Sadranan, atau biasa disebut dengan nyadran bagi orang
Jawa. Sadranan sendiri yang penulis pernah ketahui, dilaksanakan di area
pundhen makam dengan menggelar tikar sebagai alas. Selain itu juga disertai
dengan sesajen yang diwadahi tampah, loyang, dan ember seperti: gunungan nasi
kuning, apem, ayam yang diolah ingkungan, kulupan, sambal goreng kentang, tahu
yang dibumbui, dan air putih yang dimasukin dalam wadah kendhi. Pelaksanaan
nyadran sendiri pada waktu pagi hari, atau sore hari, adapun siang hari tapi
pelaksanaannya jarang, dan dipimpin oleh dukun atau tokoh masyarakat setempat yang
biasanya dibawa oleh orang penyadran. Di dalam pelaksanaan sadranan, warga
setempat juga turut diundang sebagai makmum (peserta sadranan).
Nyadran adalah tradisi yang dilakukan pada bulan Ruwah
atau Sya’ban. Pada zaman sebelum Islam, upacara ini diselenggarakan untuk
memuja roh para leluhur, selaras Animisme-Dinamisme yang menjadi model
kepercayaan masyarakat saat itu. Namun pada saat sekarang, tradisi ini
mengalami pergeseran makna dan bentuk, yakni dari pemujaan terhadap roh menjadi
ritual untuk menunjukkan bakti seorang anak kepada orangtua. Hal yang menjadi
alasan mengapa orang Jawa melakukannya setiap bulan Sya’ban, karena bulan
tersebut bulan yang tepat (Sri HIdayati, 2003:2-3). Tradisi budaya nyadran
dengan adanya perjalanan waktu, dilaksanakan tidak hanya pada bulan Sy’ban
maupun Ruwah, melainkan saat-saat akan diadakannya hajatan pada suatu warga,
seperti halnya hajatan pernikahan, pendirian rumah, maupun ruwatan. Bahkan saat
menjelang bulan Ramadhan tiba, para warga mengadakan slametan di masjid,
mushola, atau makam.
Menurut Bapak Sukriston, arti dari nyadran
adalah nyadran, ungkapan rasa syukur atas berkah yang diterima lumantar
CiptaanNya, Bumi-Geni-Angin-Lintang-Rembulan-Air-Kayu-Watu dan lain sebagainya,
serta memuji kemuliaan bagi arwah pinuji yang telah nyata berjasa, berjuang
mengembangkan budi pekerti luhur, berjasa membuka cikal bakal cepuren, desa,
wilayah, pejuang kemerdekaan suatu bangsa. Nyadran, menciptakan harmoni
hubungan manusia dengan Tuhan, Manusia dengan manusia, dan hubungan manusia
dengan alam. Nyadran menjadi modal sosial dan kearifan lokal, Nyadran adalah
menyebarkan 'etika' dalam bungkusan estetika tentang kemanusiaan yang adil dan
beradap, Manusia berTuhan (Wawancara, 17 Juli 2013).
Sadranan utawa nyadran yakuwi rangkean kegiatan keagamaan sing wis dadi tradisi
sing dilakoni nang wulan Syakban (Ruwah) menjelang wulan Ramadhan (Puasa).
Tradisi Sadranan wis umum dilakoni masyarakat muslim Asia Tenggara ning kadang
beda jeneng karo beda rangkean kegiatane. Masyarakat Jawa, termasuk juga
masyarakat Banyumasan ngelakoni tradisi kiye sebagai penghormatan maring arwah
leluhur, kerabat/sedulur. Jaman gemiyen acara sadranan dilakoni kanggo pemujaan
maring leluhur uga njaluk maring arwah leluhur, sebab dipercaya nek arwah
leluhur sing wis meninggal kuwe jane esih urip bareng nang dunia kiye. Upacara
sadranan jaman gemiyen nganggo ubarampe sing isine sesajen panganan-panganan
sing ora enak dipangan contone: daging mentah, getih ayam, kluwak. BarAgama
Islam melebu, para Wali
ngerobah upacara sadranan kiye kanthi cara alus ben pada karo ajaran Islam.
Pemujaan karo permohonan maring leluhur dirobah dadi dhonga maring Gusti
Allah. Sesajen sing ora enak
dipangan diganti dadi sajian panganan sing enak. Upacara sing gemiyen dianakna
nang kuburan terus dipindah nang Masjid utawa Mushalla/Langgar uga bisa nang omah kerabat sesepuh/pinisepuh
(http://map-bms.wikipedia.org/wiki/Sadranan).
Nyadran merupakan istilah dari tradisi
kebudayaan yang berada di tanah Jawa. Nyadran identik dengan upacara kematian,
slametan yang ditujukan kepada leluhur. Khasanah kekayaan tradisi yang dimiliki
oleh orang Jawa memang bersumber dari warisan leluhurnya, dan dipercayai akan
membawa nilai-nilai makna tersendiri bagi yang melaksanakan tradisi tersebut. Seiring
Islam merajai tanah Jawa terjadilah akulturasi antara nilai-nilai Islam dengan
tradisi budaya Jawa (kejawen). Nyadran sendiri secara tidak langsung merupakan
wujud pengorbanan terhadap leluhur yang sudah meninggal, dengan wujud sesajen
sebagai sesembahan, adapun yang bilang sesajen sebagai perantara. Selain itu
pula sadranan memiliki nilai-nilai sosialitas orang Jawa terhadap kerukunan
sesama manusia, dengan adanya slametan atau genduri bersama.
Meminjam istilah dari Mariasusai Dhavamony,
nyadran bisa juga diistilahkan dengan pemujaan terhadap leluhur, tradisi ini
dilakukan oleh suku Dahomey dan juga dalam tradisi China kuno. Dalam kepercayaan
China, tradisi pemujaan terhadap leluhur ini memiliki peranan penting yang mana
dalam masyarakat aristokrasi terhadap kepercayaan bahwa roh-roh leluhur
mengawasi nasib manusia memberi hadiah, menghukum menurut jasa atau kekurangan
keturunan mereka, serta menuntut pelayanan dan ketaatan mereka. Pemujaan
terhadap roh leluhur ini dipuja ditempat-tempat suci keluarga, yang terletak
disudut barat daya rumah. Di Jepang terdapat juga pemujaan terhadap leluhur dan
telah dikembangkan dalam agama Shinto sebagai bentuk penghormatan nasional. Pemujaan
terhadap leluhur juga terdapat pada suku-suku lainnya. Pemujaan leluhur ini
hanyalah satu bagian dari kompleksitas total kelembagaan religious dan ritual
serta sebagai bentuk penghormatan, pemujaan, dan persembahan untuk leluhur (Davamony,
1995:79-82). Tradisi budaya seperti nyadran tidak hanya di tanah Jawa saja,
melainkan seperti Jepang, dan China juga ada, namun berbeda wujud ritualnya,
akan tetapi makna yang terkandung didalamnya memiliki kesamaan nilai-nilai
wujud penghormatan terhadap leluhur yang sudah meninggal dunia. Berbagai bentuk
tradisi budaya pada suatu daerah, intinya sama, yaitu menghormati arwah para
leluhur dan ucapan rasa syukur atas kenikmatan yang diberikan dari Sang
Pencipta.
Nyadran selalu identik dengan pola prilaku
slametan di tempat-tempat wingit, orang
Jawa selalu memadukan antara slametan dengan sedekah, sebab kedua hal tersebut
merupakan kesatuan yang ada pada ritual nyadran. Slametan merupakan nilai-nilai
tradisi yang dilakukan oleh orang Jawa, sedangkan sedekah merupakan nilai-nilai
ajaran dari Agama Islam. Perpaduan antara slametan dan sedekah sendiri sering
nampak pada aktivitas sadranan. Menurut Beatty (2001:197), slametan merupakan
suatu rangkaian upacara makan seremonial yang dilakukan secara bersama dengan
menyajikan sesajian berupa makanan, adanya sambutan resmi, dan doa.
Mempererat tali silaturrohim dalam tradisi
nyadran merupakan khasanah kekayaan nilai-nilai keharmonisan pada masyarakat
Jawa. Masyarakat Jawa sendiri memiliki nilai-nilai keharmonisan kerukunan,
gotong-royong, dan menciptakan ketentraman dalam nuansa kekeluargaan. Sebagai
makhluk sosial, masyarakat Jawa mengedepankan kerukunan serta memiliki jiwa
integritas yang tinggi. Sistem tradisi budaya yang terbangun dalam masyarakat
Jawa sudah mengakar kuat dalam bentuk konsep pola prilaku seperti nyadran atau
sadranan. Sehingga ketika tradisi nyadran tidak dilaksanakan, maka ada
nilai-nilai keharmonisan antara manusia dengan leluhur yang hilang.
Sistem nilai budaya, pandangan hidup, dan
ideologi, merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat istiadat. Hal ini disebabkan karena
nilai-nilai budaya itu merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam
alam pikiran sebagian besar dari warga sesuatu masyarakat mengenai apa yang
mereka anggap bernilai berharga, dan penting dalam hidup, sehingga dapat
berfungsi sebagai pedoman yang memberi arah dalam orientasi kepada kehidupan
para warga masyarakat tadi (Koentjaraningrat, 2012:190). Sadranan kuwe hakekate
ialah kesadaran menungsa maring perkara urip karo meninggal. Sing wis meninggal
ganu ngelairna sing esih urip, sing esih urip mengkone nyusul sing wis mati (Sangkan Paraning Dumadi). Sadranan uga ngandung makna nek menungsa
kuwe kudhune terus eling nek dheweke urip kuwe hakekate bebarengan karo
ngenteni meninggal, kiye mangsude ben saben ngelakoni apa baen dong esih urip
kudhu ngati-ati (http://map-bms.wikipedia.org/wiki/Sadranan).