Oleh
Agus Ali Imron Al Akhyar
Nama kompleks candi ini berasal dari cerita rakyat
dengan sebutan nama “Penamp’an atau Penampikan”. Nama ini berasal dari kata
“Tampik”, yang diangkat dari sebuah cerita yang menyebutkan pada suatu ketika
seorang pembesar dari Ponorogo bermaksud melamar dan menikahi putri dari
Kerajaan Kediri yang bernama Dewi Kilisuci yang sangat cantik dan mempesona
setiap laki-laki memandangnya.
Pembesar beserta rombongannya berangkat menuju
kerajaan Kediri lengkap dengan membawa semua perangkat yang diperlukan untuk
sebuah pesta pernikahan. Sebelumnya sampai ke Kerajaan Kediri, Sang pembesar
dari Ponorogo menyuruh kurirnya untuk
menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan pembesar Ponorogo, yaitu dalam rangka
untuk menikahi Dewi Kilisuci, akan tetapi kenyataannya Dewi Kilisuci menolak
terhadap lamaran pembesar Ponorogo tersebut. Akibat dari penolakkan terhadap
niat kawin dari Pembesar Ponorogo, akhirnya pembesar tersebut merasa takut
untuk kembali ke kampong halamannya. Kemudia pembesar tersebut mendirikan
sebuah candi atau bangunan suci dan menghabiskan waktunya di tempat suci
tersebut. Tempat bangunan tersebut diberi nama Penampe’an atau Penampikan yang
letaknya sekarang di Desa Geger-Sendang.
Melihat bangunan tersebut dengan kondisi dimabuk
cinta, maka candi itu dikenal dengan sebutan sebagai candi “Asmara Bangun” dan
saat pendirian candi tersebut diadakannya pagelaran wayang Ringgit semalam
suntuk. Saat itulah Sang Pembesar Ponorogo dan pengikutinya hidup dengan
ketentraman bersam alam. Dari itu Candi Penampihan dijadikan sebagai tempat
pemujaan.
Bentuk Candi Penampihan
Candi
Penampihan terdiri dari tiga teras dengan ketinggian 974 m. Pertama, yaitu teras bawah sendiri
adalah tempat berdirinya Prasasti Trinulad, yang penulisan dan bahasanya
menggunakan Jawa Kuno. Prasasti itu bertahun 820 C/898 M. Tokoh yang naik tahta
Kerajaan Mataram kuno, karena perkawinan itu diyakini memang meluaskan
kekuasaan ke Jawa Timur. Prasasti tersebut dinamakan prasasti trinulad, karena
menurut pendapat ahli yang menyatakan bahwa prasati itu merupakan copyan
prasasti yang pembuatannya lebih ditekankan pada unsur legitimasi seorang penguasa atau raja.
Prasasti tersebut menyebutkan seorang Raja Putri
dan menyebutkan Mahesa Lalatan. Kemudian dibawahnya prasasti trinulad terdapat
bangunan semacam altar yang disusun
dari batuan andesit berdenah lonjong. Ukuran altar tersebut, panjang 5 m, lebar 2,5 m, dan tinggi 1,5 m. Didepan
prasasti trinulad itu terdapat arca bima yang sekarang sudah tidak ada
kepalanya dan terdapat 2 Duara Juala, yaitu 2 buah arca tokoh wanita dan sebuah
bola batu sudah tidak ada dilokasi. Selain itu ada prasasti yang dipahat di
atas 7 lempengan tembaga ini dikenal dengan prasasti Sarwadharma yang berangka
tahun (1191 C) dan dikeluarkan tepatnya pada tanggal 31 Oktober 1269, dan dapat
diketahui pula bahwa kerukunan Candi Penampihan, berhubungan dengan tokoh
Kertanegara. Kertanegara merupakan tokoh yang mengubah upacara keagamaan serta
segala upacara agama yang mati dihidupkan kembali.
Pada teras ke-2 hanya terdapat Makara bermahkota
dan pada teras ke-3, yaitu teras paling atas terdapat sebuah tangga masuk di
tengah yang menghubungkan teras kedua dengan ketiga. Pada teras ketiga terdapat
tiga buah bangunan yang berada di tengah tepat di depan tangga masuk berupa candi
induk berbentuk kura dengan ukuran panjang 9,70 m, lebar 4,90 m, dan tinggi
1,10 m. Bangunan tersebut berbahan andesit dan batu bata sebagai tulisannya.
Dibagian atas banguna kura-kura raksasa ini pernah
diketemukan sebuah prasasti berangka tahun 1382 C dan sebuah arca tokoh wanita
dengan angka tahun 1116 C. Di atasnya candi induk terdapat sepasang arca naga
bermahkota, kepala garuda, sepasang kera, didepannya candi induk terdapat Retjo
Pentung Juala Pala. Disebalah kirinya candi induk tepatnya di sebelah
selatannya terdapat sebuah relief hewan seperti; kodok, celeng, macan dan yang
lainnya. Intinya semua hewan yang ada pada hutan tersebut dan relief yang
menggambarkan tiga gajah untuk membajak, tetapi sekarang relief tersebut
dipindahkan di musem Trowulan Mojokerto. Mayoritas situs tersebut sudah hilang dan yang
lainnya dipindahkan ke musem Mojokerto agar aman.