Museum Dearah
Kabupaten Tulungagung dibangun pada tahun 1996, berlokasi di Jalan Raya
Boyolangu KM 4, kompleks SPP/SPMA Tulungagung. Museum dengan luas lahan 4.845
m2 dan luas bangunan 8 x 15m. Museum ini difungsikan sebagai tempat menyimpan
koleksi yang semula disimpan di Pendopo Kabupaten yang selanjutnya direncanakan
pengembangan pembangunannya di komplek SPP/SPMA.
Museum
merupakan tempat penyimpanan benda-benda koleksi yang bernilai penting bagi
sejarah dan kebudayaan bangsa. Selai itu merupakan sebuah saran untuk
memberikan informasi sebanyaknya kepada masyarakat mengenai fungsi dan nilai
suatu benda dalam kehidupan manusia. Benda-benda koleksi Museum tidak hanya
antik, alngka dan etnis, juga merupakan rekaman perjalanan perdaban sebuah
bangsa sehingga dapat dijadikan sarana pendidikan bagi masyarakat.
Gagasan
didirikannya MuseumDaerah Tulungagung dimaksudkan sebagai wadah/tempat
penyelamatan warisan budaya, tempat study dan rekreasi bagi pelaja, mahasisw
maupun bagi masyarakat luas. Museum Daerah Tulungagung merupakan museum umum
yang koleksinya terdiri dari kumpulan bukti material manusia dan lingkungannya
yang berkaitan dengan berbagai cabang seni, disiplin ilmu dan teknologi. Dari
berbagai jenis benda warisan budaya yang disimpan sebagai koleksi Museum saat
ini dapat dikelompokkan sebagai koleksi arkeologi dan etnografi.
Koleksi
arkeologi yang ada di Museum Daerah Tulungagung berupa peninggalan benda
bergerak berupa arca yang sebagian besar terbuat dari abtu andesit dan sampai
sekarang jumlah koleksinya sebanyak 100 buah (observasi 2007). Koleksi
etnografi juga teknologi tradisional berupa peralatan pertanian dan perikanan
yang mempunyai nilai sejarah bagi keberadaan kota Tulungagung yang dulunya
dikenal dengan Kadipaten Ngrowo.
PENDAHULUAN.
Pada dasarnya candi berasal dari kata candika
grha, yang mempunyai arti Rumah Dewi Candika. Dewi Candika ialah merupakan
Dewi Maut, dewi yang dipuja-puja oleh orang yang beragama Hindu pada jaman
dahulu kala. (Jakob Sumardjo; 1986:9). Secara umum candi di Indonesia merupakan
kuburan para raja-raja. Biasanya abu jenasah raja tersebut ditaruh disebuah
batu perabuan yang dinamai peripih. Peripih merupakan sebuah batu
yang mempunyai sembilan lubang. Sedangkan lubang yang berada ditengah berisikan
abu jasad raja, serta lubang-lubang yang berada disekelilingnya berisikan
peralatan upacara keagamaan (Baca R.
Soekmono; 1990: 80-81). Biasanya peralatan-peralatan tersebut yang dipuja oleh
sang raja semasa hidupnya. Akan tetapi walaupun Agama Islam sudah masuk di
Indonesia serta mengakulturasi kebudayaan, kita sebagai pewaris sehendaknya
masih melestarikan budaya peninggalan nenek moyang.
Melihat pengertian tersebut memang Candi sebenarnya adalah bangunan untuk
memuliakan orang yang telah wafat, khususnya untuk para Raja dan orang-orang
terkemuka. Yang dikuburkan (dalam bahasa Kawi; ”Cinandi”) di situ bukanlah
mayat ataupun abu jenasah melainkan bermacam-macam benda, seperti
potongan-potongan berbagai jenis logam dan batu-batu akik, yang disertai dengan
saji-sajian. Sajian-sajian tersebut biasanya dinamakan ”Pripih”,dan dianggap
sebagai lambang zat-zat jasmaniah dari sang raja yang telah bersatu kembali
dengan dewa penitisnya.
Mayat seorang Raja yang meninggal dibakar dan abunya dibuang atau
dihanyutkan ke laut. Hal ini dilakukan dengan berbagai upacara dan
upacara-upacara serupa ini nantinya dilakukan lagi beberapa kali dengan antra
waktu yang tertentu. Maksudnya ialah menyempurnakan roh agar dapat bersatu
kembali dengan dewa yang dahulu menitis menjelma di dalam sang raja itu.
Upacara terakhir adalah upacara ”sraddha”. Pada kesempatan ini roh itu dilepaskan
sama sekali dari segala ikatan keduniawian yang mungkin masih ada dan lenyaplah
penghalang untuk dapatnya bersatu kembali roh itu dengan penitisnya. Sebagai
lambang jasmaniah dibuatkanlah sebuah boneka dari daun-daunan, yang disebut
”Puspasarira”. Sebagai penutup upacara ”sraddha” maka ”puspasarira ini
dihanyutkan ke lautan.
Setelah sang raja lepas dari alam kemanusiaan dan menjadi dewa,
didirikanlah sebuah bangunan untuk menyimpan ”pripih”, tersebut di atas. Pripih
ini ditaruh dalam sebuah peti batu dan peti ini diletakkan dalam dasar
bangunannya. Disamping dibuatkanlah sebuah patung atau arca yang mewujudkan
sang raja sebagai dewa dan patung atau arca ini menjadi sasaran pemujaan bagi
mereka-mereka yang hendak memuja sang raja.
Candi sebagai semacam pemakaman hanya terdapat dalam Agama Hindu.
Candi-candi Agama Budha dimaksudkan sebagai tempat pemujaan dewa belaka. Di
dalamnya tidak terdapatka peti ”peripih” dan arcanya tidak mewujudkan seorang
raja. Abu jenasah, juga dari para bhiksu yang terkemuka, ditanam dis ekitar
candi dalam bangunan ”stupa”.
Dengan demikian arca perwujudan yang melukiskan sang raja sebagi dewa dan
yang menjadi arca utama di dalam candi, umumnya adalah arca Siwa. Kerap kali
arca perwujudan ini berupa lambang siwa saja, yaitu ayng berupa ”Lingga”. Ada
juga kalanya arca perwujudan ini berupa Dewa Agama Budha, tetapi dalam hal ini
agamanya bukanlah Agama Budha yang sesungguhnya melainkan ”Tantrayana”.
1. CANDI MIRIGAMBAR ATAU CANDI ANGLING DHARMA.
Situs bangunan
Candi Mirigambar atau SAngling Dharma
mempunyai Panjang 8,5 m, Lebar 7,7 m dan Tinggi 2,35 m. Candi ini terletak di
Dusun Mirigambar, Desa Mirigambar, Kecamatan Sumbergempol. Bahan Bangunan Candi
terbuat batu bata dan batu andesit, yang dibangun di atas areal tangah dengan
Panjang 28,5 m dan Lebar 19 m. Candi Mirigambar berpintu masuk di sisi barat
dengan tinggi dari kaki hingga atas (yang telah rusak) adalah 110 m dan lebar
tangga besar masuk 140 m.
Candi-candi di
Jawa Timu, khususnya Candi Mirigambar lebih banyak berfungsi untuk pemakaman
sedangkan candi di Jawa Tengah untuk tempat peribadatan. Pada sebagian batu
Candi Mirigambar terdapat tulisan singkat berupa angka tahun 1214 Saka dan 1310
Saka. Berdasarkan data ini dapat dipastikan bahwa masa pembangunan dan penggunaannya
berlangsung pada akhir abad XIII hingga abad ke XIV. Melihat angka tahun
tersebut diperkirakan Candi Mirigambar merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit
yang keberadaanya sekarang memerlukan uluran tangan yang ahli dalam berbagai
disiplin ilmu untuk melestarikannya.
Pada tahun 1915
pernah diteliti bahwa Candi Mirigambar kondisi sangat rusak dan memprihatinkan
hingga saat ini. Keadaan sebagian candi sudah runtuh, terutama bagian atap.
Pintu masuk candi bagian barat dan dilengkapi dengan pipi tangga. Pada semua
sisi kaki candi dilengkapi dengan relief-relief. Namun relief yang ada di sisi
timur telah aus dimakan usia. Sampai saat ini relief tersebut belum diketahui
alur ceritanya hanya umumnya menggambarkan tokoh manusia dan binatang. Di sini
perlu penanganan yang sangat serius untuk menjaga dan melestarikannya, yang
nanti dpat digunakan sebagai aset wisata budaya.
2. SITUS
CANDI PENAMPE'AN ATAU CANDI ASMARA BANGUN.
Candi ini
berada di tempat dataran tinggi, sebelah utara kota kabupaten Tulungagung,
tepatnya berada di Desa Geger, Kecamatan Sendang. Candi ini juga terletak di
sebelah selatan Gunung Wilis dengan ketinggian 974 m di atas permukaan laut.
Komplek candi tepat dikelilingi tumbuhan perkebunan teh (milik KOdam V
Brawijaya/ Ini observasi KS2B tahun 2006).
Candi ini
merupakan sebuah candi berundak teras yang membujur barat ke timur, yang
terdiri dari 3 teras dengan ketinggian 9,74 m, yaitu :
TERAS I. Teras bawah sendiri adalah tempat
berdirinya Prasasti Tinulad (tulisan/bahasanya Jawa Kuno) yang diperkirakan 820
saka atau 898 M. Menurut para ahli bahwa prasasti Tinulad merupakan suatu
copyan prasasti yang pembuatannya lebih ditekankan pada unsur legitimasi
penguasa raja. Prasasti ini menyebutkan seorang Raja Putri bernama Mahesa
Lalatan.
Di bawah
Prasasti Tinulad, terdapat bangunan semacam altar yang disusun dari batuan
andesit berdenah lonjong, ukuran altar (Panjang 5 m, Lebar 2,5 m dan Tinggi 1,5
m). Di depan Prasasti Tinulad terdapat arca Bima (yang sekarang sudah tidak ada
kepalanya) dan terdapat dua (2) arca Dwarapala, ayitu tokoh dua (2) arca tokoh
wanita dan sebuah bola batu (sudah tidak ada di tempat lokasi).
Selain itu ada
Prasasti yang dipahat di atas tujuh (7) lempengan tembaga inbi dikenal dengan
Prasasti Sarwadharma, yang berangka tahun 1191 saka dan dikeluarkan tepatnya
pada tanggal 31 Oktober 1269 M dan dapat diketahui pula bahwa kekunoan Candi
Penampe'an, berhubungan dengan Tokoh Kertanegara (tokoh yang mengubah upacara
keagamaan serta segala upacara agama yang mati dihidupkan kembali).
Teras II. Di teras ini hanya terdapat
"makara Bermahkota", teras ini tempat untuk menunggu, kemudian
melalui sebuah tangga masuk di tengah teras ke atas ketiga.
Teras III. Teras yang
paling atas terdapat sebuah tangga masuk di tengah yang menghubungkan teras ketiga
dan kedua. Pada teras ketiga terdapat 3 buah bangunan yang berada di tengah
tepat di depan tangga masuk candi berupa candi induk yang berbentuk kura-kura
dengan ukuran pan jang 9,70 m, lebar 4,90 m dan tinggi 1,10 m. Bangunan
tersebut berbhan batu andesit dan batu bata sebagai tulisannya.
Di bagian atas
bangunan candi terdapat kura-kura raksasa yang pernah juga ditemukan sebuah
prasasti berangka tahun 1382 saka dan sebuah arca tokoh wanita dengan anka
tahun 1116 saka. Selain itu juga diatasnya candi induk terdapat sepasang arca
naga bermahkota, kepala garuda, sepasang kera, didepannya candi induk terdapat
arca Dwarapala. Di sebelah candi induk tepatnya di sebelah selatannya terdapat
sebuah relief hewan, seperti katak, celeng, macan dan lain-lain. Intinya semua
hewan yang ada pada hutan tersebut dan relief yang menggambarkan tiga (3) gajah
untuk membajak, tetapi sekarang relief tersebut sudah dipindahkan ke museum
trowulan-Mojokerto. Mayoritas arca-arca yang ada di situs Candi Penampe'an
sudah hilang dan lainnya telah diselamatkan atau ditaruh di Museum Trowulan
Mojokerto.
Candi ini
dibangun diperkirakan pada masa Kerajaan Kadiri abad ke 10 M. Namun
kesejarahannsitus tersebut dapat dikenali melalui penemuan prasasti. Dari
komplek percandian ini dijumpai dua (2) jenis prasasti, yakni prasasti yang
dipahatkan pada batuan andesit dan lempengan tembaga. Prasasti berbahan batuan
andesit tersebut dikeluarkan oleh Rakai Watukura tahun 820 saka, tokoh yang
naik tahta Kerajaan Mataram Kuno karena itu, diyakni memang meluaskan kekuasaan
ke Jawa Timur. Berkenaan dengan keberadaan prasasti tersebut, ada pendapat para
ahli yang mangatakan bahwa prasasti tersebut adalah sebuah prasasti Tinulad,
copyan prasasti yang pembuatannya lebih ditekankan pada unsur legitimasi seorang
Raja atau penguasa. Mereka yang menerima versi ini berkeyakinan bahwa situs
candinya tidaklah setua itu (abad X).
Prasasti dari
Tembaga, diketahui bahwa kompleks kekunaan Candi Penampe'an berhubungan dengan
tokoh Kertanagara yang disebut sebagai Narasimhamuti. Diceritakan pula bahwa
Kertanagara mengubah upacara keagamaan serta segala upacara agama yang mulai
dihidupkan kembali. Hal ini dikaitkan dengan acara Tantrayana yang dianut
Kertanagara.
Prasasti
Penampe'an yang dipahatkan di atas tujuh lempengan temabga yang dikenal pula
sebagai Prasasti Sarwadharmma itu berangka tahun 1191 saka dan dikeluarkan
tepatnya pada tanggal 31 Oktober 1269. Di dalammnya disebutkan pula pembagian
kasta dalam kelompok-kelompok masyarakat (Kasta).
Fungsi Candi
tentu dihubungkan dengan masalah Pemujaan yang bersifat Hindu, bila dihubungkan
dengan penggambaran kura-kura yang melandasi bangunan utamanya, seperti yang
diketahui mitologi Hindu, kura-kura adalah salah satu "awatara"
Penjelmaan Wisnu. Begitu pula bila dikaitkan dengan prasasti terbuat dari
batuan andesit yang berukuran besar yang terdapat dipercandian ini atau dapat
pula dikatakan bersifat Tantris (Buddha-Tantrayana) bila dihubungkan dengan isi
prasasti lain yang terdapat di sana yang berupa tujuh lempengan tembaga.
3. SITUS
CANDI DADI.
Situs Bangunan
Candi Dadi mempunyai Panjang 11 m, Lebar 14 m, Tinggi 6,5 m. Terdapat juga
sumur dengan kedalaman 3,5 m dan diameter 3,5 m. Lokasi Candi dadi berada di
atas bukit pegunungan Wajak bagian selatan dan Candi ini berbahan batu andesit,
tanpa tangga (undak-undak) di atas batu tersebut terdiri kaki candi dengan
denah segi delapan. Bangunan Candi Dadi diperkirakan dibangun pada masa
Kerajaan Majapahit abad ke 13-14M. Secara data historis Candi Dadi ini belum
ada sumber data tertulis yang akurat, maka
ini perlu penelusuran secara mendetail baik data arkeologis data sumber
sejarah.
Bangunan candi
ini terdapat sumur, diduga sumur ini dipakai sebagai tempat pengabuan
pembakaran tokoh penguasa. Keletakkan pada puncak sebuah bukit ini dihubungkan
dengan anggapan masyarakat kuno bahwa puncak gunung merupakan tanah suci.
Sebagai sebuah tradisi yang berlangsung sejak jaman prasejarah yang dipercaya
bahwa arwah para leluhur berada di sana. Masyarakat penganut budaya Hindu juga
memanfaatkan puncak gunung untuk meletakkan bangunan sucinya. Hal ini berkaitan
dengan mitos keagamaan dalam Hindu menganggap bahwa tempat bersemayamnya para
dewa (Sang Hyang Widhi Wasa) Tuhan Yang Maha Esa adalah tempat yang tinggi.
Sedang sifat
keagamaan yang melatarbelakangi pendiriannya belum diketahui (tidak
ditemukannya data/sumber yang menunjang). Di sekitar Candi Dadi terdapat juga
Candi Butho, Candi Gemali (kedua candi berbentuk batu andesit yang berbentuk
seperti tempat berwudlu yang menyerupai kepala naga yang memakai mahkota
berukuran kecil. Ke-2 candi ini hingga sekarang belum ada/tidak ada entah
kemana keberadaannya).Selain ke-2 Candi tersebut terdapat juga Candi Urug
(tidak ada/keberadaannya tidak ketahui).
Situs Bangunan
Candi yang berada di atas bukit pegunungan yang indah dan jika dikelola dengan
baik serta sarana prasarana yang mendukung diharapkan dapat digunakan sebagai
aset wisata sangat bagus bagi Kabupaten Tulungagung.
4. SITUS CANDI SANGGRAHAN (CANDI CUNGKUP).
Bangunan Situs
Candi Sanggarahan atau Candi Cungkup, Panjang 12,60 m, Lebar 9,05 m dan Tinggi
5,86 m. Lokasi Candi Sanggrahan dengan ukuran luas 54m x 50 m, berada di Dusun
Sanggrahan Desa Sanggrahan Kecamatan Boyolangu. Candi ini berada pada teras
atau undakan berukuran 51 m x 42,5 m, sedang pagar penahan undakan adalah batu
setinggi 2 sampai 2,5m.
Candi
Sanggrahan ini terbagi menjadi berapa bagian yaitu kaki, tubuh dan atap. Fungsi
utama Candi Sanggrahan sebagai tempat pemujaan, hal ini didukung oleh
keterangan lain yang menyebutkan bahwa Candi Sanggrahan sebagai suatu atau
sebuah tempat persinggahan sebelum diadakan upacara sekar atai nyekar di candi
Gayatri atau Candi Boyolangu.
Candi
Sanggrahan diduga sebagai tempat yang digunakan untuk beristirahatnya rombongan
pembawa jenasah seorang Ratu Majapahit bernama Tribhuana Tunggadewi
Djajawisnuwardhana atau Gayatri yang bergelar Rajapatni yang memerintah abad ke
13 M. Gayatri wafat 1330 M yang diduga abu jenasahnya disimpan di Candi
Boyolangu atau Candi Gayatri.
Bangunan Candi Sanggrahan terbuat dari batu
andesit (batu kali), diperkirakan berdiri pada masa Kerajaan Majapahit abad 13.
Bangunan Candi terdiri atas 4 tingkat yang masing-masing berdenah bujursangkar
dengan arah hadap ke barat. Di tempat ini dulu terdapat 5 buah arca, demi
keamanan dari pencurian sekarang arca tersebut disimpan di Museum Tulungagung.
Candi Sanggrahan ini tidak dapat direkonstruksi lagi karena kerusakannya yang
sangat parah khususnya bagian atap, untuk itu perlu perhatian dan pelestarian
bagi pemerintah daerah dan masyarakat pada umumnya. Untuk pengembangan dan
pemberdayaan candi ini dapat digunakan sebagai aset wisata budaya, maka perlu
ada seperti gelanggang festival, pasar seni, kafe tradisional dan gedung arsip
dan dokumen yang kesemuanya itu dibangun dalam lingkungan candi.
5. SITUS CANDI BOYOLANGU (CANDI GAYATRI).
Bangunan Sutus
Candi Boyolangu atau Candi Gayatri, Panjang 11,40 M, Lebar 11,40M, Panjang 2,30
M. Bangunan candi ini terdapat sebuah arca Wanita Budha dan berapa umpoak batu
besar, 2 umpak yang berangka 1231 Saka (1369 M) dan 1322 Saka (1389 M). Arca
wanita Budha ini terbuat dari batu andesit (batu Kali) yang berukuran tinggi
120 cm, lebar 112 cm dan tebal 100 cm. Tiinggi Lapik arca 70 cm, lebar 168 cm
dan tebal 140 cm. Selain itu candi Gayatri yang berdenah segi empat dengan
tangga masuk di bagian barat, tersisa hanya baturannya berukuran 11,40 m x
11,40 m dan ukuran penampik (tangga masuknya) 2,68 m x 2,68 m.
Situs Candi
Boyolangu atau Candi Gayatri berada di tengah pemukiman penduduk, di Dusun
Dadapan, Desa Boyolangu, Kecamatan Boyolang. Candi ini ditemukan pada tahun
1914 dalam timbunan tanah oleh orang Belanda (tidak disebutkan namanya siapa
?). Bangunan Situs Candi Boyolangu atau Candi Gayatri dibangun masa Kerajaan
Majapahit pada Pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1359-1389).
Situs Candi
Boyolangu (Candi Gayatri) merupakan tempat pemuliaan dan penyimpanan abu
jenasah Gayatri atau Tribhuana Tunggadewi Djajawisnuwardhana dengan gelar
Rajapatni. Gayatri ini wafat pada tahun 1330 M. Dalam pemuliaan tersebut Gayatri
diwujudkan sebagai "Dhyani Budha Wairacana", dengan sikap tangan
"Dharma Cakra Muda" (sedang mengajar atau berbicara). Melihat
bangunan candi tersebut diperkirakan sebagai tempat pemujaan, mengingat pada
bangunan itu terdapat arca Siwamahadewa,
Arca Dewi Durga, Arca Nandi, Arca Dwarapala (Arca ini telah dipindah ke
MUSEUM Tulungagung).
Situs Bangunan
Candi Boyolangu atau Candi Gayatri terbuat dari batu bata yang tidak dapat
direkonstruksi lagi karena kerusakannya yang sangat parah untuk itu perlu perhatian
dan pelestarian bagi pemerintah daerah dan masyarakat pada umumnya. Untuk
pengembangan dan pemberdayaan candi ini dapat digunakan sebagai aset wisata
budaya, maka perlu seperti gelanggang festival, pasar seni, kafe tradisional
dan gedung arsip dan dokumen yang kesemuanya itu dibangun dalam lingkungan
candi.
6. GUA SELOMANGLENG.
Situs Gua
Selomangleng berada di Sanggrahan Kidul, Desa Sanggrahan, Kecamatan Boyolangu.
Kompelk Gua ini menempati areal kehutanan lingkungan BKPH Kalidawir, merupakan
lereng jurang Sanggrahan yang cukup terjal. Pada bagian atas mulut Gua terdapat
ukiran Kepala Kalla yang berukuran besar, memenuhi hampir seluruh sisa bagian
atas batu.
Gua pertama
berada di bagian tanah yangrelatif datar, merupakan hasil pengerukan terhadap
sebuah bongkah batu besar (monolit) dengan bentuk mulut persegi empat sebanyak
dua buah. Gua pertama dihiasi dedngan relief, sedangkan Gua kedua tidak
memiliki relief. Lahan yang ditempati bongkahan batu bergua tersebut mel;iptui
areal seluas 29,5 m x 26 m. Ukuran bagian dalam gua pertama adalah panjang 360
cm dan lebar 175 cm dan dalam ceruk 380 cm.
Mulut gua itu
menghadap ke arah barat. Relief dipahatkan pada panel di dinding sisi timur dan
utara. Hiasan itu menggambarkan bagian dari cerita Arjuna Wiwaha, yakni ketika
Indra memerintahkan bidadarinya untuk menggoda Arjuna di gunung Indrakila.
Digambarkan pula adegan ketika bidadari menuruni awan dari khayangan ke bumi.
Gua kedua
terletak di bagian selatan Gua pertama, pada bongkahan batu ayng sama, tetapi
pada posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan Gua pertama. Gua selatan ini
menghadap ke selatan dan tidak memiliki hiasan apapun didalamnya. Ukurannya
adalah panjang 360 cm dan lebar 200 cm. Beberapa meter di sebelah timur Gua
tersebut, pada tempat yang lebih tinggi dijumpai bongkahan batu lain. Pada
bongkahan batu itu dipahatkan kaki dan batur Candi berdenah perwsegi empat
dengan ukuran panjang 490 cm dan lebar 475 cm. Candi berarah hadap ke barat
dengan tinggi (dari kaki hingga batur) 110 cm dan lebar tangga masuk disebalah
barat adalah 140 cm. Dinding batur ini dihiasi palang Yunani berbingkai bujur
sangkar.
Secara khusus
tidak dijumpai keterangan yang dapat dipakai untuk mengenal lebih dalam lagi
latar belakang sejarah situs tersebut. Menghubungkan kesamaan relief yang
terdapat di gua selomangleng dengan yang dijumpai dipertirtaan jalatunda, A.J.
Berbet Kempres menduga bahwa situs tersebut dibuat dan digunakan pada akhir
abad X. Sebaliknya, berdasarkan cara pemahatan dan penataan rambut
tokoh-tokohnya. Pendapat Satyawati Suleiman berpendapat bahwa Gua terbut
berasal dari amsa awal Majapahit (Kempres; 1959dan Suleiman; 1981)
PENDAHULUAN.
Masuk dan
berkembangnya Agama Islam di Nusantara menandai berakhirnya dominasi Agama
Hindu-Budha di Nusanatar, seperti halanya Agama Hindu, Budha dan Islam juga
bukan merupakan agama asli bangsa Indonesia. Proses masuknya Agama Islam ke
Indonesia melalui berbagai cara, diantaranya lewat perdagangan, perkawinan,
pendidikan/surau /pesantren, dan lewat dakwa maupun lewat seni budaya.
Ramainya
perdagangan antar bangsa di Indonesia mengakibatkan terjadi akulturasi budaya,
yaitu proses percampuran dua budaya yang berbeda, menghasilkan kebudayaan baru
tanpa meninggalkan budaya aslinya. Akulturasi budaya Atap Tumpang Masjid dengan
Atap Tumpang Meru. "Meru" Dalam bahasa sansekerta artinya Gunung,
persepsi budaya Hindu gunung adalah "pelinggih" Sang Hyang Widhi Wasa
(Tuhan Yang Masa Esa). Demikian juga dalam budaya Hindu, bahwa tempat yang
tinggi merupakan tempat yang dapat mendekatkan kepada Sang Pencipta. Wujud
akulturasi budaya Atap Tumpang Meru dengan Atap Tumpang Masjid yang terjadi di
Masjid daerah Tulungagung, diantaranya masjid :
1. MASJID MAJAN.
Lokasi berada
di Desa Majan, Kecamatan Kedungwaru. Di desa Majan ini pernah ada seorang ulama
bernama KH. Khasan Mimbar yang pernah mendapat tugas mengurus soal-soal Islam
di Kabupaten Ngrowao. Tugas tersebut dari Adipati Ngrowo I, Kyai Ngabei
Mangoendirono, atas nama Keraton Surakarta dalam bentuk surat dengan tulisan
huruf arab tertanggal 16 Rabiul Akhir 1652 (1727 M).
KH. Khasan
Mimbar dalam mengembangkan agama islam di Kabupaten Ngrowo dengan mendirikan
masjid Majan dengan ukuran lebar 20 m dan panjang 22 m. Sebelah kiri masjid ada
sebuah pendopo masjid di atas tanah seluas 10.000m2. Namun dlam perkembangan
saat ini masjid ini sudah direnovasi dengan ukuran menjadi lebar 35 m dan
panjang 22m, akrena mengingat waktunya yang sudah bertahun-tahun sehingga
kondisi bangunan hampir rusak sehingga kondisi bangunan perlu diperbaiki agar orang
yang menjalankan ibadah lebih tenang dan khusuk.
Peninggalan
Masjid Majan yang amsih ada dan asli antara lain; Pusaka Kyai Golok, Mimbar,
Bedug dan kentongan. Takmir Masjid Majan sekarang dipimpin olh Haji Samsuri dan
penanggungjawab KH. Moch Yasin. (observasi 2007). Kegiatan tradisi yang masih
dipertahankan, diantaranya; Pusaka Kyai Golok setiap tanggal 12 Maulid diadakan
ritual dengan membaca Shalawatan dan Pusaka dilepas dari Waronkonya diangkat ke
atas. Kemudian juga setiap mengadakan Qaulnya KH. Moch Khasan Mimbar diadakan
sema'an Al-Qur'an, Istiqosah, Tahlil yang diikuti oleh beberapa jamaah dari
berbgai tempat.
2. MASJID WINONG.
Lokasi Masjid
Winong berada di Desa Winong, Kecamatan Kedungwaru dengan ukuran bangunan
panjang 9 m dan lebar 9 m ditmabah dengan pendopo dengan ukuran panjang 18 m
dan lebar 9 m dengan biaya swadaya masyarakat. Pendiri Masjid Winong adalah KH.
Ilyas dengan peninggalan-peninggalan yang masih ada dan asli antara lain;
Mimbar, bedug. (observasi 2007).
KH. Ilyas
meninggal dan dimakamkan di Desa Jeruk Wangi Pare, Kabupaten Kediri. Di
belakang Masjid Winong ada sebuah makam kuno yaitu Mbah Langkir. Beliau
pengikut Pangeran Diponegoro dan ikut melakukan pemberontkan melawan Belanda
1826 M. Setelah perang Diponegoro berkahir (1825-1830) dan Pangeran Diponegoro
ditangkap dan diasingkan, para pengikutnya banyak yang melarikan diri diri ke
desa-desa menghindari kejaran Belanda. Salah satu pengikut itu adalah Mbah
Langkir yang melarikan diri ke Kadipaten Ngrowo yang menyamar sebagai rakyat
biasa dan mengajar ngaji di daerh Ngrowo. Mbah Langkir yang sekarang makamnya
di Desa Winong Kecamatan Kedungwaru dipercaya masyarakat Tulungagung sebagai
penyiar agama islam sejak tahun 1825 hingga 1835 M. Pada tahun tersebut
Kadipaten Ngrowo dijabat oleh Raden Mas Tumenggung Djayaningrat Adipati ke-5
yang memerintah pada tahun 1831-1855 dengan pusat pemerintahan di kalangbut.
3. MASJID TAWANGSARI.
Lokasi Masjid
ini berada di Desa Tawangsari, Kecamatan Kedungwaru. Masjid ini diduga ada
sejak desa Tawangsari itu berdiri skitar abad ke 16-17 M. Melihat tanah
Tawangsari merupakan tanah perdikan sejak awal diperuntyukkan pesantren dan
penyebaran agam, maka secara langsung didirikan pula Masjid Tawangsari
Salah satu
acara masjid yang hingga sekarang masih dilestarikan oleh keturunan Abu Mansur
adalah tadarusan 2 juz, baik yang dilakukan pada jum'at pagi maupun pada saat
bulan Ramadhan. Disamping tadarusan ada juga tradisi Shalawatan yang menurut
keterangan salah seorang anggota biasa diistilah dengan Shalawat Salalahu.
Bahkan hingga masa Abu Mansur VI Tahlil Rawatib, yakni Tahlil sebagaimana yang
ada sejak jaman Kyai Tegal Sari juga masih sempat diselenggarakan. (observasi
2007). Selain tradisi tersebut keberadaan Masjid Tawangsari juga dijadikan
tempat menyelenggarakan berbagai bentuk kesenian, deianataranya Gambusan,
Terbangan, Jedor, Gendidngan, Orkes (keroncongan maupun yang modern). Umumnya
segala kesenian ini dimunculkan pada bulan maulid, sehingga pada bulan Maulid
biasanya Tawangsari ramai dengan berbagai perayaan.
Tawangsari
merupakan dulunya daerah perdikan mutihan dari Keraton Surakarta kepada Abu
Mansyur yang telah berjasa kepada Keraton Surakarta dalam melawan Belanda tahun
1750 M. Setelah perjanjian Gianti 1755, yang isinya diantaranya Mangkubhumi
diangkat sebagai Raja di Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengkubhuwono I. Hal
ini tidak terlepas dari perjuangan dan bantuan Kyai Basyariyah (Moh. Besari)
dan murid-muridnya dari Ponorogo Kyai Abu Mansur salah seorang murid Kyai
Basyariyah, mendapat tugas dari Mangkubhumi untuk menghidupkan jiwa perjuangan
melawan Belanda dengan cara mendidik masyarakat Tawangsari. Abu Mansur
mendirikan Pondok Pesantren untuk melatih beladiri dan belajar agama islam.
Setelah Abu Mansur meninggal, tawangsari dibagi 3 bagian, masing-masing Desa
Tawangsari dipimpin oleh Kyai Abu Yusuf (Abu mansur II), Desa Winong dipimpin
oleh Kyai Ilyas dan Desa Madjan dipimpin oleh Kyai Khasan Mimbar.