlah anak didik belajar mental ketika berhadapan langsung dengan
masyarakat. Begitu pula menanamkan sifat jujur dan berucap, akan nampak ketika
pencarian sumber informasi.
Sehingga anak didik juga belajar untuk menyesuaikan
diri terhadap lingkungan daerahnya. Seperti yang diungkapkan oleh Prof. Dr. H.
Mohammad Asrori (2007:198), seseorang dikatakan memiliki kemampuan penyesuaian
diri yang baik atau yang buruk dalam istilah aslinya disebut “well adjusted
person” adalah manakala individu itu mampu melakukan respon-respon yang
matang, efisien, memuaskan, dan sehat. Dikatakan efisien artinya mampu
melakukan respon dengan mengeluarkan tenaga dan waktu sehemat mungkin.
Dikatakan sehat artinya respon-respon yang dilakukan individu cocok dengan hakikat
individu, lembaga, atau kelompok individu, dan hubungan antara indiviu dengan
penciptanya. Bahkan, dapat dikatakan bahwa sifat sehat ini adalah gambaran
penyesuaian diri itu dikatakan baik.
Dengan demikian, individu yang dipandang mempunyai
penyesuaian diri yang baik adalah yang telah belajar mereaksi terhadap dirinya
dan lingkungannya dengan cara-cara yang matang, efisien, memuaskan, dan sehat
serta dapat mengatasi konflik mental, frustasi, serta kesulitan pribadi dan
sosial tanpa mengembangkan perilaku simptomatik dan gangguan psikosomatik yang
mengganggu tujuan-tujuan moral, sosial, agama, dan pekerjaan.
Cerita
Lisan Lokal; Pembentuk Karakter
Menurut Prof. Dr.
Sardjito, kita semua mengetahui betapa besarnya peranan dan pengaruh
pengetahuan perihal sejarah terhadap pertumbuhan jiwa kita, karena kita pada
saat ini sedang mulai dengan membangun jiwa-jiwa pemuda kita, supaya
perkembangannya jangan salah wesel (alamat), lalu tidak menjadi pemuda yang
tidak tahu keagungan leluhur kita, dan tidak menghargai adat istiadat kita yang
member corak kebudayaan kita (Buklet Seminar “Historiografi dan Periodisasi
Dalam Sejarah Indonesia” di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2007:3).
Tradisi cerita lisan,
merupakan kekayaan khasanah yang berada di desa-desa. Berbagai cerita yang kita
dapati merupakan suatu pesan moral yang harus dicerna dengan positif. Sehingga
dari pesan yang disampaikan melalui cerita lisan (folklor), secara tidak
langsung akan membentuk karakter generasi. Apalagi kalau keberadaan cerita
lisan dilestarikan dengan dibuatkan film, yang sumber datanya diambilkan dari
cerita lisan lokal.
Sehingga akan
memunculkan suatu tontonan yang akan memberikan tuntunan, dengan pesan moral
yang disampaikan melalui film. Melihat fenomena tersebut, merupakan arah
perkembangan zaman yang sudah modern. Teknologi serba canggih, dan juga bisa
menjangkau keberbagai penjuru. Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan menengok
kearifan lokal yang ada di desa-desa.۞