Reyog Tulungagung ini merupakan gubahan
tari rakyat, yang menggambarkan arak – arakan prajurit pasukan Kedhirilaya
tatkala mengiring pengantin “ Ratu Kilisuci “ ke gunung Kelud, untuk
menyaksikan dari dekat hasil pekerjaan Jathasura, sudahkah memenuhi persyaratan
pasang – girinya atau belum ( lihat Bab IV : 1.4. ). Dalam gubahan Tari Reyog
ini barisan prajurit yang berarak diwakili oleh enam orang penari.
Yang ingin dikisahkan dalam tarian
tersebut ialah, betapa sulit perjalanan yang harus mereka tempuh, betapa berat
beban perbekalan yang mereka bawa, sampai terbungkuk – bungkuk, terseok – seok,
menuruni lembah – lembah yang curam, menaiki gunung – gunung, bagaimana mereka
mengelilingi kawah seraya melihat melongok – longok ke dalam, kepanikan mereka,
ketika “ Sang Puteri “ terjatuh masuk kawah, disusul kemudian dngan pelemparan
batu dan tanah yang mengurug kawah tersebut, sehingga Jathasura yang terjun
menolong “ Sang Puteri “ tewas terkubur dalam kawah, akhirnya kegembiraan oleh
kemenangan yang mereka capai.
Semua adegan itu mereka lakukan melalui
simbol – simbol gerak tari yang ekspresif mempesona, yang banyak menggunakan
langkah – langkah kaki yang serempak dalam berbagai variasi, gerakan – gerakan
lambung badan, pundak, leher dan kepala, disertai mimik yang serius, sedang
kedua tangannya sibuk mengerjakan dhogdhog atau tamtam yang mereka gendong
dengan mengikatnya dengan sampur yang menyilang melalui pundak kanan. Tangan
kiri menahan dhogdhog, tangan kanannya memukul – mukul dhogdhog tersebut
membuat irama yang dikehendaki, meningkahi gerak tari dalam tempo kadang –
kadang cepat, kadang – kadang lambat. Demikian kaya simbol – simbol yang mereka
ungkapkan lewat tari mereka yang penuh dengan ragam variasi, dalam iringan
gamelan yang monoton magis, dengan lengkingan selompretnya yang membawakan
melodi terus – menerus tanpa putus, benar – benar memukau penonton, seakan –
akan berada di bawah hipnose.
Busana penari adalah busana keprajuritan
menurut fantasi mereka dari unit reyog yang bersangkutan. Di Tulungagung dan
sekitar, bahkan sampai di luar daerah Kabupaten Tulungagung, sekarang sudah
banyak bersebaran unit – unit reyog sejenis, dan mereka memiliki seleranya
masing – masing dalam memilih warna. Unit – unit yang terdiri dari golongan muda
usia, biasanya memilih warna yang menyala, merah misalnya.
Sebuah unit reyog dari desa Gendhingan,
Kecamatan Kedhungwaru, Kabupaten Tulungagung, beranggotakan orang – orang
dewasa, bahkan tua – tua. Mungkin karena kedewasaannya itu mereka sengaja memilih
warna hitam sebagai latar dasar busananya, sedang atribut – atributnya berwarna
cerah. Busana itu terdiri atas :
Baju hitam berlengan panjang, bagian
belakang kowakan untuk keris. Sepanjang lengan baju diberi berseret merah atau
kuning, juga di pergelangan.
Celana hitam, sempit, sampai di bawah
lutut. Di samping juga diberi berseret merah memanjang dari atas ke bawah.
Kain batik panjang melilit di
pinggang, bagian depan menjulai ke bawah. Sebagai ikat pinggang digunakan
setagen, kemudian dihias dengan sampur berwarna.
Ikat kepala berwarna hitam juga,
diberi iker – iker ( pinggiran topi ) tetapi berbentuk silinder panjang
bergaris tengah 3 cm, dililitkan melingkari kepala. Warnanya merah dan putih.
Atribut – atribut yang dipakai :
- kacamata gelap atau putih ;
- sumping di telinga kanan dan kiri ;
- epolet di atas pundak, dengan diberi
hiasan rumbai – rumbai dari benang perak ;
- sampur untuk selendang guna menggendong
dhogdhog ;
- kaos kaki panjang.
Busana yang dikenakan oleh unit reyog dari
golongan muda usia, tidak jauh berbeda, hanya warna mereka pilih yang menyala,
disamping hiasan – hiasan lain yang dianggap perlu untuk “ memperindah “
penampilan, misalnya rumbai – rumbai yang dipasang melingkar pada iker – iker.
Dalam pada itu pada kaki kiri dipasang gongseng, yaitu gelang kaki yang
bergiring – giring.
Tentang gamelan yang mengiringi dapat dituturkan sebagai berikut. Keenam
instrumen dhogdhog, sebangsa kendhang atau ketipung, tetapi kulitnya hanya
sebelah, yang ditabuh oleh penarinya sendiri, terbagi menurut fungsinya :
dhogdhog kerep, dhogdhog arang, timbang – timbangan atau imbalan, keplak,
trentheng dan sebuah lagi dipukul dengan tongkat kecil disebut trunthong. Di
luar formasi ini ditambah dengan tiga orang pemain tambahan sebagai pemukul
kenong, pemukul kempul, dan peniup selompret. Kenong dan kempul secara
bergantian menciptakan kejelasan ritma, dan selompret membuat melodi lagu –
lagu yang memperjelas pergantian – pergantian ragam gerak.
Berbeda dengan Reyog Tulunggung yang ada
di desa Gendhingan, pada reyog sejenis di desa Ngulanwentah, Kabupaten
Trenggalek, si penabuh kenong tidak mengambil tempat kumpul bersama kedua
rekannya penabuh, melainkan ikut di arena, walaupun tidak menari, hanya mondar
– mandir, atau berjalan keliling, atau menyelinap di antara keenam penrinya,
sembari memukul kenong yang diayunkan ke depan dan ke belakang. Ia pun
mengenakan busana serupa dengan busana penari, hanya dengan warna lain, dan
tanpa iker – iker pada ikat kepalanya.
Lagu – lagu pengiringnya dipilih yang
populer di kalangan rakyat, misalnya Gandariya, Angleng, Loro – loro, Pring –
Padhapring, Ijo – ijo, dan lain – lain. Terdapat kecenderungan pada reyog
angkatan tua, ( khususnya yang ada di desa Gendhingan ), untuk menggunakan irama
lambat dan penuh perasaan, yang oleh angkatan mudanya agaknya kurang disukai.
Mereka, angkatan muda ini, lebih senang menggunakan irama yang “ hot ”, sesuai
dengan gejolak jiwanya yang “ dinamik ”. Dalam hal ini AM Munardi menuliskan
tanggapannya sebagai berikut :
Legendanya tarian itu mengiring temanten.
Memang peristiwa ritual kita pada masa lampau tidak terlepas dari existensi
tari. Sampai sekarang Reyog Kendhang ( = Reyog Tulungagung, S.Tm. ) juga sering
ditampilkan orang dalam kerangka pesta perkawinan atau khitanan.
Dalam perkembangan akhir – akhir ini
kemudian dipertunjukkan dalam pawai – pawai besar untuk memeriahkan hari – hari
besar nasional. Untuk kepentingan yang akhir inilah kemudian orang membuat
penampilan tari Reyog Kendhang identik dengan “ drum – band ”. Maka gerak –
gerik yang semula dirasa refined dan halus, cenderung dibuat lebih keras dan
cepat. Derap – derap genderang ditirukan dengan pukulan – pukulan dhogdhog.
Terompet bambu – kayu semacam sroten itu pun ditiup dengan lagu – lagu baru.
Akibatnya musik diatonis itu pun dipaksakan dalam nada – nada pelog pentatonis.
Dalam timbre yang tak mungkin berkualitas
sebuah drum – band modern, maka cara seperti itu menjadi berkesan dangkal. Pada
suatu kesempatan menonton pertunjukan Reyog Kendhang di Desa Gendhingan,
Kecamatan Kedhungwaru, Tulungagung, maka terasa benarlah bahwa proses
penampilan Reyog Kendhang yang pada umumnya dipopulerkan oleh para remaja itu
cenderung menuju pendangkalan.
Penampilan oleh para penari golongan tua
di desa tersebut terasa benar bobotnya. Geraknya yang serba tidak tergesa –
gesa lebih memperjelas pola tari yang sesungguhnya cukup refined. Kekayaan pola
lantainya terasa benar menyatu dengan lingkungan.
Memperbandingkan Reyog Kendhang di
Gendhingan ini dengan Reyog Kendhang para remaja pada umumnya menjadi semakin
jelas adanya keinginan untuk tampilnya garapan – garapan baru, tetapi tidak
dimulai dengan pendasaran yang kokoh. Ya, kadang – kadang orang terlalu cepat
mengidentikkan arti “ dinamika ” dengan gerak yang serba keras dan cepat.
Seperti halnya dengan rekannya Reyog
Dhadhakmerak di Ponorogo, maka sebagai tontonan rakyat, Reyog Tulungagung (
Reyog Kendhang ) pun tidak akan kehilangan peranannya sebagai penghibur atau
pemeriah suasana di mana saja warga desa mempunyai hajat. Perkawinan, khitanan,
kelahiran, tingkeban, bersih desa, musim panen, dan lain sebagainya. Mungkin
sekarang tidak selaris dulu, sebelum musik pop berirama dangdut merajai pasaran
dimana – mana Namun, pada hajat – hajat yang masih ada hubungannya dengan
kepercayaan yang bersifat sakral atau yang masih mempunyai sifat – sifat
tradisional, kesenian reyog masih diperlukan.
Dalam perarakan pengantin misalnya, maka
fungsi Reyog Kendhang tidak saja sebagai pengiring yang memeriahkan suasana atau
sekedar manghibur semata – mata, melainkan bahkan pun sebagai penjaga
keselamatan mempelai laki – laki yang diarak. Mungkin ini sisa – sisa
kepercayaan legendarik, bahwa reyog dulunya merupakan sepasukan prajurit
Kedhirilaya yang bertugas menjaga keselamatan sang pengantin “ Ratu Kilisuci ”.
Kepercayaan itu menjadi naluri yang masih terus dipelihara, walaupun tinggal
sepercik upacara simbolik belaka, atau hanya tiru – tiru. Tetapi yang jelas,
apakah itu upacara atau pun tiru – tiru, tiap – tiap hajat selalu mengharapkan
keselamatan, dalam hal ini terutama keselamatan perkawinan kedua mempelai
tentunya. Jadi Reyog berfungsi sebagai penolak bala, begitulah kira – kira.