Oleh
Agus Ali Imron Al Akhyar
Agus Ali Imron Al Akhyar
Setiap daerah, tentu mempunyai ciri khas bentuk kesenian, maupun
budaya yang identik kearifan lokal. Kalau di daerah Ponorogo terdapat Reyog
Ponorogo, di daerah Tulungagung terdapat Reyog Kendhang. Sehingga dengan
munculnya kearifan lokal yang berupa bentuk kesenian maupun budaya, maka akan
membentuk karakteristik pada daerah tersebut. Sering kali kita mendengar maupun
melihat di media, bahwa pengeklaiman terhadap kesenian maupun kebudayaan kita
terhadap negera lain. Maka dari itulah, penerapan cinta produk lokal harus
digalakan.
Produk kesenian lokal, pada dasarnya merupakan penyokong kesenian
nasional, itu pasti. Pengukuhan atas Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) terhadap
seni budaya yang ada, akan menjadikan kebanggan tersendiri bagi pelaku seniman
maupun budayawan yang ada di daerah. Karena dengan adanya pengukuhuan Hak
Kekayaan Intelektual, akan membuat rasa kehormatan maupun diperhatikan,
sehingga pelaku seniman akan terus meningkatkan kreatifitasnya dalam berkarya.
Seni tradisi yang ada disetiap daerah, memang mempunyai ciri tersendiri,
antar daerah pasti berbeda. Seperti halnya antara Reyog Kendhang Tulungagung
dengan Reyog Ponorogo, justru dari perbedaan ciri khas tersebut akan
memunculkan kekayaan khasanah kesenian. Kearifan seni yang terdapat di daerah,
merupakan wujud dari masyarakatnya berbudi luhur, mempunyai etika ramah dan
tamah terhadap orang lain.
Persepsi masyarakat mengenai kesenian sekarang ini memang agak setengah luntur,
mungkin. Generasi muda sekarang kalau diamati memang pasif terhadap seni
tradisi daerah. Media elektronik, Televisi, maupun media yang lainnya,
mayoritas menyajikan tayangan dalam format american
brain, artinya generasi muda zaman sekarang sudah dicuci otaknya melalui
tayangan-tayangan yang lambat laun mejauhkan sifat kedaerahan.
Dengan berkarya dibidang seni, akan menimbulkan rasa keindahan,
kedamaian, dan ketentraman, tatkala menikmati apresiasi seni. Seni tradisional
mempunyai keunggulan komperatif, dibandingkan dengan kesenian modern yang lebih
bersifat elektronis. Sehingga untuk menikmatinya dalam seni tradisional sangat
membutuhkan ketajaman perasaan. Sebab bentuk seni tradisional adanya kontak
langsung dengan subjeknya, yaitu manusia. Sehingga sudah menjadi hukum baku
yang sudah diterapkan dikalangan masyarakat.
Pada saat ini, generasi muda sekarang belum atau mungkin tidak mempunyai
ketajaman perasaan (hati) untuk menikmati seni tradisional. Mereka terasa masih
canggung untuk melihatnya, bahkan untuk melakoni
(melatih diri) terhadap seni tradisional seakan-akan terasa asing. Kesenian
dalam memerankannya membutuhkan keseimbangan, maksudnya antara gerak, perasaan,
dan pikiran saling mempengaruhi, memang tidak sembarang orang mampu untuk
melakukannya.
Aksi serta refleksi kesenian tradisional yang ada di Tulungagung,
terutama Reyog Kendhang, merupakan keseimbangan hidup manusia dengan lingkungan.
Kesenian Reyog Kendhang sendiri, menyimpan pendidikan nonformal secara tidak
langsung dalam bentuk seni gerak. Sehingga dengan berkesenian (Reyog Kendhang),
kita seakan-akan bisa mentransformen kearifan hidup, antara tradisi dan
perkembangan zaman seperti sekarang.
Hasil mempelajari, bisa dikata penyeimbangan antara gerak dan pendidikan
hidup bisa berkesinambungan. Kehidupan berseni itu merupakan proses kearifan
lokal bagi sebuah masyarakat. Mungkin, terdapat perbedaan yang signifikan
antara masyarakat Tulungagung dan juga masyarakat Ponorogo, itu jelas.
Kesenian, salah satu kegiatan (proses) yang menitikberatkan terhadap
pembangunan karakter spiritualitas. Orang terdahulu (leluhur) selalu
menggabungkan antara mental spiritualitas dengan seni budaya yang ada di
lingkungan (masyarakat).
Lingkungan juga mempengaruhi didalam terbentuknya sebuah seni tradisi.
Seperti halnya Reyog Kendhang dan Reyog Ponorogo, namanya hampir mirip, tapi
dalam bentuk seni gerak maupun filosofinya tentu tidak sama. Meskipun sama-sama
namanya reyog, disetiap daerah akan berbeda. Bisa saja di waktu yang akan
datang, muncul Reyog Mojokertoan, Reyog Madiunan, Reyog Suroboyoan, dan
reyog-reyog lainnya. Siapa menyangka, nanti kearifan lokal disetiap daerah akan
muncul dari tidur nyenyaknya, dalam bentuk reyog maupun seni tradisi lain.
Reyog dapat kita katakan merupakan bentuk tarian yang sengat sederhana,
sebab si penari (yang menari bersama-sama) masing-masing membawa instrumen
sendiri yang berupa gendang. Reyog yang terdapat di Jawa Timur, khusus hanya
menari saja. Reyog yang terdapat di Jawa Barat agak berbeda dengan di Jawa
Timur. Reyog di Jawa Barat tidak terus menerus menari saja, tetapi ada
saat-saatnya berdialog antara penari-penari itu sendiri. Tentang dasar tarian
reyog dan instrumennya rupa-rupanya sama saja, antara yang terdapat di Jawa Timur
dan Jawa Barat (Babad Tulungagung, belum direvisi,
1971:44).
Reyog Kendhang Asal Tulungagung
Nilai-nilai yang terdapat di kesenian Reyog Kendhang asal daerah
Tulungagung ini, mencerminkan sifat kearifan lokal kesenian tradisional.
Kesenian sendiri, bersangkutan mengenai proses pembelajaran dari lingkungan
untuk manusia. Dari sebuah pengamatan sosial, pola prilaku kehidupan, maupun
wacana yang sedang hangat dibicarakan, bisa diproses melalui kesenian, sehingga
dari kesenian pulalah kita bisa mengambil sikap dalam menyikapi permasalahan.
Seperti Reyog Kendhang asal daerah Tulungagung, menurut sekilas cerita,
bahwasanya asal usul Reyog Kendhang ini berasal dari penolakan lamaran yang
dilakukan oleh Putri Dewi Kilisuci terhadap seorang Raja Bugis. Memang leluhur
kita, selalu mengaitkan antara peristiwa dengan bentuk kesenian, salah satunya
Reyog Kendhang ini.
Menurut cerita yang dituturkan oleh Bapak Endin, Beliau seorang penggerak
kesenian dan kebudayaan di Tulungagung, menceritakan dahulu kala ada Raja Bugis
yang ingin melamar putri Kediri, yaitu Dewi Kilisuci, akan tetapi yang disuruh
melamar adalah prajuritnya. Namun ketika diperjalanan dari Bugis ke Kediri,
rombongan mereka kesasar (salah arah) sesampainya di Madiun. Prajurit tersebut
kesasar, akhirnya melewati daerah Ponorogo-Trenggalek-Tulungagung.
Sesampainya di Kota Kediri, setelah bertemu dengan Putri Dewi Kilisuci,
prajurit tersebut menyampaikan amanah dari Sang Raja, untuk melamar putri
tersebut. Putri Dewi Kilisuci, secara halus mengatakan bahwa menerima lamaran
tersebut asalkan Raja Bugis bisa mempersembahkan; (1). Mata ayam tukung sebesar
terbang miring digantung di gubuk penceng; (2). Seruling pohon padi sebesar
batang kelapa; (3). Dendeng tumo sak tetelan pulut (jadah); (4). Ati tengu
sebesar guling; (5). Madu lanceng enam bumbung; (6). Binggel emas bisa berbunyi
sendiri.
Namun persyaratan tersebut merupakan kiasan halus untuk menolak lamaran
dari suruhan Raja Bugis. Mendengar apa yang diminta oleh putri tersebut,
akhirnya prajurit merasa kebingungan, sebab sang raja sudah mengamanahi kalau
belum berhasil untuk melamar putri tersebut mereka tidak boleh kembali ke
kerajaan. Akhirnya para prajurit berinisiatif untuk menuju ke arah selatan,
yaitu ke kawasan daerah Tulungagung.
Akhirnya di daerah Tulungagung para prajurit tersebut meminta tolong pada
warga Dhadhap Langu, untuk mengartikan kiasan yang disampaikan oleh Putri Dewi
Kilisuci. Dengan adanya bantuan dari warga Dhadhap Langu tersebut, kiasan syarat
yang dikatakan prajurit diartikan sekaligus dibuatkan dalam bentuk benda.
Adapun makna kiasan dari Putri Dewi Kilisuci tersebut, yaitu; (1). Mata ayam
tukung sebesar terbang miring digantung di gubuk penceng, mempunyai makna Gong
kempul yang digantung pada gayornya; (2). Seruling pohon padi sebesar batang
kelapa, mempunyai makna slompret; (3). Dendeng tumo sak tetelan pulut (jadah),
yang mempunyai arti kenong; (4). Ati tengu sebesar guling, yang mempunyai arti
iker atau ikat; (5). Madu lanceng enam bumbung, bisa diartikan Dhodhok atau
Gemblug yang berjumlahkan enam; (6). Binggel emas bisa berbunyi sendiri, yang
diartikan gongseng.
Itulah makna kiasan persyaratan untuk melamar, yang disampaikan oleh
Putri Dewi Kilisuci kepada prajurit Raja Bugis. Setelah itu, para prajurit
merasa senang dan tenang jiwanya, karena apa yang menjadi ganjalan sudah bisa
teratasi. Uniknya ketika mereka, prajurit ingin membawa barang tersebut ke
hadapan putri Kediri terbentuklah suatu gerak seni, yang sekarang diaplikasikan
pada Reyog Kendhang.
Adapun gerak seni yang tercipta secara alami, diantaranya; peralatan tadi
sebelum diserahkan kepada sang putri, sang prajurit berdoa memohon kepada Sang
Pencipta Alam, maka para prajurit memandang bawah dan ke atas lalu kekanan-kekiri.
Maka terciptanya gerak Sumi Langit (Sundangan).
Para prajurit melalui semedi dengan geduk tanah supaya diterima barang-barangnya
maka terciptalah gerak Gejoh Bumi.
Para prajurit setelah semedi mengantarkan persembahan (Bebono). Maka
tercipta Gerak Joget Menthokan
(munduk-munduk). Setelah barang-barang diserahkan maka para prajurit
mundur/lengser, maka terciptalah Gerak
Patetan. Setelah barang-barang diteliti para prajurit melingkar menyaksikan,
maka terciptakah Gerak Joget Lilingan.
Setelah dinyatakan cocok diterima barang-barang itu para prajurit kaget
terciptalah joget Mindak Kecik Noleh
Kanan Noleh Kiri. Para prajurit memuncak kegirangannya, maka tercipta Gerak Joget Andul (engklek). Setelah
para prajurit bersenang sang putri khidmat menciptakan sesosok tubuh
melesat masuk sumur, prajurit tahu. Semua melihat sumur maka tercipta Gerak Ngungak Sumur. Setelah melihat
sumur sangat dalam, maka tercipta joget Kejang
Jinjit. Setelah sang putri tidak muncul, hilang, para prajurit berbalik
gembyang. Para prajurit merasa tidak berhasil untuk melamarkan Raja Bugis, maka
dengan tangan hampa prajurit pulang, terciptalah Gerak Baris Lagi.
Itulah sekilas mengenai Reyog Kendhang asal
daerah Tulungagung, pada tahun 2009 telah terdaftar di HaKI (Hak Kekayaan
Intelektual) Indonesia, di Jakarta. Perlu kita menyadarinya, bahwasanya dengan
peristiwa yang terjadi di lingkungan bisa dijadikan sebagai bentuk kesenian
lokal. Masih belum terlambat, untuk kesenian maupun kebudayaan daerah yang lain
untuk di hak patenkan, sebelum negara lain mengambil kekayaan intelektual kita.
Pendidikan
Karakteristik Melalui Gerak/Tari
Kesenian tari tidak ubahnya sebagai media
pendidikan mental, membentuk karakter kepribadian pada setiap pemain. Kalau
kita lihat, berbagai bentuk seni gerak mempunyai fungsi dan tujuan yang
berbeda. Tentunya bentuk seni gerak mengandung unsur-unsur yang dapat
memberikan kekuatan batin, seperti yang dapat kita lihat didalam seni gerak
Reyog Kendhang.
Seni pertunjukan di Indonesia berangkat dari
suatu keadaan, di mana ia tumbuh dalam lingkungan-lingkungan ethnik yang berbeda satu sama lain.
Dalam lingkungan-lingkungan ethnik
ini, adat, atau kesepakatan bersama yang turun-temurun mengenai perilaku,
mempunyai wewenang yang amat besar untuk menentukan rebah-bangkitnya kesenian,
seni pertunjukan pada pertunjukan. Peristiwa ke-adatan merupakan landasan
eksistensi yang utama bagi pagelaran-pagelaran atau pelaksanaan-pelaksanaan
seni pertunjukan. Seni pertunjukan, terutama yang berupa tari-tarian dengan
iringan bunyi-bunyian, sering merupakan pengemban dari kekuatan-kekuatan magis yang diharapkan hadir, tetapi juga
tidak jarang merupakan semata-mata tanda syukur pada terjadinya
peristiwa-peristiwa tertentu (Sedyawati, 2000:52-53).
Reyog Kendhang sendiri, dipengaruhi oleh
peristiwa ditolaknya secara halus lamaran dari Raja Bugis, yang disampaikan
oleh prajuritnya. Adapun sebagai pembelajaran, yaitu terjadinya suatu peristiwa
dapat dijadikan sebagai bentuk seni gerak/tari yang bermakna. Seperti halnya
seni gerak yang terdapat pada Reyog Kendhang berasal dari Tulungagung. Di bawah
ini akan dipaparkan gerak tari yang terdapat pada Reyog Kendhang asal
Tulungagung, menurut hasil diskusi ngobrol
budaya di sekretariatan Kajian Sejarah, Sosial, dan Budaya {KS2B} Kabupaten
Tulungagung;
Pertama, Gerak Baris, yaitu gerakan lurus seperti layaknya orang
sedang berbaris. Namun dengan dhodhong
kerep berada paling depan, kaki berjalan mengikuti irama dari dhodhong. Pada saat tersebut, biasanya
menggunakan irama drum band. Irama ini biasanya terjadi saat masuk maupun
keluar dari panggung pementasan. Hal ini menggambarkan prajurit berbaris yang
sedang membawa barang-barang untuk menuruti permintaan Sang Putri Dewi Kilisuci,
seperti apa yang sudah diceritakan di atas tadi. Gerak yang pertama ini
mempunyai makna, apabila manusia mempunyai tujuan ataupun pengharapan, harus
mampu menyatukan kekuatan dari berbagai arah. Maksudnya kesiapan, kemapanan,
dan kekuatan mental lahir batin harus ada.
Kedua,
Gerakan Menthokan, yaitu suatu gerak yang berfilosofikan dari hewan Menthok.
Sehingga para pemain Reyog Kendhang ini, pada dasarnya berjalan dengan pinggul
yang digoyang-goyang, selain itu dengan badan yang mundhuk-mundhuk. Diibaratkan
pada gerak menthokan ini, menggambarkan rasa hormat saat menyerahkan barang bawaan
kepada sang putri untuk dilamar, dengan badan seakan-akan simbol dari rasa hormat.
Gerak yang kedua ini bermakna, sebagai manusia harus memiliki sifat andab asor (merendah), saling
menghormati, sopan-santun, dan saling berpengertian.
Ketiga, Gerakan Patettan atau gerak maju mundur, yaitu gerakan dasar, kaki
kanan membuka memutar. Gerak ini menunjukan rasa penghormatan dan merendah
diri. Makna dari gerak ini adalah sifat rendah diri, sopan dan mampu memberikan
pertolongan dengan ikhlas.
Keempat, Gerakan Kejang, yaitu sebuah gerakan berjalan dengan tumit yang
diangkat, posisi badan saat itu kaku seperti robot atau orang kejang.
Penggambaran gerak kali ini, seperti orang sedang melihat kedalam sumur (ngungak sumur), karena ketidaksampaian
akhirnya jinjit. Makna dari gerak kejang kali ini memang sangat mendalam, yaitu
kita sebagai manusia yang masih waras
harus berpikir secara matang ketika akan melakukan sesuatu hal, agar tidak
menyesal dikemudian hari.
Kelima, Gerak Lilingan, yaitu gerakan ngliling
namun secara berpasangan, maju berpapasan ngliling
lagi. Gerak yang kali ini menggambarkan barang lamaran yang diterima oleh Sang
Putri sedang diperiksa, sehingga pada saat itu para prajurit menyaksikan barang
yang sedang diperiksa dengan melingkar. Adapun makna dari adanya gerak lilingan
ini adalah sebagai manusia, kita seharusnya memang selalu mengingatkan akan
kebenaran. Meskipun berjalan tidak searah, namun tetap satu tujuan dan jangan
sampai terjadi konflik.
Keenam,
Gerak Ngungak Sumur, yaitu suatu gerakan kaki kanan ke arah depan dan belakang.
Pada saat kaki kanan ke arah depan, pandangan ke bawah dan ketika kaki kanan ke
arah belakang, pandangan ke arah depan, dan begitu selanjutnya. Filosofi dari
gerak ngungak sumur ini adalah konon
ketika barang lamaran diserahkan dan cocok, karena itu untuk menutupi rahasia
kalau tidak mau dilamar, maka sang putri berkhianat dan akhirnya mengelabui
para prajurit Bugis dengan dihadirkannya sesosok tubuh berpakaian putih,
seperti Sang Dewi yang meluncur masuk ke sumur, maka dengan adanya peristiwa
itu para prajurit bersamaan melihat ke arah sumur. Makna dari gerak tari yang
satu ini adalah kita sebagai manusia tidak boleh tergesa-gesa untuk mempercayai
kabar berita dari orang lain yang belum pasti, sebelum kita meneliti,
mengamati, maupun melihat.
Ketujuh, Gerak Gejoh Bumi, yaitu gerakan membungkukkan badan,
sedangkan kaki kanan di depan menapak datar, sedangkan kaki kiri di belakang
dengan mengangkat tumit dan kaki kiri digejoh-gejohkan ke tanah. Gerak gejoh
bumi ini menggambarkan prajurit mulai semedi geduk bumi sebanyak empat kali,
lalu berpaling sampai empat kali; satu ke arah selatan, dua ke arah timur, tiga
ke arah utara, empat ke arah barat. Maksudnya barang yang menjadi persyaratan
untuk melamar sang putri, diridhoi Sang Pencipta Alam. Makna dari gerak gejoh
bumi adalah suatu tujuan hidup, pengharapan akan sesuatu, maka harus disertai
doa dan usaha, serta dengan rendah hati.
Kedelapan, Gerak Midak Kecik, yaitu sebuah gerak jalan mundur dengan
ujung kaki menapak lebih dahulu, kemudian baru tumitnya. Filosofi gerak ini
adalah sebauh rasa kegembiraan para prajurit, akhirnya kaki gedruk ke tanah,
kegirangan menoleh ke kanan dan kiri, dikarenakan persembahannya telah diterima
oleh sang putri. Makna dari gerakan kedepalan ini adalah disetiap ada tujuan
maupun pengharapan, pasti akan ada cobaan.
Kesembilan, Gerak Sundangan, yaitu suatu gerak pada bahu dan badan
membengkok, atau tepatnya seperti gerakan pada hewan kerbau maupun sapi yang
menyundang. Adegan gerak kali ini menggambarkan sebuah permohonan doa restu
bumi langit, yang artinya Sang Ibu Bumi
Bopo Sang Kuoso, dengan pengharapan agar sesembahan para prajurit diterima.
Makna seni tari kali ini adalah manusia pada waktu siang maupun malam, tentunya
harus selalu ingat pada Sang Pencipta Alam yang telah menciptakan bumi serta
isinya untuk penghidupan makhluk (manusia).
Kesepuluh, Gerak Andul, yaitu gerak sambil jongkok hampir mirip
menirukan gaya hewan menthok yang sedang berjalan megal-megol, atau pinggul
digoyang. Makna dari gerak ini adalah sebagai manusia harus mampu bijaksana
dalam menentukan arah tujuan, melakukan kebenaran dan tidak berbuat kesalahan.
Kesebelas, Gerak Gembyangan, yaitu sebuah gerakan bertumpu pada
kaki, kaki kiri dan kaki kanan diayunkan ke kaki kiri. Hal ini menggambarkan
dikarenakan sang putri melakukan bunuh diri masuk sumur, maka prajurit
membalikan badan. Maknanya adalah manusia (baca; pemimpin) harus mampu
memberikan suri tauladan yang baik kepada masyarakatnya (Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani).
Manusia harus berpikir menggunakan hati dan pikirannya.
Keduabelas, Gerak Baris, atau gerak hampir sama dengan gerak pertama
ketika memasuki suatu panggung. Namun gerak terakhir ini merupakan perjalanan
akhir, atau keluar panggung. Menurut filosofinya gerak akhir ini adalah
penggambaran gerakan baris pulang dengan tangan hampa. Maknya adalah ketika
sudah tercapai akan tujuan kita, maka jangan sampai melupakan (tidak bersyukur)
kepada Sang Pencipta Alam, yaitu Gusti Allah Kang Maha Agung, Kuasa Sejagat
Alam.
Itulah seni gerak yang terdapat di Reyog
Kendhang asal Tulungagung, disetiap geraknya mengandung filosofi kehidupan
dalam bermasayarakat dan juga sebagai makhluk kita senantiasa memohon petunjuk
kepada Sang Pencipta Alam. Memunculkan kearifan lokal memang sepantasnya
diperlukan pada zaman sekarang. Itulah seni masyarakat yang tercipta dari suatu
peristiwa.
Model Kostum
Reyog Kendhang
Baju atau kostum yang dipakai saat tampil Reyog
Kendhang, memang berbeda dengan kostum yang dipakai oleh Reyog Ponorogo. Setiap
daerah yang mempunyai kesenian, tentu memiliki ciri kostum yang berbeda. Kostum
yang dipakai saat tampil Reyog Kendhang nampak perpaduan warnanya yang
mendominasi, sehingga kelihatan cerah dan menawan.
Keseimbangan dan keserasian warna; hitam,
putih, merah, kuning dan biru tua, yang lebih unik adalah pemaian Reyog
Kendhang memakai kaos kaki yang berwarna putih. Adapun kostum pakaian maupun
aksesoris dalam penampilan Reyog Kendhang, diantaranya; iket kepala (udheng),
iker-iker (gulingan), kace (kalung berbentuk bulan sabit dari bahan bludru yang
dihiasi monte), sampur (selendang), kaos kaki, gurada/jatayu, sumping (hiasan
telinga), ter (hiasan di pundak), srempang (hiasan terbuat dari bludru serta
disulam monte), deker (hiasan terdapat pada pergelangan tangan), boro-boro,
gongseng, gendhongan dhodhong, keris, sabuk, kain panjang, celana, baju putih,
dan stagen.
Itulah kostum kebanggaan dari kesenian Reyog
Kendhang asal Tulungagung, yang telah menjadi ikon kebanggaan masyarakat daerah
Tulungagung. Orang Jawa biasa menyebut Ajining
Rogo Soko Busono, Ajining Dhiri Soko Lathi (pengucap), yang terkanal dengan
ramah tamahnya, tindak tandhuk, sopan-santun, dan saling menghormati.
Tulisan Penutup
Itulah Reyog Kendhang asal Tulungagung, sarat
penuh kearifan pola prilaku. Reyog Kendhang merupakan wujud pengaplikasian dari
peristiwa lamaran antara Raja Bugis dengan Sang Putri asal Kediri. Pelajaran
yang selalu bersifat universal ini merupakan sebuah kearifan masyarakat. Seni
itu indah, penuh dengan makna yang tersembunyi, dengan hatilah kita bisa untuk
menikmatinya. Dari senilah kita bisa merasa puas dan tentram. Berangkat dari
peristiwa maupun imajinasi yang terkontrol oleh tatanan norma masyarakat.
Refleksi pola prilaku manusia, bisa membentuk kesenian yang normatif.
Pembelajaran berarti ilmiah, pendidikan adalah
mendewasakan karakteristik khususnya pada generasi muda. Fitrah sebagai manusia
(generasi muda) adalah berdialog, berdialog dengan seni, berdialog dengan alam,
berdialog dengan sesama manusia, dan berdialog dengan waktu, itulah fitrah
sebagai manusia yang ingin belajar. Hidup merupakan pembelajaran yang konkrit,
dari kehidupan (peristiwa) terbentuk suatu karya yang sarat dengan kearifan.
Pendidikan merupakan proses pembentukan
karakter (generasi muda), agar lebih mengetahui mana yang baik dan mana yang
buruk. Namun gejala yang ada pada zaman sekarang adalah generasi muda menginginkan
segala sesuatu menjadi instan. Belajar itu memerlukan proses, dari proseslah
kita dapat mengambil hikmah dari belajar itu sendiri. Proses merupakan seni,
dalam membentuk kepribadian yang berbudi luhur serta bijaksana. Proses dalam
hidup adalah pendidikan konkrit bagi manusia, sebenarnya.
Dari berkesenianlah, kita mampu untuk memupuk
rasa bangga, rasa memiliki, rasa menghargai warisan leluhur. Berkesenian memang
dapat mentransformen kearifan lokal yang ada pada masyarakat, untuk menciptakan
kebaikan dalam berprilaku, maupun untuk menyampaikan pesan kebaikan. Berkesenian
dapat dipahami sebagai wujud ekspresi dari kepribadian yang terdiri unsur-unsur
cipta, rasa, maupun karsa. Sehingga apabila diasumsikan, bahwasanya hati
(perasaan) mendasari terbentuknya suatu kesenian.
Pada saat sekarang ini, yang perlu diadakan
adalah motivasi berkesenian. Motivasi dalam berkesenian memang harus terus
ditumbuhkan. Memang untuk menumbuhkan motivasi berkesenian tidak semudah apa
yang kita bayangkan. Perlunya sinergi positif serta aktif, antara manusia dan
lingkungan. Berkesenian merupakan wujud alamiah antara manusia dan lingkungan,
sehingga penyaringan zaman yang akhirnya menentukannya.
Zaman sekarang, mayoritas masyarakat
menginginkan sesuatu hal yang instan, agar mereka lekas mendapatkan kepuasan
batin. Namun berkesenian memerlukan sebuah proses lama, akhirnya membentuk
suatu kesenian yang mempunyai nilai jual tinggi. Reyog Kendhang dan Reyog
Ponorogo, pada awalnya juga memerlukan proses lama, hingga akhirnya terwujud
kesenian yang bisa diterima masyarakat sekarang.
Kini dengan mudah kita dapat mendapatkan
kesenian tersebut dalam bentuk Audio Visual (VCD dan DVD). Sehingga dengan
mudah kesenian tersebut dapat dikenal oleh masyarakat luas. Perlunya penyadaran
berkesenian sejak dini memang sangat dibutuhkan, seperti halnya Reyog Kendhang
asal Tulungagung. Sebelum di Hak Patenkan pada tahun 2009 kemarin,
sekolah-sekolah di daerah Tulungagung tidak mempunyai ekstra kesenian Reyog
Kendhang. Namun setelah di Hak Patenkan dan dipublikasikan, sekarang disetiap lembaga
pendidikan baik itu SD, SMP, dan SMA, sudah mempunyai ekstra kesenian Reyog Kendhang.
Setiap
masyarakat (daerah) pasti mempunyai kesenian yang dibanggakan. Dengan
berkesenian secara tidak langsung akan mendidik generasi muda untuk mencintai
hasil karya daerah, sifat kearifan, dan memiliki rasa memiliki. Sehingga dengan
itu kesenian lokal akan mengembang menjadi kekayaan nusantara. Seni tidak
mengenal umur, bahkan bayi yang baru lahir pun sudah memiliki seni menangis,
yang membuat bahagia kedua orangtuanya, itulah seni. Jiwa seni manusia memang
sudah ditanamkan sejak masih kecil, tergantung bagaimana kita nantinya mengolah
jiwa seni itu menjadi sebuah karya agung.۞