Selasa, 29 Januari 2013

TULUNGAGUNG PUNYA WAYANG THI THI

Orang biasa mendengar kata wayang yang dicirikan dengan kisah Semar, Gareng, dan Petruk. Wayang yang terbuat dari bahan kulit, dengan coraknya yang khas wayang jawa yang dimainkan oleh seorang dalang dengan menggerak-gerakkannya dengan sebatang bambu kecil yang diiringi dengan musik tradisional jawa. Namun, berbeda dengan wayang ini, wayang ini lebih bernuansa etnis cina, yang bernama Wayang Pho The’ Hi atau yang populer dikalangan masyarakat yaitu Wayang Thi-thi. Wayang Pho The’ Hi berasal dari daerah Haokian, Cina. 


Dibawa ke Indonsia oleh para pedagang cina yang berdagang ataupun singgah di Indonesia beberapa tahun silam. Kesenian ini umumnya hampir sama dengan wayang biasa, yaitu memainkan peran tokoh dari sebuah cerita melalui media orang-orangan atau wayang. Namun yang membedakan dan membutanya menarik Wayang Thi-thi ini berbentuk tiga dimensi dan dimainkan dengan tiga jari tangan. Meskipun wayang ini berasal dari Cina wayang ini berhasil beradaptasi dan berakulturasi dengan budaya Indonesia. Mulai dari alat musiknya yang tradisional jawa, bahasa yang digunakan ialah Jawa Alus, dan ceritanya bisa cerita rakyat jawa, atupun legenda-legenda maupun mitos-mitos yang banyak dikenal masyarakat Indonesia. Sayangnya kesenian ini mulai langka dan jarang di temui, di Indonesia, pengerajinnya hanya tinggal dua saja, yaitu di Tulungagung dan Jombang. 

Kilasan Sejarah Wayang Thi Thi
Sejak dulu Indonesia telah mengenal sebuah permainan orang-orangan ataupun penggambaran berbagai makhluk dengan beragam cerita rakyat yang populer pada jamannya. Permainan ini juga bermacam-macam medianya dari yang berbahan baku kulit sampai kayu dan beragam pula bentuknya. Salah satunya ialah Wayang Thi-thi. 

Wayang Thi-thi atau dalam bahasa cinanya yaitu Wayang Pho The’ Hi, memang bukan budaya asli Indonesia. Wayang ini berasal dari Cina tepatnya di daerah Haokian, Cina. Diperkiran telah ada sejak jaman kekaisaran Cina beratus ribu tahun lamanya. Awalnya nama asli wayang ini ialah Wayang Pho The’ Hi, namun masyarakat Indonesia sering menamai dengan sebutan Wayang Thi-thi, karena bunyi khas dari pukulan alat musik pewayangan yang berbunyi “thi..thi..thi”, sehingga populerlah nama wayang tersebut. Jaman dulu wayang ini digunakan sebagai sarana hiburan yang menceritakan seputar kerajaan ataupun cerita humor. Wayang Pho The’ Hi pertamakali masuk ke Indonesia dibawa oleh orang-orang Cina yang berdagang di Indonesia. Diperkirakan sekitar tahun 1970-an, wayang ini mulai berkembang di Indonesia. Masyarakat indonesia sebelumnya hanya mengenal wayang kulit yang hingga kini masih dimainkan. Namun, karena keunikan Wayang Thi-thi atau Pho The’ Hi yang tiga dimensi berbeda dengan Wayang Kulit yang dua dimensi, selain itu dari cara memainkannya juga berbeda, yaitu dengan menggunakan tiga jari tangan, membuat masyarakat Indonesia tertarik dan mulai memainkannya. Bentuk Wayang Thi-thi ini menyerupai boneka, hanya perlu membuat kepala sampai leher dari kayu, sedangkan badan dari kain, dan kaki wayang juga dari kayu. Keunikan Wayang Thi-thi tidak hanya perbedaan cara memainkannya, tetapi dari gambar atau motif wajah yang sama dengan wayang kuno Cina baik dari segi mata, motif baju, alat perang, sampai cerita yang dimainkan mayoritas ialah cerita-cerita rakyat Cina. Ada yang membuat wayang ini menarik ialah masing-masing motif atau gambar wajah menggambarkan karakteristik dari wayang tersebut. Selain itu, berbeda dengan wayang kulit yang biasanya dimainkan dengan menggerak-gerakkanya menggunakan sebatang bambu kecil, Wayang Thi-thi dimainkan dengan cara memasukkan tiga jari tangan, yaitu ibu jari dan jari tengah untuk menggerakkan kedua tangan wayang dan jari telunjuk untuk menggerakkan kepala wayang. 

Meskipun Wayang Thi-thi berasal dari Cina, di Indonesia Wayang Thi-thi bisa beradaptasi dengan budaya Indonesia, yaitu dari alat musik, cerita dan bahasa. Pada awalnya cerita yang banyak dimainkan yaitu cerita rakyat cina seperti cerita mengenai jelmaan harimau putih dan sebagainya, dengan alat musik tradisional cina. Namun, karena budaya Indonesia dan Cina berbeda, sehingga beberapa komponen dimodifikasi, yaitu dari segi cerita bisa disesuaikan dengan cerita rakyat Indonesia yang populer di masyarakat, alat musik mengunakan alat musik tradisional jawa seperti kendang, gong, kenong, trompet, dan rebab. Sedangkan dari bahasanya sekarang telah menggunakan bahasa Jawa Alus. Namun tidak semua berubah, yang maasih tetap bertahan yaitu ketika tokoh wayang akan masuk panggung selalu ada bahasa cina kuno yang tidak pernah berubah dan gitar cina yang masih tetap digunakan. 

Di indonesia sangat jarang di temui Wayang Thi-thi, karena mayoritas masyarakat Indonesia lebih menyukai Wayang Kulit, selain itu kurang adanya publikasi membuat banyak orang, terutama kaum muda asing dengan wayang ini. Di Tulungagung, pengerajin Wayang Thi-thi hanya ada seorang saja, tepatnya di daerah Tretek, Jalan Mayjen Sungkono gang VI, Tulungagung. Pengerajinnya adalah seorang keturunan cina yang telah memulai membuat Wayang Thi-thi sejak tahun 1989. Ia tidak memiliki tenaga kerja, hanya dibantu oleh keluarganya dan menggunakan alat yang sederhana. Biasanya ia ditemani lima orang sebagai pemain musik, diundang oleh pihak Klenteng untuk mengadakan pertunjukan di Klenteng Tulungagung yang bisa dilihat oleh orang umum. Peminatnya memang banyak, namun mayoritas adalah orang-orang tua. Cerita yang sering dipertunjukkan di Klenteng Tulungagung yaitu Sudiro, Sie, Jin, dan Kwie. Mayoritas cerita yang sering dimainkan ialah cerita-cerita Cina, namun bisa juga cerita jawa jika ada yang meminta. 

Proses Pembuatan Wayang Thi-Thi
Pembuatan Wayang Thi-thi sebenarnya sederhana, namun membutuhkan ketelitian, keuletan, dan kreatifitas yang tinggi. Orang awam belum tentu bisa membuatnya, apalagi memainkannya diperlukan waktu minimal tiga tahun. Bahan yang diperlukan yaitu kayu Pohon Waru atau Mahoni, cat kayu atau cat besi, rambut sebagai pelengkap, dan kain untuk membuat baju. Sedangkan alatnya ialah pisau dan kuas. 

Pertama-tama ialah memotong kayu menjadi beberapa bagian dan membentuk bentuk dasar wayang agar mudah untuk diukir. Setelah itu membentuk dan mengukir wajah wayang sesuai dengan karakteristik wayang, mulai dari bentuk kepala, dahi, alis, mata hidung, pipi dan efek dari bentuk wajah. Kaki dan tangan wayang juga terbuat dari kayu. Setelah wajah dan leher telah jadi maka proses selanjutnya ialah mengecat wayang. Untuk baju dasar wayang terbuat dari sembarang kain. Sedangkan baju luarnya biasa dibuat lebih bagus dengan menambahkan motif seperti naga, awan, dan motif-motif Cina lainnya. Baju luar dapat di lepas, sehingga memungkinkan satu wayang untuk berganti baju, sesuai dengan cerita atau karakteristik wayang yang sedang dimainkan. Untuk membuat satu wayang yang terdiri atas wajah sampai leher membutuhkan waktu kurang lebih satu jam. 

Simpulan
Wayang Pho The’ Hi atau yang biasa disebut Wayang Thi-thi ini, merupakan kesenian yang langka untuk saat ini. Kesenian yang unik ini hanya segelintir orang yang mengetahui, bahkan untuk pengerajinnya sangat jarang ditemui di Indonesia hanya ada dua, salah satunya di Kabupaten Tulungagung tepatnya di Desa Kuto Anyar. Meskipun didomonasi dengan kebudayaan Cina nyatanya, banyak orang yang minat dan menyukai kesenian ini. Selain itu, kesenian ini juga berhasil beradaptasi dengan kebudayan daerah setempat. Hal tersebut bisa dibuktikan dengan alat musik tradisional jawa, Bahasa Jawa alus yang senantisa digunakan, dan ceritanya yang merakyat. Hal-hal seperti ini memiliki potensi untuk dikembangkan dan memiliki potensi finansial pula. Keunikan yang membuat wayang ini masih diminati masyarakat merupakan suatu bukti bahwa kesenian ini tetap bertahan meski globalisasi mendominasi kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa kesenian –kesenian seperti ini sepatutnya untuk mendapatkan perhatian dari pihak-pihak yang semestinya menangani masalah semacam ini. Namun tidak hanya itu, semoga dengan adanya pemerintah yang turun tangan untuk melestarikan kesenian ini, muncullah bibit-bibit generasi muda utamanya untuk memberikan perhatiannya terhadap kesenian yang mulai langka di Indonsia ini.