Di Desa Sawo, Kecamatan Campurdarat,
Kabupaten Tulungangung, yakni di dukuh Buret terdapat bekas peninggalan sejarah
yang berupa telaga. Telaga tersebut dimanfaatkan oleh warga sejumlah 4 desa,
yauitu desa Sawo, desa Gedangan, desa Gamping, dan desa Ngentrong untuk
pengairan 4 desa tersebut. Telaga tersebut berupa sumur dengan garis tengah
kurang lebih 75 meter dan di sebut telaga Buret.
Penduduk dari 4 desa tersebut sangat kental mempercayai nilai-nilai magis
telaga tersebut. Menurut kepercayaan, yang menguasai (mbau reksa) di telaga
Buret adalah Mbah Jigan Jaya. Oleh karena itu, setiap tahunnya pada hari Jum’at
legi bulan Sela(penanggalan jawa) diadakan ritual Ulur-ulur di telaga Buret.
Ritual Ulur-ulur yang diadakan berupa upacara sesaji atau upacara pepetri. Oleh masyarakat setempat ritual Ulur-ulur telah
menjadi adat kebiasaan turun temurun dari nenek moyang mereka. Tujuan
diadakannya upacara Ulur-ulur tersebut untuk menghormati para leluhur, yang
mendapat kemurahan dari tuhan berupa sumber air, dalam istilah jawa ”CIKAL
BAKAL”. Menurut kepercayaan msyarakat setempat apabila tidak diadakan upaca
Ulur-ulur di telaga Buret maka masyarakat akan memperoleh kutukan.
Menurut kepercayaan warga setempat,
sejarah adanya upacara pepetri atau upacara sesaji di awali dari kejadian yang
menimpa penduduk, secara mendadak terkena musibah besar. Banyak warga yang
sakit, banyak penyakit yang mematikan. Orang-orang yang sakit tersebut kemudian
mendadak meninggal, istilah jawa mengatakan ”pagepluk meganturan”. Pada situasi
yang kritis tersebut para punggawa pemerintahan (orang-orang pemerintahan)
merasa sangat prihatin melihat kejadian itu. Dan mereka segera bersemedi
memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar wilayahnya terbebas dari kutukan itu.
Dalam semedinya mendapat petunjuk bahwa yang bisa memulihkan keadaan dan bahkan
mampu membuat keadaan wilayahnya menjadi lebih baik adalah dengan mengadakan
upacara pepetri atau upacara sesaji ruwatan dan tayuban di telaga Buret.
Ritual Ulur-ulur dimulai dengan
tayuban(sejenis nyanyia-nyanyian tradisional). Tayuban dimulai dengan membunyikan
gending onang-onang. Gending onang-onang tersebut dipercaya merupakan kegemaran
Mbah Jigang Jaya, yakni penghuni telaga Buret. Menurut kepercayaan masyarakat
pada saat gending onang-onang di bunyikan yang menari saat itu adalah ”roh”
dari Mbah Jigang Jaya, biasanya dibarengi dengan adanya angin bertiup kencang,
selanjutnya diteruskan dengan gending-gending lainnya. Selanjutanya adalah
memandikan arca Dewi Sri Sedono dan tabur bungan di telaga Buret.
Dalam upacara Ulur-ulur harus disediakan
beberapa sesaji, adapun sesaji tersebut adalah sebagai berikut:
Nasi kebule(sega gurih) sekul suci ulam sari, ambeng mule, buceng robyong, buceng kuat, jenang sengkala. Bermacam-macam duadah(jadah)waran, jadah putih, jadah merah, jadah kuning, jadah hitam, wajik, dodol ketan, ketan kinco, bermacam-macam kue sembilan warna.,yaitu: umbi-umbian. Masing-masing warga desa membawa kue yang berbeda warnanya.
Nasi kebule(sega gurih) sekul suci ulam sari, ambeng mule, buceng robyong, buceng kuat, jenang sengkala. Bermacam-macam duadah(jadah)waran, jadah putih, jadah merah, jadah kuning, jadah hitam, wajik, dodol ketan, ketan kinco, bermacam-macam kue sembilan warna.,yaitu: umbi-umbian. Masing-masing warga desa membawa kue yang berbeda warnanya.
Pisang raja, cokbakal, badek, candu,
kemenyan, minyak wangi, bunga telon, mori, topi janur, tikar, gantal, gula
gimbal,dan kelapa tanpa sabut. Semua dimasukkan kedalam bokor kecuali kendi,
tikar, dan topi janur. Semuanya kemudian di larung di telaga Buret.
Telaga Buret teletak di kawasan seluas 37
Ha (Dinas Lingkungan hidup), dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai tempat
yang keramat. Menurut kepercayaan masyarakat siapapun yang mengusik wilyah
tersebut, misalnya mengambil ikannya, menebang pohon di wilayah tersebut maka
akan memperoleh kutukan dari penunggu wilayah tersebut.