Sering kali kita melihat atau bahkan cangkrukan (nongkrong) di
sebuah Gardu dan angkreng. Biasanya Gardu dan angkreng yang terdapat di
desa-desa saat pemilihan lurah, penuh dengan tempelan foto-foto si
calon. Di Gardu dan angkreng biasanya juga terdapat alat komunikasi tradisional
bagi warga, yaitu kentongan. Alat pukul yang berupa kentongan tersebut akan
menjadi media komunikasi warga ketika; ada orang yang meninggal, warga akan
gugur gunung; bersih desa, bersih kuburan, dan kentongan akan ditabuh ketika
ada bencana.
Kalau
ada bangunan yang terlupakan pada saat ini, salah satunya adalah Gardu dan
angkreng. Bangunan Gardu dibangun pada ruang terbuka pada suatu kawasan, di
tempat keramaian, atau gardu dibangun di pojok pertigaan dan perempatan jalan.
Fungsi utama pada zaman dulu sebagai tempat penjagaan pos keamanan, begitu pula
dengan keberadaan angkreng.
Gardu
juga merupakan bagian dari sejarah Indonesia yang spesifik. Bila ditinjau
kebelakang, dua abad terakhir kolonialisme Eropa ternyata memberi kontribusi
penting dalam pembentukan makna gardu masa kini. Sebagaimana telah kita lihat,
gardu menciptakan suatu batas territorial yang nyata dan asal muasalnya yang
dilacak ke sejarah politik ruang ala negara kolonial Belanda. Gardu
merepresentasikan munculnya negara kolonial di Jawa pada abad ke-19, yang
mereorganisasi ruang kota dan desa (Abidin Kusno, 2007:143).
Keberadaan
angkreng, juga menjadi simbolisasi wujud pemberian keamanan kepada lingkungan
warga. Angkreng yang berbahankan dasar potongan bambu, dan dibangun menyerupai
bangunan gerdu serta beratapkan genteng. Biasanya angkreng dibangun dipertigaan
jalan, atau diperempatan jalan.
Sehingga
gardu atau angkreng hingga saat ini masih menjadi tempat berkumpul warga desa,
atau sekedar sebagai tempat berteduh saat hujan. Secara tidak langsung, gardu dan
angkreng merekam perjalanan kultur warga, mulai; sosial, budaya, hingga perpolitikan.
Gardu dan angkreng, pada bulan ramadhan dijadikan posko untuk meronda, pada
musim pemilihan kepala daerah maka banyak tempelan si calon. Bangunan gardu dan
angkreng memang menjadi ruang yang tak terbatas, untuk komunikasi di lingkup
warga masyarakat desa.
Bahkan
pada zaman modern seperti sekarang ini, keberadaan gardu sebagai tempat para
pedagang kaki lima untuk mencari nafkah. Beralih fungsinya gardu, dulu sebagai
tempat penjaga keamanan di suatu desa, kini bisa difungsikan sebagai tempat pedagang
kaki lima, mulai penjual bakso, mie ayam, es degan, penjual sticker gambar dan
lain sebagainya. Meskipun gardu saat ini mengalami perubahan fungsinya, namun
keberadaannya menjadi saksi bisu kebudayaan warga masyarakat tempo dulu,
khususnya dalam hal menjaga keamanan wilayah.
Gardu
dalam pengertian Bahasa Indonesianya, sedangkan menurut Bahasa Perancis adalah Garde
yang populer dengan sebutan posko (Abidin, 2007:V). Gardu nampak kekokohannya,
dikarenakan berbahan baku batu bata dan semen, sedangkan angkreng merupakan
bangunan yang menyerupai gardu, namun berbahan dasar dari bambu. Bangunan gardu
dan angkreng keberadaannya selalu di tempat terbuka, pertigaan jalan, maupun di
perempatan jalan.
Vandalisme
Gardu
Keberadaan
Gardu yang berada di desa saat ini banyak yang mengabaikan, sebab fungsi dan
tujuan dari pendirian Gardu sendiri sekarang sudah tidak sesuai dengan visi dan
misi pembangunannya. Hal itu dapat kita lihat, banyak Gardu yang di corat-coret
(Vandalisme). Berbagai coretan telah memberi nilai negatif pada Gardu,
biasanya coretan yang berada di Gardu berisikan sisi kenegatifan dalam
kehidupan remaja. Sehingga gardu menjadi kumuh, dan orang akan enggan untuk
beristirahat.
Perlu
kesadaran untuk memiliki sebuah warisan kebudayaan, sehingga penumbuhan sikap
kesadaran yang tinggi memang perlu untuk ditanamkan. Kearifan lokal yang ada di
daerah memang sangat dibutuhkan pada saat ini, rasa memiliki terhadap
lingkungan memang harus ditanamkan dalam kepribadian warga masyarakat,
khususnya pelajar.
Kemampuan
manusia untuk menggunakan akal dalam memahami lingkungannya merupakan potensi
dasar yang memungkinkan manusia berfikir, dengan berpikir manusia menjadi mampu
melakukan perubahan dalam dirinya, dan memang sebagian besar perubahan dalam
diri manusia merupakan akibat dari aktivitas berpikir. Oleh karena itu, sangat
wajar apabila berpikir merupakan konsep kunci dalam setiap diskursus mengenai
kedudukan manusia di muka bumi, ini berarti bahwa tanpa berpikir kemanusian, manusiapun
tidak punya makna, bahkan mungkin tak akan pernah ada (Uhar Suharsaputra,
2004:3).
Warga
dengan daya kemampuan berpikirnya tentu mampu untuk memanfaatkan warisan
kebudayaan yang berupa bangunan Gardu dan angkreng. Sehingga gardu dan angkreng
dapat difungsikan sebagai pos penjagaan keamanan di malam hari khususnya. Sebab
sebagian warga sudah menganggap negatif, kalau ada anak muda yang nongkrong di
Gardu dan angkreng sudah dianggap anak nakal. Lingkungan yang terdapat bangunan
gardu atau angkreng tentunya dapat dijadikan kearifan lokal warga masyarakat
sekitar.
Sekedar
Mengenang
Sewaktu
saya masih duduk dibangku kelas Sekolah Dasar, tahun 1998 terjadi gejolak isu
mengenai sekelompok ninja. Isu tersebut meresahkan seluruh warga yang ada di
desa, dikarenakan yang menjadi sasaran adalah tokoh agama (Islam). Bahkan
pengajian ibu-ibu yang biasanya dilaksanakan setelah shalat Isya’ diganti pada sore
hari, hal itu untuk menghindari yang tidak diinginkan saat itu.
Memory
saya masih mampu mengingat, bahwasanya dulu sewaktu gejolaknya isu-isu mengenai
pembunuhan para tokoh agama yang dilakukan ninja, depan rumah saya setelah
shalat Isya’ banyak para bapak-bapak berjaga malam hingga pukul dua dini hari. Bahkan
ketika malam mulai larut, ketika ada yang mencurigakan, mereka langsung
berkoordinasi dengan teman-temannya yang berada di pos lain.
Saat
terjadi isu ninja tersebut, keberadaan Gardu maupun angkreng dekat rumahpun
tidak sepi dari para kaum laki-laki untuk berjaga. Intinya ketika malam hari,
suasana desa terasa mencekam. Dari memory yang saya tulis di atas, tidak lepas
dari keberadaan Gardu maupun angkreng untuk pos penjagaan lingkungan di desa
waktu itu.
Uniknya,
setelah isu ninja tersebut mulai pudar, munculah posko-posko yang didirikan
oleh relawan partai, sebut saja Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P)
pimpinan Megawati putri Presiden Ir. Soekarno. Maraknya posko yang dibangun
dengan warna simbol merah dan gambar hewan banteng tersebut, mulai merajai di
seluruh desa-desa. Bahkan tiap 500 meter terdapat posko atau angkreng yang
berwarna merah.
Untuk
itulah maka pada tahun tersebut banyak sekali posko PDI-P yang hampir dibangun
di setiap daerah. Sehingga keberadaannya seakan-akan sudah menjadi bagian dari
masyarakat luas. Tradisi pembangunan posko tersebut akhirnya juga luluh, akibat
dari perkembangan waktu, kebudayaan, maupun perpolitikan. Posko adalah pos
komando.
Fenomena
itu begitu menggejala di kota-kota besar khususnya Jawa sejak reformasi 1998.
Simpatisan PDI-Ptelah membangun ribuan gardu di desa dan perkotaan Jawa, yang
kemudian dinyatakan sebagai simbol perlawanan dan identitas tertentu. Terkait
dengan itu pula kehadiran gardu pada tahun 1998 lebih pada meningkatnya
kewaspadaan masyarakat atas berbagai peristiwa kekerasan dan kerusuhan di
berbagai kota, maka masyarakat membangun pertahanan lewat gardu yang berfungsi
sebagai center dari perlindungan wilayahnya (Abidin, 2007:v).
Jejak
Gardu
maupun angkreng, dulu merupakan tempat untuk pos menjaga keamanan desa ataupun
wilayah. Para kaum laki-laki, berkumpul dan berbincang-bincang menganai hal apa
saja. Bahkan di gardu atau angkreng sudah ada jadwal piket warga, dan juga jadwal
untuk ta’jilan (giliran membawakan jajanan kecil dan kopi). Wedang kopi
sudah menjadi teman sejati bagi para kaum laki-laki saat menjaga di gardu di
malam hari.
Ruang
gardu atau angkreng adalah ruang yang dikuasai bagi laki-laki, mereka berbicara
bebas di ruang tersebut, entah politik desa hingga politik nasional, urusan pekerjaan,
atau hanya sekedar bertukar informasi. Namun kini keberadaan gardu sudah mulai
tersisih menuju warung kopi, tidak lagi gardu atau angkreng menjadi sentral
keamanan. Warga sudah semakin asyik dan menikmati secangkir kopi dengan
bertukar informasi di warung kopi.