Jum’at,
30 November 2012. Hari ini ada upacara Jamasan Kiai Upas di pendapa Kanjengan, Kepatihan, Tulungagung, kami berencana untuk menghadiri
prosesi upacara tersebut. Namun, ada sedikit halangan yang menyebabkan kedatangan
kami terlambat, bahkan dapat dianggap sebagai sangat terlambat, karena kami
tiba disaat upacara selesai, sungguh suatu kejadian yang amat disesalkan.
Dari
madrasah, kami berangkat sekitar pukul 09.45 WIB, tepatnya ketika jam
istirahat, dan kami tiba di lokasi upacara sekitar pukul 10.15 WIB. Ketika sampai
kami sudah disambut oleh acara terakhir yaitu salam penutup, sehingga kesana
yang kami dapatkan adalah kekecewaan karena kedatangan kami yang terlambat.
Namun kami sempat mewawancarai salah satu tamu undangan yang biasa dipanggil
Pak Agung, beliau menuturkan tentang sejarah keberadaan tombak Kiai Upas versi keluarga
RM. PringgoKusumo, bupati Ngrowo yang ke-10.
Diawali
dari keberadaan Ki Wonoboyo, beliau pernah meminjamkan sebuah pusaka kepada seorang
perempuan dengan syarat tidak boleh meletakkan pusaka tersebut di pangkuan. Tetapi,
larangan tersebut dilanggar karena lupa, setelah itu pusaka tersebut menghilang,
dan hamillah perempuan tadi. Ketika melahirkan, ternyata yang keluar adalah seekor
ular, yang kemudian diberinama Baru Klinthing, istimewanya ular tersebut dapat berbicara
layaknya manusia.
Setelah
dewasa, sang Baru Klinthing ingin mengetahui siapakah ayahnya, kemudian ibunya memberitahukan
bahwa Ki Wonoboyo adalah ayahnya. Lalu Baru Klinthing pergi mencari Ki Wonoboyo
dengan tujuan untuk mendapatkan pengakuan sebagai anak, pencariannya menuai hasil
dengan menemukan Ki Wonoboyo sedang bertapa di puncak gunung Merapi. Ki
Woboboyo akan mengakui Baru Klinthing sebagai anaknya jika sang ular mampu melingkari
puncak Merapi dengan tubuhnya. Baru Klinthing menyanggupi, namun ketika hampir berhasil,
dia menjulurkan lidahnya untuk menutupi kekurangannya ketika melingkari
puncak Merapi. Hal tersebut
diketahui Ki Wonoboyo yang kemudian memotong lidah Baru Klinthing yang berubah menjadi mata tombak.
Setelah itu Baru Klinthing melarikan diri ke laut selatan, tetapi terus dikejar
oleh Ki Wonoboyo, sesampainya di tepi laut Baru Klinthing menceburkan diri ke
laut, yang kemudian berubah menjadi kayu, selanjutnya oleh Ki Wonoboyo
digunakan untuk gagang tombak. Akhirnya tombak tersebut dinamakan dengan tombak
Kiai Upas.
Sepeninggal Ki Wonoboyo, tombak Kiai
Upas diwariskan kepada putranya yang bernama Ki Ajar Mangir. Menerima warisan
berupa tombak Kiai Upas tersebut menyebabkab Ki Ajar Mangir menjadi sakti dan
berniat mbalela atau memberontak kepada pemerintahan Mataram.
Mempertimbangkan kesaktian Ki Ajar Mangir, Matarampun mengirim satu grup
karawitan ke Ki Ajar Mangir, dan ternyata Ki Ajar Mangir tertarik kepada
seorang sindhen yang ternyata adalah putri raja Mataram dan melamarnya. Sang
putri kemudian memintanya untuk sowan kepada raja Mataram yang kini
menjadi mertuanya, walaupun sebenarnya adalah musuhnya sendiri. Sehingga
berangkatlah Ki Ajar Mangir menuju keraton Mataram untuk sungkem kepada
mertuanya, namun ia meninggalkan tombak Kiai Upasnya di luar pintu gerbang.
Dari peristiwa ini dapat dikaitkan pada peritstiwa temanten, ketika mempelai
laki-laki akan sungkem kepada orang tuanya, terlebih dahulu melepaskan
keris yang menjadi simbolisasi sebuah pusaka.
Kembali pada cerita, saat Ki Ajar
Mangir sungkem, pada saat itulah sang raja Mataram membenturkan kepala
Ki Ajar Mangir ke tempat duduk yang terbuat dari batu pualam hingga meninggal,
bekas benturan tersebut masih dapat ditemukan di Kota Gede dan dikenal sebagai
“Watu Gateng”. Kemudian jasad Ki Ajar Mangir dimakamkan di perbatasan antara
benteng kerajaan, sehingga sebagian tubuh Ki Ajar Mangri berada di luar benteng
dan sebagian lagi ada di dalam benteng, hal tersebut menunjukkan bahwa Ki Ajar
Mangir, walaupun merupakan musuh kerajaan juga dianggap sebagai menantu sang
raja. Kemudian tombak Kiai Upas diserahkan kepada Bupati Ngrowo yang pada saat
itu dijabat oleh RM. Pringgo Kusumo yang kemudian terus dijaga secara turun
temurun.
Ada satu hal yang unik pada prosesi
penyiraman tombak Kiai Upas ini. Yaitu dengan adanya air yang digunakan untuk prosesi
penyiraman yang berupa air dari tujuh sumber mata air. Kemudian ketika prosesi
penyiraman, hanya pengunjung laki-laki saja yang boleh melihtanya, dikarenakan
tombak Kiai Upas ini dianggap berjenis kelamin laki-laki.