Selasa, 15 Januari 2013

SELAYANG PANDANG SEJARAH DESA ARYOJEDING, KECAMATAN REJOTANGAN

Keberadaan daerah tentunya memiliki identitas lokal yang menjadikan ciri khas dari daerah tersebut. Sifat kedaerahan terwujud dari keberadaan kearifan lokal yang terdapat pada daerah itu, selain itu identitas yang lain bisa juga terbentuk dari rangkaian cerita-cerita lokal, yang bersifat sejarah. Rekaman jejak-jejak sejarah terbentuk dari berupa rangkaian cerita yang bisa dibuktikan dengan keberadaan bukti sejarah, seperti makam, pohon keramat, masjid, maupun prasasti tulis. Menjunjung tinggi kearifan lokal membentuk kesatuan sistematis kedaerahan yang mampu memberikan kontribusi kepada masyarakatnya. Pengembangan dan pemberdayaan sifat lokal yang positif, akan memberikan kontribusi didikan secara tidak langsung.

Pemikir-pemikir purba telah menarik perhatian mengenai sifat yang khas manusia, yaitu berpikir. Di dalam perkembangannya berpikir sebagai cabang dari falsafah, yaitu logika, memberikan perhatian kepada proses menarik kesimpulan (inferensi). Di dalam proses ini inferensi yang sifatnya deduktif dalam mencari kebenaran (truth) dari berbagai premis. Menarik kesimpulan seperti ini sifatnya tentunya dapat dipercaya (credible), tetapi belum memberikan kepastian. Mengambil kesimpulan berkaitan dengan perkiraan nilai-nilai dari opsi mengenai kemungkinan yang diperoleh yang akan memberikan hasil tertentu. Memecahkan masalah (problem solving) berarti konstruksi dari tindakan yang akan diambil untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Proses yang digambarkan di atas merupakan proses berpikir (Tilaar, 2012:47).


Kearifan lokal berngkat dari suatu pemikiran yang dapat menunjukkan sebuah hasil, maksudnya dengan keberadaan sebuah pemikiran tentunya akan menghasilkan pemikiran-pemikiran yang normatif dan fleksibel untuk masyarakat. Kearifan lokal dapat menjadikan trobosan-trobosan berbagai sisi kehidupan masyarakat. Tinjauan dari kearifan lokal bisa dari sisi kebudayaan, kesenian, kesejarahan, dan kesosialan. Masyarakat yang majemuk seharusnya mampu mewujudkan identitas kedaerahannya dengan baik tanpa ada korban kemnafikkan. Sehingga dengan kemajemukkannya tersebut akan terwjud kearifan lokal yang dinamis, harmonis, dan romantis. Sifat ciri khas kedaerahan akan muncul, serta secara tidak langsung akan menjadi ikon kedaerahan.

GEOGRAFIS DAN DEMOGRAFIS DESA ARYOJEDING
Suatu daerah akan bisa terkenali dengan keberadaan suasana alamnya, maupun geografisnya. Keberadaan daerah Desa Aryojeding memang berada diperbatasan dengan Kabupaten Blitar, tepatnya di sebelah barat Kabupaten Blitar. Di dalam kesejarahan, keberadaan daerah Aryojeding memang dimiliki oleh Kabupaten Blitar. Namun kemudian waktu keberadaan Desa Aryojeding mengikuti administrasi Kabupaten Tulungagung. Bahkan kalau dihitung dengan jarak tempuh, keberadaan Desa Aryojeding lebih dekat dengan Kabupaten Blitar dibanding dengan jarak tempuh ke Kabupaten Tulungagung.

Di Kadipaten Aryo Blitar terdapat dua desa, yaitu Desa Aryoblitar dan Desa Jeding. Desa Aryoblitar terbagi atas dua dusun, yaitu dusun Aryoblitar dan dusun Dungmanten. Desa Jeding terbagai atas tiga dusun, yaitu dusun Gludug, dusun Jeding Lor dan dusun Jeding Kidul. Kemudian kedua desa ini dijadikan satu menjadi Desa Aryojeding dan terbagi menjadi lima dusun sampai dengan sekarang. Luas Desa Aryojeding adalah 287.061 Ha dengan batas-batas:
Bagian Utara : Sungai Brantas
Bagian Selatan : Desa Tegalrejo
Bagian Barat : Desa Buntaran
Bagian Timur : Desa Rejotangan

Desa Aryojeding termasuk di kawasan dataran rendah, yang berada di sebelah selatan Sungai Brantas, sehingga apabila kita ketahui masih banyaknya keberadaan nambangan yang terdapat dipinggiran Sungai Brantas. Keberadaan masyarakatnya yang mayoritas penganut NU atau Nahdlatul Ulama’, sehingga secara tidak langsung masih mengkultur Islam dan Jawa. Berbagai adat masih nampak jelas, ketika pengamatan dalam beberapa bulan. Sedangkan itu, dibagian selatan Desa Aryojeding sudah berupa deretan pegunungan KBH Wilayah Blitar.
Kebudayaan atau kultur memang sangat berperan penting dalam membangun keberadaan suatu daerah. Dengan keberadaan kebudayaan tersebutlah kita bisa menyebutkan dengan istilah ikon kedaerahan. Sampai tahun 2010 jumlah penduduk Desa Aryojeding sebanyak 5.387 jiwa, terdiri atas 2.782 laki-laki dan 2.605 perempuan. Adapun pejabat lurahnya yang memimpin Desa Aryojeding sampai tahun 2011, diantaranya sebanyak 21 orang, yaitu :
Uwir
Dipo
Kromorejo
Djojo Kromo
Suryo Karyo
Sadimedjo
Kartodimedjo
Kriyomedjo
Kromotedjo
Suro
Guno Basari
Kartowidjojo
Kasan Radji
Mangunkarto
Kosmen
Moh. Tojib
Moh. Irpangi
M. Adnan
F. Sutiyo
Afandi Supriyono
Sugeng

Dalam sudut pandang pekerjaan, warga Desa Aryojeding mayoritas memiliki peternakan ayam telur dan ikan serta menanam buat blimbing, jamu merah, dan daun jeruk meskipun ada pula yang sebagai pedagang, selain itu ada juga yang menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Tanah Desa Aryojeding memang nampak subur, dan mudah untuk di tanami, sehingga masyarakatnya bisa dibilang subur makmur.

KILASAN SEJARAH
Sejarah merupakan perwujudan yang saat ini bisa kita rasakan, keberadaan sejarah adalah jejak-jejak bukti keberadaan suatu objek, yang nantinya diabadikan menjadi torehan sejarah untuk rekaman proses kehidupan. Sejarah menjadi wacana bagi para intelektual untuk dijadikan pijakan dalam mengambil keputusan. Sejarah sangat berperan penting, dan memiliki kedudukan kuat dalam kehidupan, mengambil keputusan dengan bijak pada dasarnya menggunakan referensi sejarah. Begitu pula dengan keberadaan suatu daerah atau desa, tentunya daerah tersebut tidak langsung begitu ada, melainkan sejarah mengiringinya. 

Sejarah Desa Aryojeding berdasarkan sejarah, di Desa Aryojeding Kecamatan Rejotangan terdapat suatu tempat bersejarah yang biasa disebut dengan istilah petilasan Kadipaten Aryo Blitar. Petilasan yang sebelumnya oleh masyarakat setempat dikenal keramat ini adalah tempat berdirinya Kadipaten Aryo Blitar. Kadipaten ini dipimpin oleh seorang adipati, Adipati I bernama Nilo Suwarno, Adipati II bernama Ki Ageng Sengguruh, sedangkan Adipati III bernama Joko Kandung. Namun Joko Kandung tidak meneruskan kekuasaannya melainkan meninggalkan kadipaten dan tidak pernah kembali. Sehingga Kadipaten Aryo Blitar terjadi kekosongan kekuasaan dalam waktu yang cukup lama.

Petilasan ini banyak dikunjungi orang dari berbagai daerah dengan tujuan berbeda-beda. Pada masa G-30S/PKI tahun 1965 petilasan ini pernah dihancurkan warga. Makam Adipati II Aryo Blitar yaitu: Ki Ageng Sengguruh terdapat di dusun Pundensari Desa Rejotangan, bersebelahan dengan makam istrinya. Di sekelilingnya terdapat makam-makam keturunannya. Makam ini juga banyak dikunjungi orang dari berbagai daerah. Warga Dusun Pundensari beranggapan mereka yang tinggal di Dusun Pundensari dilarang menikah dengan warga Desa Aryojeding. Warga Pundensari juga dilarang menggelar kesenian Tayuban dan berpoligami. Jika dilanggar akan sering mendapat musibah.

Namun ada sepenggalan cerita lisan yang dituturkan oleh Bapak Mulyono dengan umur 48 tahun, Seorang bangsawan menengah ke atas yang bernama “Aryo Blitar”, beliau mempunyai putra yang bernama “Joko Kandung”. Dia adalah seorang pengembara yang ditemani oleh burung setianya. Suatu ketika Joko Kandung singgah disebuah daerah tanpa nama. Bertahun-tahun Joko Kandung menetap di daerah tersebut. Selang beberapa tahun kemudian setelah Joko Kandung meninggalkan desa tersebut untuk melanjutkan perjalanannya. Oleh warga setempat desa itu dinamakan “Aryojeding”. Joko Kandung singgah disebuah pegunungan. Setiap pagi ia mandi di telaga kecil di bawah sebuah pohon besar. Disamping pohon besar itu terdapat sebuah pohon bambu besar, tempat ia menaruh burung ajaibnya yang dapat berbicara dengan manusia. Akhirnya Joko Kandung meninggal dan dimakamkan di Desa Aryojeding tersebut. Mitos sampai sekarang tempat Joko Kandung mandi bersama burungnya dijadikan sebagai tempat pencarian pesugihan.

Memang istilah nama Joko Kandung sampai saat ini masih ada, dengan sebutan hutan kandung, yang tepatnya di sebelah selatan Desa Aryojeding. Kawasan hutan kandung memang saat ini menjadi objek untuk tempat bermain, rekreasi, pacaran, dan lain sebagainya. Sedangkan makam Ki Ageng Sengguruh, tepatnya berada di sebelah utara perlintasan rel kereta api, atau di daerah Aryo Blitar. Area makam Ki Ageng Sengguruh memang berdekatan dengan Sungai Brantas.

Kawasan Aryojeding memang terkenal dengan kultur agamisnya yang masih kuat, berbagai tautan antara agama dengan kejawen masih kental. Sehingga apabila ada kegiatan ruwatan maka antara kultur dan agama menjadi kesatuan yang elastis dinamis. Keberadaan tempat ibadah di Desa Aryojeding dan Desa Aryo Blitar memiliki empat masjid, istilahnya masjid I, masjid II, masjid III, hingga masjid IV. Untuk itu keberadaan Desa Aryojeding dan Desa Aryo Blitar tidak dapat dipisahkan keberadaan sejarahnya.

PENUTUP
Sejarah memang menjadi tolok ukur, berbagai sudut pandang menyajikan implementasi yang berbeda-beda. Nilai-nilai luhur mempelajari sejarah, setidaknya kita mampu untuk menelaah dan memperbaiki proses perjalanan hidup. Sejarah lokal memang sangat berpotensi besar untuk mewujudkan basis sejarah dalam skala nasional. Sebelum matahari tenggelam lama di ufuk barat, setidaknya kita sebagai generasi muda berangsur-angsur untuk mendapatkan proses pembelajaran dari skala daerah. Kearifan lokal yang ditimbulkan dari suatu wilayah mempunyai ciri khas tersendiri, jadi sepatutnya memiliki kearifan lokal yang kita dapati dari mempelajari nilai-nilai positif yang terdapat di daerah.

Kalau kita lihat dari berbagai sisi sudut pandang, kekayaan sejarah lokal memang sangat berarti, seperti ditinjau dari sudut pandang nilai estetika, nilai keberagamaan, dan nilai positif lainnya. Suatu peristiwa sejarah memiliki rentetan yang panjang, dan tidak boleh langsung diklaim dengan pandangan negatif, tentunya kita cari dulu unsur-unsur awal keberadaan sejarahnya. Dari berbagai olahan hasil tersebutlah akhirnya bisa memberikan penilaian yang normatif tanpa adanya menimbulkan gejolak pro dan kontra. Namun sejarah lokal memiliki unsur kearifan lokal yang tinggi yang mampu mencerminkan nilai positif untuk membentuk karakter normatif.