Keberadaan bangunan masjid dalam suatu
lingkungan, pada dasarnya tidak hanya dijadikan untuk berjamaah dalam arti
shalat, melainkan dengan keberadaan bangunan masjid, bisa dijadikan wadah
akselerasi penyeimbangan perkembangan zaman yang semakin tidak menentu arah. Ketika
kita berjamaah pada suatu masjid, kita akan melihat fenomena klasik, yaitu
pasti yang berjamaah bapak-ibu yang sudah berusia lanjut. Namun dari situlah
tentunya sebagai generasi yang muda mampu untuk berintropeksi diri agar tidak
hanya membangun kejasmanian di luar masjid saja.
Membangun kejasmanian tentu diimbangi dengan
pembangunan sistem kerohanian, agar tidak tandus dengan adanya fenomena
fatamorgana yang semakin menjadi-jadi. Sekelumit kehidupan di masjid akan
membangun kejasmanian dan kerohanian yang seimbang. Titik temu kehidupan yang
baik, manakala mampu memperdayakan antara jasmani dan rohani dengan
keseimbangan beragama (Islam). Masjid merupakan tempat untuk dijadikan
instrument berjamaah demi kebaikkan bersama. Berjamaah disini dapat dimaknai
suatu kegiatan yang memberikan kontribusi yang baik (positif), justru dari
situlah keberadaan bangunan masjid bisa hidup.
Ketika jejak kesejarahan suatu bangunan, atau
objek penelitian sedikit demi sedikit mulai terkuak, maka bisa dijadikan
referensi dalam pengembangan dan pemberdayaan selanjutnya. Tentunya kita
belajar dari keberadaan dokumen arsip, dokumen foto, maupun sejarah lisan dari
sesepuh yang berkompetensi dalam bidangnya. Sejarah berkontribusi dalam
refleksi perjalanan kehidupan di masa yang akan datang, berbagai konsep, ide
gagasan, dan juga dalam mengambil keputusan untuk kemaslahatan hidup berjamaah,
tidak terlepas dari referensi pada waktu yang sudah berlalu (sejarah).
Masjid Agung Al Munawwar sendiri sedikit demi
sedikit sudah memiliki rekaman kesejarahan, dengan penyeimbang pada masa
generasinya. Sehingga dengan keberadaan masjid bisa menumbuhkan kejasmanian dan
kerohanian generasi muda. Remaja masjid Masjid Agung Al Munawwar Tulungagung
sendiri dalam naungan refleksi sejarah sedikit demi sedikit dalam
pengelolaannya sudah mencerminkan pola kejasmanian dan kerohanian. Maksud dari
pengelolaan kejasmanian, seperti adanya olahraga, kerjasama dalam bakti soal,
sedangkan pengelolaan kerohanian adalah kegiatan shalat berjamaah, kegiatan
shalawatan, pengajian kitab Islam, dan membaca al qur’an.
Masjid merupakan pertemuan kaum muslimim yang
mempersiapkan setiap orang dari mereka untuk mendapatkan pengetahuan Islam
secara umum. Sebagaimana diselenggarakannnya kegiatan-kegiatan pengajaran atau
majelis ilmu untuk para penuntut ilmu. Masjid bisa dikembangkan untuk dunia
pendidikan generasi muda dalam penggemblengan pendidikan jasmani dan rohani.
Sifat kerukunan bisa tumpuh sejak dini dengan sikap saling pengertian, tolong
menolong, dan rukun. Berjamaah dalam masjid dengan niat yang positif, demi
kemaslahatan bersama akan menjadi proses pembelajaran bagi setiap generasi yang
ingin menambah ilmu, dan menambah pengalaman kehidupan
Selayang Pandang Masjid
Masjid merupakan
sebuah wujud bangunan yang menjadi instrument umat Islam dalam beribadah.
Selain itu, masjid juga menjadi pusat kegiatan dalam penyebaran Agama Islam (Islamic
Center). Berbagai aktifitas bernuansa Islami telah memberikan warna hidup
sebuah masjid. Bangunan masjid sendiri dipengaruhi oleh unsur kebudayaan daerah
setempat. Maka dari itulah style (corak mode) yang berada pada bangunan
masjid kuno sangat sarat dengan roh (kehidupan) masjidnya. Perpaduan corak yang
ada saat ini (baca: zaman modern), merupakan perpaduan “budaya meniru” dari
unsur style masjid Timur Tengahan.
Munurut Purwadi (2007; 304-305), bahwasanya seni bangunan
Persi, Byzantium, India, dan sebagainya, setahap demi setahap mempengaruhi
bangunan-bangunan tempat suci di Indonesia. Model Masjid Persia, kubahnya
seperti bentuk bawang dan mengingatkan pula seperti topi prajurit Persi pada
zaman dahulu. Sedangkan menara adzan, sepasang dengan bentuk cylender.
Sehingga tidak menutup kemungkinan, bangunan masjid yang
ada saat ini mayoritas mengalami transisi perubahan dari tradisional ke modern
(baca: Masjid Timur Tengahan). Hal itu nampak pada keberadaan bangunan Masjid
Agung Al-Munawwar, bangunan aslinya merupakan wujud bangunan kuno
(tradisional), kita dapat melihatnya pada foto Arsip Daerah Tulungagung.
Menurut hasil penelitian, bahwasanya perubahan gaya bangunan Masjid Agung
Al-Munawwar terjadi sebanyak 3 (tiga) kali, bisa disebut dengan istilah masjid tiga
zaman.
Selain itu, keberadaan Masjid Agung Al-Munawwar selain
menjadi tempat beribadahan, juga menjadi tempat untuk akselerasi budaya dan
juga kegiatan yang bernuansa Islami. Di masjidlah kita akan secara tidak
langsung berinteraksi dengan masyarakat, sehingga masjid menjadi pusat
aktifitas masyarakat untuk beribadah, hubungan dengan Allah dan juga hubungan
dengan manusia.
Memang keberadaan
bangunan masjid di suatu daerah sebagai instrument untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT (baca: beribadah, tafakur). Selain itu keberadaan sebuah
masjid juga sebagai tempat penyebaran Agama Islam, dan juga dengan adanya
bangunan berupa masjid atau tempat peribadahan merupakan gambaran bahwasanya
Agama Islam sudah ada di daerah tersebut. Dilihat dari arsitektur masjid bisa menandakan
bahwasanya masjid tersebut dibangun pada massanya.
Bangunan Masjid
Arti kata sebenarnya dari adalah tempat
sujud, yaitu tempat orang bersembahyang menurut peraturan Islam. Sesuai dengan
pendirian, bahwa Allah itu ada dimana saja, tidak terikat pada suatu tempat,
maka untuk menyembahNya manusia dapat melakukan shalat dimana-mana. Memang
menurut hadits, masjid itu adalah setiap jengkal tanah di atas permukaan bumi
ini. (Soekmono, 1973:75).
Wujud dari bangunan masjid sendiri, merupakan bertanda
kalau di daerah tersebut terdapat komunitas/kelompok umat Islam. Selain sebagai
beribadah, masjid dipakai untuk berinteraksi, diskusi, mengaji, mengkaji, dan
akselerasi budaya. Sehingga wujud roh dari masjid itu sendiri adalah dari keberibadatan
(umat Islam) terhadap Allah SWT. Sikap pasrah kepada Allah SWT., memang nampak
ketika kita memasuki masjid dan saat kita bersujud kepadaNya.
Ditinjau dalam bentuk bangunan, sebuah masjid banyak
mendapat pengaruh budaya lokal. Perubahan sebuah bangunan masjid menandakan
mendapat pengaruh kuat dari budaya lain. Hal itulah yang sedang terjadi pada
masjid-masjid di daerah Tulungagung pada umumnya. Menurut Zein Wiryoprawiro
(1986; 155-156), masjid sebagai bangunan arsitektur memiliki fungsi yang dapat
dipergunakan bagi kegiatan-kegiatan umat Islam. Fungsi umum dari sebuah masjid
adalah sebagai tempat untuk melakukan hubungan antara manusia dengan Allah
SWT., dalam bentuk ibadah sholat. Namun proses perkembangan, masjid juga
sebagai tempat melakukan hubungan antar manusia, seperti; tempat berzakat
(LAZ), tempat acara pernikahan, tempat mencari ilmu dan mengaji, serta
acara-acara kebudayaan Islam lainnya.
Bila kita sekarang perhatikan masjid kuno atau masjid
peninggalan zaman madya Indonesia[2] terutama
di daerah Tulungagung yang dulunya bernama Ngrowo, bentuk masjidnya telah
mengalami proses akulturasi dari budaya Hindu. Berdasarkan hasil penelitian
penulis, bahwasanya masjid kuno yang berada di daerah Tulungagung memiliki
ciri-ciri, diantaranya;
Berdenah persegi
atau bujur sangkar
Mempunyai serambi
depan dan samping
Memakai pagar
keliling dengan satu pintu utama atau Gapura Bentar
Beratap tumpang
dan arah kiblat ke barat
Penopangnya berupa
tiang kayu (soko)
Menara masjid
berdiri terlepas dari bangunan induk masjid
Mempunyai kocehan
atau kolam air
Dengan adanya penafsiran mengenai keberadaan wujud
bangunan masjid di daerah Tulungagung semacam itu, dapat diperkirakan bangunan
masjid tersebut mendapat pengaruh dari masa Majapahit. Selain ciri di atas ada
pula salah satu ciri yang tidak boleh ditinggal, yaitu; Atap Tumpang masjid.
Keberadaan masjid yang beratapkan tumpang merupakan akulturasi antara budaya
Hindu dan budaya Islam. Salah satu contoh masjid yang masih bergayakan klasik
dengan beratapkan tumpang, diantaranya; Masjid Winong, Masjid Macan Bang,
Masjid Tawangsari, Masjid Majan, Masjid Al-Muhajjirin dan Masjid Agung
Al-Munawwar (namun Atap Tumpangnya baru). Masjid Atap Tumpang merupakan
akulturaasi dari budaya Hindu, yaitu bangunan Meru.
Menurut Sumarno dkk (1996:129) hal tersebut juga
dipertegas oleh Pijper yang mengatakan bahwa bentuk bangunan masjid-masjid kuno
Indonesia merupakan bentuk tradisi asli dan mungkin bisa dihubungkan dengan
konsep Meru[3].
Soekmono (1973) berpendapat bahwa ada tiga hal penting berkenaan dengan
bangunan masjid-masjid peninggalan zaman madya, seperti;
1.
Atap berupa atap tumpang, yaitu bersusun dalam
bentuk limas dengan jumlah tumpang
selalu ganjil.
2.
Letak masjid senantiasa berdekatan dengan istana
dan Alun-alun.
3.
Tidak ada dan adanya sebuah menara masjid.
Adapun konsep akulturasi budaya antara Meru dengan Masjid
adalah terdapat pada Atap Tumpangnya. Kita sering melihat wujud bangunan masjid
yang beratapkan tumpang seperti contoh diatas. Tentunya atap yang beratapkan
tumpang mempunyai makna tersendiri, yaitu;
Masjid beratapkan
tumpang satu, mempunyai makna Laillahaillah.
Masjid beratapkan
tumpang dua, mempunyai makna dua kalimat syahadat.
Masjid beratapkan
tumpang tiga, mempunyai makna Iman, Islam dan Ihsan.
Masjid beratapkan
tumpang empat, mempunyai makna Syari’at, Thoriqat, Hakikat dan
Ma’rifat.
Masjid beratapkan
tumpang lima, mempunyai makna Rukun Islam.
Adapun yang sering
kita lihat di daerah Tulungagung khususnya, Atapnya tidak lebih dari tiga
tampang. Sedangkan menurut penelitian yang sudah penulis lakukan, bahwasanya
masjid yang masih bercorak klasik adalah Masjid Winong, Masjid Majan dengan
Gapura Bentarnya dan Masjid Tawangsari.
Masjid Agung
Al-Munawwar dalam Pena
Tentunya tidak menyadari kalau kita (baca: umat Islam)
mempunyai Masjid Agung Al-Munawwar Tulungagung, yang sudah berganti style (corak mode). Masjid yang berada di pusat Kota Tulungagung ini
menyimpan kenangan yang indah dalam perjalanannya hingga sekarang ini. Kita
bisa menyebutnya dengan sebutan masjid tiga zaman. Sebab Masjid Agung
Al-Munawwar Tulungagung mengalami transisi perubahan bangunan selama tiga kali
priode; Periode Ngrowo (masjid awal), Periode Transisi (Bapak Syaifudin Said)
dan Periode Modern (Bapak Ir. Heru Tjahjono, MM.).
Menurut bapak Kiai
Ali Mustakim sesepuh Kelurahan Kauman yang dipaparkan oleh bapak KH. Abu Sofyan
Sirojuddin, selaku ketua ta’mir Masjid Agung Al-Munawwar Tulungagung periode
2007-2012, mengatakan bahwasanya keberadaan tanah yang di atasnya dibangun sebuah
Masjid Agung Al-Munawwar Tulungagung dulunya merupakan tanah wakaf dari Mbah
Ichsan Puro. Penulis tidak dapat dengan pasti menelusuri siapa Mbah Ichsan Puro
tersebut, karena sumber data pada saat itu belum ada yang mendokumentasikannya,
selain itu keluarganyapun sulit untuk dilacak dan pelaku sejarah (oral
history) pada saat itu mayoritas sudah meninggal dunia. Menurut bapak
Muhadi Latief, Mbah Ichsan Puro merupakan suatu keluarga kenaipan[4] yang dulunya bertempat tinggal disekitar daerah
Masjid Jami’ Al-Munawwar.
Masjid Agung Al-Munawwar Tulungagung dibangun pertama
kalinya diperkirakan sekitar tahun 1262 H/1841
M, angka tersebut dapat dilihat pada hiasan ukir-ukiran imaman yang berada di
Masjid Jami’ Al-Muhajjirin Gedangsewu Tulungagung tepatnya dibagian atas.
Selain itu Imam masjid yang pertama kali, yang hidup pada masa tersebut belum
dapat dideteksi siapa saja. Jadi siapa yang menggagas berdirinya Masjid Agung
Al-Munawwar masih belum jelas. Bahkan ta’mir yang kali pertamapun juga
masih sulit untuk ditelusuri keberadaannya. Maka dari itulah lembaran-lembaran
tulisan ini mayoritas menuliskan dengan sumber data yang masih ada dan juga
disinergikan dengan zaman penulisan.
Namun sebuah inksripsi atau tulisan yang telah
ditemukan sebagai bukti awal dibangunnya Masjid Agung Al-Munawwar Tulungagung
sedikit memberikan gambaran dalam penulisan mengenai sejarah masjid ini. Bukti tersebut berada dihiasan imaman yang berada
di Masjid Jami’ Al-Muhajjirin Gedangsewu. Inskripsi tersebut
merupakan suatu inskripsi perpaduan antara tulisan Arab dan bahasa Jawa, serta
tanpa ada kharokatnya. Inskripsi tersebut
terdiri dari tiga baris, adapun bunyi dalam bacaan bahasa Indonesia;
Baris pertama :
Laaillahaillah Muhammadurrosullah
Baris kedua :
Pẻngẻt tatkala nyẻlẻr Kiai Mangun (Fiqhan)
Baris ketiga : Ing
dino akhad kaping 11 syawal tahun 1262 H
Tulisan tersebut berada disisi atas tepatnya di
tengah-tengah hiasan imaman dengan dikelilingi hiasan ukir-ukiran yang bermotif
bunga. Tulisan tersebut bisa juga sebagai bukti dibangun pertama kalinya masjid
yang berada di barat Alun-alun Tulungagung tersebut. Atau juga bisa
dimungkinkannya tulisan tersebut sebagai bukti pembuatan hiasan imaman. Akan
tetapi kalau sebagai bukti pembuatan hiasan imaman, mengapa pada tempat untuk
khotbah tidak ada tanggalnya semacam itu. Sehingga kemungkinan besar inskripsi
tersebut merupakan suatu tulisan yang mewakili bukti dalam pembangunan Masjid
Agung Al-Munawwar Tulungagung.
Sehingga antara
Masjid Agung Al-Munawwar dan Masjid Jami’ Al-Muhajjirin Gedangsewu merupakan
sinergi kemasjidan yang tidak dapat dipisahkan. Untuk itulah perlunya sebuah
pelestarian diantaranya, sebab pada zaman sekarang ini kita warga Tulungagung
mempunyai dua masjid yang seiring perjalanannya menyimpan sejarah penuh makna.
Masjid Oh Masjid
Banyaknya bangunan
masjid kali merupakan trend mode baru
dalam zaman ini. Sehingga kita dapat mensipulkan kalau semakin banyak masjid
yang dibangun, maka kesadaran ummat Islam juga semakin besar. Keberadaan tempat
ibadah saat ini sudah mulai banyak kita temui, bahkan satu kampungpun memiliki
tempat ibadah lebih dari dua, bahkan sampai lima dalam satu desa. Sehingga
dengan adanya banyaknya tempat ibadah tersebut bisa dijadikan sarana
mempertingatkan ibadah kita kepada Sang Pencipta, yaitu Allah Swt.
Masjid bukan sekedar tempat sujud.
Sebagaimana makna harfiahnya. Ismail Raji Al-Faruqi, pakar kebudayaan Islam
asal Palestina, mencatat, sejak zaman Nabi Muhammad Saw., 14 abad silam, masjid
punya ragam fungsi. Tidak hanya untuk ritual murni saja (ibadah mahdah);
seperti sholat dan iktikaf. Bahkan kompleks masjid bisa menjadi pusat
pemerintahan, markas militer, sentra pendidikan, bahkan ruang tawanan perang.
Dalam perkembangan kontemporer, muncul banyak
persepsi yang justru mempersempit fungsi masjid. Bila sebidang tanah diwakafkan
untuk masjid, maka yang terpikir, peruntukannya untuk ibadah murni. Pola pikir
ibadah oriented ini juga berkembang
di Indonesia, seperti yang terbaca dalam arsip Departemen Agama (DEPAG), bahwa
wakaf terbesar digunakan buat tempat ibadah (68%). Sisanya untuk sarana
pendidikan (8,5%), kuburan (8,4%) dan lain-lain (14,6%).
Karena minimnya peran horizontal wakaf
masjid, maka efek sosial-ekonominya pun kurang optimal. Ada masjid mentereng
yang tidak bisa berbuat banyak menyelesaikan kemiskinan jamaah sekitarnya.
Sebagian masjid (maaf) malah menjadi pangkalan puluhan pengemis. Masjid lantas
menjadi ikon ketimpangan sosial agamis; bangunan masjid mewah yang berdampingan
dengan pola tingkah sosial yang miskin.
Dengan sebuah wakaf tentunya masjid mampu
diberdayakan untuk kepentingan kemaslahatan umat Islam khususnya. Kita sering
melihat fenomena yang menyedihkan dalam hati, setiap hari Jum’at tiba, maka
berjejerlah puluhan pengemis yang meratap ke bangunan masjid, dengan alasan
hari belas kasih.
Keprofesionalan dalam mengelola masjid memang
menjadi problematika tersendiri. Hal itulah yang perlu untuk dikejer
ketinggalan dalam meraih kemaslahatan umat Islam. Untuk itu perlunya campur
tangan dari tangan-tangan terampil pemuda dalam pengelolaan masjid. Keberadaan
Remaja Masjid khususnya harus dikelola dengan positif, dan memiliki integritas
yang lebih daripada yang lain. Pemahaman remaja masjid sekarang ini harus
rubah, agar mampu memberikan kontribusi yang lebih banyak untuk ummat Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Purwadi. 2007. Ensiklopedi Adat-Istiadat
Budaya Jawa. Yogyakarta : Panji Pustaka.
Soekmono.
1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia III. Jakarta : Yayasan
Kanisus.
Sumarno,
Tini Suhartini, et. Al. 1996. Sejarah
Budaya 4. Jakarta : Yudhistira
Wiryoprawiro,
Zein. 1986. Perkembangan Arsitektur
Masjid di Jawa Timur. Surabaya : PT. Bina Ilmu.
Majalah
Majalah Gatra
Edisi Masjid tahun 2008.
[1] Anggota Remaja Masjid Agung Al Munawwar
Tulungagung tahun 2008, dan juga Penyuka Sejarah, Sosial, dan Budaya.
[2] .
Zaman Madya adalah suatu zaman kebudayaan Indonesia yang dipengaruhi oleh
proses Islamisasi setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit).
[3] .
MERU adalah melambangkan “Gunung Mahameru”. Gunung adalah lambang alam semesta Pelinggih
Ida Sang Hyang Widhi. Dalam arti bebasnya adalah suatu tempat yang biasanya
dewa-dewa berada dan semakin tinggi bangunan Merunya maka mempunyai makna yang
tinggi pula.
[4] . Kenaipan dari kata dasar naip,
ialah seorang penghulu Agama Islam yang kerjanya di Kantor Urusan Agama (Islam)
atau KUA. Kalau kita lihat naib biasanya orang yang meng-ijab qobulkan
kedua mempelai yang ingin menikah, selain itu juga mengurusi mengenai hal
keagamaan (Islam).