Senin, 03 Maret 2014

KENANGAN KEBERADAAN GARDU DAN ANGKRENG



Sering kali kita melihat atau bahkan cangkrukan (nongkrong) di sebuah Gardu dan angkreng. Biasanya Gardu dan angkreng yang terdapat di desa-desa saat pemilihan lurah, penuh dengan tempelan foto-foto si calon. Di Gardu dan angkreng biasanya juga terdapat alat komunikasi tradisional bagi warga, yaitu kentongan. Alat pukul yang berupa kentongan tersebut akan menjadi media komunikasi warga ketika; ada orang yang meninggal, warga akan gugur gunung; bersih desa, bersih kuburan, dan kentongan akan ditabuh ketika ada bencana.

Kalau ada bangunan yang terlupakan pada saat ini, salah satunya adalah Gardu dan angkreng. Bangunan Gardu dibangun pada ruang terbuka pada suatu kawasan, di tempat keramaian, atau gardu dibangun di pojok pertigaan dan perempatan jalan. Fungsi utama pada zaman dulu sebagai tempat penjagaan pos keamanan, begitu pula dengan keberadaan angkreng.

Gardu juga merupakan bagian dari sejarah Indonesia yang spesifik. Bila ditinjau kebelakang, dua abad terakhir kolonialisme Eropa ternyata memberi kontribusi penting dalam pembentukan makna gardu masa kini. Sebagaimana telah kita lihat, gardu menciptakan suatu batas territorial yang nyata dan asal muasalnya yang dilacak ke sejarah politik ruang ala negara kolonial Belanda. Gardu merepresentasikan munculnya negara kolonial di Jawa pada abad ke-19, yang mereorganisasi ruang kota dan desa (Abidin Kusno, 2007:143).

Keberadaan angkreng, juga menjadi simbolisasi wujud pemberian keamanan kepada lingkungan warga. Angkreng yang berbahankan dasar potongan bambu, dan dibangun menyerupai bangunan gerdu serta beratapkan genteng. Biasanya angkreng dibangun dipertigaan jalan, atau diperempatan jalan.

Sehingga gardu atau angkreng hingga saat ini masih menjadi tempat berkumpul warga desa, atau sekedar sebagai tempat berteduh saat hujan. Secara tidak langsung, gardu dan angkreng merekam perjalanan kultur warga, mulai; sosial, budaya, hingga perpolitikan. Gardu dan angkreng, pada bulan ramadhan dijadikan posko untuk meronda, pada musim pemilihan kepala daerah maka banyak tempelan si calon. Bangunan gardu dan angkreng memang menjadi ruang yang tak terbatas, untuk komunikasi di lingkup warga masyarakat desa.

Bahkan pada zaman modern seperti sekarang ini, keberadaan gardu sebagai tempat para pedagang kaki lima untuk mencari nafkah. Beralih fungsinya gardu, dulu sebagai tempat penjaga keamanan di suatu desa, kini bisa difungsikan sebagai tempat pedagang kaki lima, mulai penjual bakso, mie ayam, es degan, penjual sticker gambar dan lain sebagainya. Meskipun gardu saat ini mengalami perubahan fungsinya, namun keberadaannya menjadi saksi bisu kebudayaan warga masyarakat tempo dulu, khususnya dalam hal menjaga keamanan wilayah.

Gardu dalam pengertian Bahasa Indonesianya, sedangkan menurut Bahasa Perancis adalah Garde yang populer dengan sebutan posko (Abidin, 2007:V). Gardu nampak kekokohannya, dikarenakan berbahan baku batu bata dan semen, sedangkan angkreng merupakan bangunan yang menyerupai gardu, namun berbahan dasar dari bambu. Bangunan gardu dan angkreng keberadaannya selalu di tempat terbuka, pertigaan jalan, maupun di perempatan jalan.

Vandalisme Gardu
Keberadaan Gardu yang berada di desa saat ini banyak yang mengabaikan, sebab fungsi dan tujuan dari pendirian Gardu sendiri sekarang sudah tidak sesuai dengan visi dan misi pembangunannya. Hal itu dapat kita lihat, banyak Gardu yang di corat-coret (Vandalisme). Berbagai coretan telah memberi nilai negatif pada Gardu, biasanya coretan yang berada di Gardu berisikan sisi kenegatifan dalam kehidupan remaja. Sehingga gardu menjadi kumuh, dan orang akan enggan untuk beristirahat.

Perlu kesadaran untuk memiliki sebuah warisan kebudayaan, sehingga penumbuhan sikap kesadaran yang tinggi memang perlu untuk ditanamkan. Kearifan lokal yang ada di daerah memang sangat dibutuhkan pada saat ini, rasa memiliki terhadap lingkungan memang harus ditanamkan dalam kepribadian warga masyarakat, khususnya pelajar.

Kemampuan manusia untuk menggunakan akal dalam memahami lingkungannya merupakan potensi dasar yang memungkinkan manusia berfikir, dengan berpikir manusia menjadi mampu melakukan perubahan dalam dirinya, dan memang sebagian besar perubahan dalam diri manusia merupakan akibat dari aktivitas berpikir. Oleh karena itu, sangat wajar apabila berpikir merupakan konsep kunci dalam setiap diskursus mengenai kedudukan manusia di muka bumi, ini berarti bahwa tanpa berpikir kemanusian, manusiapun tidak punya makna, bahkan mungkin tak akan pernah ada (Uhar Suharsaputra, 2004:3).

Warga dengan daya kemampuan berpikirnya tentu mampu untuk memanfaatkan warisan kebudayaan yang berupa bangunan Gardu dan angkreng. Sehingga gardu dan angkreng dapat difungsikan sebagai pos penjagaan keamanan di malam hari khususnya. Sebab sebagian warga sudah menganggap negatif, kalau ada anak muda yang nongkrong di Gardu dan angkreng sudah dianggap anak nakal. Lingkungan yang terdapat bangunan gardu atau angkreng tentunya dapat dijadikan kearifan lokal warga masyarakat sekitar.

Sekedar Mengenang
Sewaktu saya masih duduk dibangku kelas Sekolah Dasar, tahun 1998 terjadi gejolak isu mengenai sekelompok ninja. Isu tersebut meresahkan seluruh warga yang ada di desa, dikarenakan yang menjadi sasaran adalah tokoh agama (Islam). Bahkan pengajian ibu-ibu yang biasanya dilaksanakan setelah shalat Isya’ diganti pada sore hari, hal itu untuk menghindari yang tidak diinginkan saat itu.

Memory saya masih mampu mengingat, bahwasanya dulu sewaktu gejolaknya isu-isu mengenai pembunuhan para tokoh agama yang dilakukan ninja, depan rumah saya setelah shalat Isya’ banyak para bapak-bapak berjaga malam hingga pukul dua dini hari. Bahkan ketika malam mulai larut, ketika ada yang mencurigakan, mereka langsung berkoordinasi dengan teman-temannya yang berada di pos lain.

Saat terjadi isu ninja tersebut, keberadaan Gardu maupun angkreng dekat rumahpun tidak sepi dari para kaum laki-laki untuk berjaga. Intinya ketika malam hari, suasana desa terasa mencekam. Dari memory yang saya tulis di atas, tidak lepas dari keberadaan Gardu maupun angkreng untuk pos penjagaan lingkungan di desa waktu itu.

Uniknya, setelah isu ninja tersebut mulai pudar, munculah posko-posko yang didirikan oleh relawan partai, sebut saja Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) pimpinan Megawati putri Presiden Ir. Soekarno. Maraknya posko yang dibangun dengan warna simbol merah dan gambar hewan banteng tersebut, mulai merajai di seluruh desa-desa. Bahkan tiap 500 meter terdapat posko atau angkreng yang berwarna merah.

Untuk itulah maka pada tahun tersebut banyak sekali posko PDI-P yang hampir dibangun di setiap daerah. Sehingga keberadaannya seakan-akan sudah menjadi bagian dari masyarakat luas. Tradisi pembangunan posko tersebut akhirnya juga luluh, akibat dari perkembangan waktu, kebudayaan, maupun perpolitikan. Posko adalah pos komando.

Fenomena itu begitu menggejala di kota-kota besar khususnya Jawa sejak reformasi 1998. Simpatisan PDI-Ptelah membangun ribuan gardu di desa dan perkotaan Jawa, yang kemudian dinyatakan sebagai simbol perlawanan dan identitas tertentu. Terkait dengan itu pula kehadiran gardu pada tahun 1998 lebih pada meningkatnya kewaspadaan masyarakat atas berbagai peristiwa kekerasan dan kerusuhan di berbagai kota, maka masyarakat membangun pertahanan lewat gardu yang berfungsi sebagai center dari perlindungan wilayahnya (Abidin, 2007:v).

Jejak
Gardu maupun angkreng, dulu merupakan tempat untuk pos menjaga keamanan desa ataupun wilayah. Para kaum laki-laki, berkumpul dan berbincang-bincang menganai hal apa saja. Bahkan di gardu atau angkreng sudah ada jadwal piket warga, dan juga jadwal untuk ta’jilan (giliran membawakan jajanan kecil dan kopi). Wedang kopi sudah menjadi teman sejati bagi para kaum laki-laki saat menjaga di gardu di malam hari.

Ruang gardu atau angkreng adalah ruang yang dikuasai bagi laki-laki, mereka berbicara bebas di ruang tersebut, entah politik desa hingga politik nasional, urusan pekerjaan, atau hanya sekedar bertukar informasi. Namun kini keberadaan gardu sudah mulai tersisih menuju warung kopi, tidak lagi gardu atau angkreng menjadi sentral keamanan. Warga sudah semakin asyik dan menikmati secangkir kopi dengan bertukar informasi di warung kopi.