Jumat, 01 Agustus 2014

“MUSEUM MINI SEKOLAH “ SEBAGAI TEMPAT ALTERNATIF PROSES BELAJAR ANAK DIDIK TINGKAT SMA/MA SEBAGAI BENTUK MEMAHAMKAN MATERI ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

Proses pembelajaran merupakan indikasi untuk pemahaman materi terhadap anak didik. Sebagai pengajar membiasakan proses mengajarnya selalu ada pembaharuan, secara tidak langsung anak didik tidak merasa bosan ataupun jenuh. Selama ini mayoritas mengajar masih menggunakan metode ceramah, dan penggambaran pola pikir secara abstrak, sehingga anak didik masih mengalami kesulitan secara pengaplikasian sebuah contoh materi ajar. Sehingga dengan

adanya konsep pengajaran melalui museum mini yang ada di lingkungan lembaga pendidikan, setidaknya memberikan pembaharuan dalam metode pengajaran untuk memahamkan suatu materi ajar kepada peserta didik. Mengajar dengan pengaplikasian contoh yang nyata setidaknya akan mempercepat pemahaman anak didik terhadap suatu materi, daripada dengan menggunakan metode ceramah yang hanya memberikan contoh materi yang monoton.

Pendidikan secara tidak langsung akan berdampak positif terhadap keberadaan anak didik, ketika lingkungan selalu mendukung proses pembelajaran. Dengan adanya lingkungan yang kondusif, kreatif, dan inovatif, bisa mengakibatkan pola prilaku berpikir positif bagi anak didik. Dunia belajar anak didik pada suatu lembaga pendidikan sekolah, mempengaruhi proses berpikir, pola tingkah, dan kemajuan kepribadian anak dalam segi pengembangan dirinya. Anak didik akan mempunyai peningkatan kreativitas berpikir, manakala guru mampu dengan baik mengarahkan, membimbing, dan memberikan pencerahan serta pembaharuan. Kehidupan lingkungan lembaga pendidikan mampu memberikan karakter positif terhadap peserta didiknya.

Menurut Hilgrad dan Bower (Fudyartanto, 2002), belajar (to learn) memiliki arti: 1). To gain knowledge, comprehension, or mastery of trough experience or study, 2). To fix in the mind or memory, memorize, 3). To acquire trough experience,  4). To become in forme of to find out. Menurut definisi tersebut, belajar memiliki pengertian memperoleh pengetahuan, atau menguasai pengetahuan melalui pengalaman, mengingat, menguasai pengalaman, dan mendapat informasi atau menemukan. Dengan demikian, belajar memiliki arti dasar adanya aktivitas atau kegiatan dan penguasaan tentang sesuatu (dalam Baharuddin & Wahyuni, 2010:13). Sehingga pada dasarnya, belajar merupakan suatu aktivitas yang menitikberatkan kepada pola prilaku anak didik menuju kebaikkan.
Belajar merupakan proses manusia untuk mencapai berbagai macam kompetensi, keterampilan, dan sikap. Dengan adanya pengembangan dan pemberdayaan kreatifitas dalam suatu lembaga pendidikan, setidaknya dari pihak intern mampu mendorong dan mendukung keberadaan pengembangan dan pemberdayaan yang menjadi terwujudnya kebersamaan pembaharuan dalam dunia pendidikan yang harmonis, dinamis, dan saling mendukung satu sama lainnya. Proses pendidikan bermula dari kebudayaan yang dimiliki pada sebuah lingkungan lembaga pendidikan itu sendiri, sehingga tercermin sudah manakala pendidikan itu terjadi proses transferisasi dari pengajar ke anak didik.
Pembelajaran merupakan proses pemahaman, pengetahuan, pengembangan, serta pembimbingan terhadap anak didik, agar mereka bertambah wawasan ilmu pengetahuannya. Dengan berproseslah anak didik tentunya mampu mencerna segala aktivitasnya dalam lingkungan lembaga pendidikan, untuk dijadikan pembelajaran dalam dirinya. Menurut Nana Syaodih Sukmadinata (2007:97-98), pendidikan merupakan kegiatan untuk membantu perkembangan peserta didik mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Kegiatan pendidikan berintikan interaksi antara peserta didik dengan pendidikan dan sumber-sumber pendidikan lain, dan berlangsung dalam suatu lingkungan pendidikan.
Lingkungan sekolah juga mempunyai peran aktif dalam rangka mendukung proses kegiatan belajar mengajar, hal itu diperlukan untuk memenuhi hasrat kegiatan belajar dan mengajar untuk peserta didik. Adapun salah satu konsep yang juga memiliki indikasi nilai-nilai pembelajaran yang dibutuhkan oleh pengajar dan anak didik yaitu diadakannya museum mini di lembaga pendidikan sekolah. Keperluan dari keberadaan museum mini ini untuk menambah wawasan pengetahuan kearifan lokal, maupun wawasan nasional, yang masih ada kaitannya dengan materi pembelajaran.
Keberadaan lingkungan pendidikan, pada dasarnya sangat mempengaruhi keberadaan proses belajar mengajar. Berbagai inovasi, kreatifitas, dan imajinasi serta pembaharuan yang dapat mendukung proses belajar setidaknya menjadi peran utama dalam rangka meningkatkan, memahamkan, serta memberi wawasan terhadap peserta didik. Lembaga pendidikan yang kreatif, tidak meninggalkan sisi nilai-nilai yang baik untuk mencerminkan dunia pendidikan yang kreatif, inovatif, dan dinamis.

Ruang Lingkup Penulisan
Proses pembelajaran memang memerlukan bukti autentik dalam belajarnya, sehingga untuk mencontohkan suatu materi ajar kepada peserta didik memerlukan bukti yang nyata. Untuk itulah dalam konsep tulisan ini menyajikan betapa dibutuhkannya suatu ruangan khusus “Museum Mini”. Keberadaan ruangan tersebut untuk dijadikan tempat untuk pemahaman anak didik dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial ditingkat SMA/MA. Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial ditingkat SMA/MA dapat kita ketahui ada beberapa macam, seperti: sejarah, antropologi, sosiologi, ekonomi, akutansi, dan geografi.
Dengan cabang mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial yang diajarkan ditingkat SMA/MA tersebut pada dasarnya memerlukan bukti fisik saat materi ajar sedang berlangsung. Keberadaan museum mini ini diharapkan mampu mencontohkan materi ajar secara positif kepada peserta didik. Koleksi yang berada di museum mini tersebut mencangkup materi kesejarahan, materi antropologi, materi sosiologi, materi ekonomi, materi akuntansi dan materi geografi. Guru sebagai pengajar tidak mengalami kesulitan saat memberikan contoh kepada anak didiknya, manakala museum mini terbentuk secara aktif dalam mendukung proses pembelajaran.
Konsep keberadaan Museum Mini yang berada di lembaga pendidikan, setidaknya mampu meng-update koleksinya. Berbagai materi barang fisik, maupun materi dalam bentuk multimedia, mampu menyesuaikan perkembangan proses pembelajaran. Hal itu merupakan indikasi sikap lembaga yang konsisten untuk meningkatkan dan memperdayakan dunia pendidikan lebih maju. Lembaga pendidikan yang baik, manakala mampu menyesuaikan kebutuhan mengajar untuk memahamkan peserta didik.

Manfaat Bagi Guru
Museum mini yang berada di lembaga pendidikan memang terkonsep untuk memahamkan anak didiknya dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan pemahamannya. Keberadaan museum mini memiliki nilai-nilai kemanfaatan bagi pengajar atau guru, diantaranya: Guru senantiasa dengan mudah memberikan pemahaman terhadap anak didik dengan memberikan contoh materi ajar secara nyata. Keberadaan museum mini bagi guru yang mengajar IPS merupakan wujud perhatiannya untuk mengembangkan dunia pendidikan. Guru dapat langsung menilai peserta didik dalam segi perkembangan pola pikirnya, ketika guru mengajak di museum mini yang berada di lembaga pendidikannya. Untuk mencari inovasi dalam pembelajaran, sehingga tidak hanya monoton di kelas, melainkan anak didik bisa dibawa ke ruang museum mini. Dengan fasilitas yang sudah memadai dalam proses mengajar, guru setidaknya memiliki asupan semangat untuk terus memberikan yang terbaik bagi pendidikan.

Manfaat Bagi Anak Didik
Anak didik pergi ke sekolah, tentunya dengan niat untuk mencari ilmu yang bermanfaat, dan ilmu yang mampu menjadikan dirinya membentuk karakter pribadi ketika nanti sudah berada di masyarakat. Ilmu sendiri tidak hanya sekedar dicari, melainkan juga harus dipahami, dimaknai, serta diamalkan. Begitu pula manfaat keberadaan museum mini bagi anak didik memiliki nilai-nilai positif yang mampu ditelaah oleh mereka, yaitu: Dengan adanya contoh pengajaran yang nyata, anak didik mampu memaknai, meresapi, dan mengetahui contoh materi ajar yang sedang dibahas. Adanya perkembangan inovasi dalam proses pembelajaran IPS, anak didik semakin semangat untuk terus meningkatkan belajarnya.   Perubahan berpikir, pola prilaku, akan sangat memperngaruhi anak didik ketika mereka langsung diberikan contoh materi ajar di museum mini. Bagi anak didik keberadaan museum mini merupakan wujud apresiasi positif dari lembaga pendidikan kepada anak didik sehingga terdapat pembaharuan dalam proses pembelajaran. Dengan berbagai bentuk contoh fisik, yang berada di museum mini, setidaknya anak didik semakin giat belajar untuk menambah wawasan pengetahuan materi pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial.

KERANGKA TEORITIK
Teori Museum Mini
Museum mini yang berada di lembaga pendidikan, merupakan museum yang sarat dengan materi koleksi, disesuaikan dengan materi pelajaran. Keberadaan museum mini memiliki ciri-ciri yang educative, innovative, creative, dan mampu memberikan sifat pemahaman terhadap peserta didik. Belajar di ruangan museum mini, setidaknya mampu merubah pola pikir anak dari abstrak menuju realita. Sebab, apabila guru mengajar di ruang kelas anak didik nampak monoton, tanpa ada contoh fisik materi yang nyata. Sehingga dengan adanya ruang museum mini, akan menjadi setereosasi pembelajarannya, yaitu ada contoh bukti fisik untuk materi pelajaran.
Museum dikenal dengan ciri-ciri memiliki gedung yang tinggi, kokoh, dan terdapat berbagai arca-arca dan koleksi sejarah. Namun tidak semacam itu keberadaan museum mini yang ada di lembaga pendidikan. Museum mini ini menampung berbagai bukti fisik yang dijadikan contoh pada saat materi ajar yang sedang dipelajari. Sehingga inti dari konsep keberadaan museum mini adalah untuk memahamkan materi ajar kepada peserta didik melalui bukti fisik sebagai contoh saat materi pelajaran yang dibahas. Namun juga harus disadari, keberadaan museum mini hanyalah sebagai alat untuk memahamkan, sehingga perlu peng-update-an koleksi.
Didalam ruangan museum mini, pengajar dan yang diajar tidak hanya monoton melihat benda koleksi saja, namun komunikasi aktif menjadi sinergi positif. Berbagai diskusi, sesi pertanyaan, serta Tanya jawab, menjadi komunikasi aktif agar anak didik mampu menghayati, memahami, serta merespon materi pelajaran yang sedang diajarkan oleh guru. Komunikasi yang aktif antara pengajar dan anak didik saat berada di ruang museum mini, secara tidak langsung akan memberikan kontribusi membentuk karakter anak didik.
Inti dari keberadaan museum mini adalah koleksi dan pembelajaran, sehingga perlunya desain museum mini yang menarik bisa membuat anak didik betah dan semangat untuk belajar. Dengan adanya museum mini tersebut, guru tidak perlu membawa siswanya untuk keluar areal sekolah dalam rangka berkunjung di museum luar. Dengan dilandasi ingin memberikan pengetahuan yang luas bagi siswa-siswinya, setidaknya museum mini merupakan alternatif yang bersifat positif dalam memahamkan mata pembelajaran IPS.
Menurut siswi yang bernama Triola Handayani, Perlu sekali dibangunkannya museum mini di lingkup lembaga pendidikan, selain untuk menambah ilmu pngetahuan, dan dapat mendekatkan museum dengan siswa itu sendiri, dan dapat menambah pengetahuan, serta para siswa tidak perlu jauh-jauh lagi untuk ke museum luar, jadi sangat perlu sekali keberadaan museum mini (wawancara, 10 Juni 2013/07:14 WIB). Sedangkan menurut Reny Anggarwati, keberadaan museum di lembaga pendidikan sangat diperlukan, meskipun koleksinya semacam layang-layang, boneka, Arca, serta tidak hanya sejarah. Hal semacam itu untuk meningkatkan pendidikan siswanya (wawancara, 10 Juni 2013/13:28 WIB).
Museum, berdasarkan definisi yang diberikan International Council of Museums disingkat ICOM, adalah institusi permanen, nirlaba, melayani kebutuhan publik, dengan sifat terbuka, dengan cara melakukan usaha pengoleksian, mengkonservasi, meriset, mengomunikasikan, dan memamerkan benda nyata kepada masyarakat untuk kebutuhan studi, pendidikan, dan kesenangan. Karena itu ia bisa menjadi bahan studi oleh kalangan akademis, dokumentasi kekhasan masyarakat tertentu, ataupun dokumentasi dan pemikiran imajinatif pada masa depan dan sejak tahun 1977 tiap tanggal 18 Mei diperingati sebagai hari Hari Museum Internasional (http://id.wikipedia.org/wiki/Museum).
Museum sebagai wahana pembelajaran yang kreatif, dan mampu untuk membuat anak didik semakin menyukai proses pembelajaran, terutama pada mata pelajaran IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial). Materi koleksi yang mencukupi museum mini, tentu akan berdampak positif, guru mudah mengajar dengan memberikan contoh, dan siswa akan menjadi senang, nyaman, dan semangat untuk belajar. Pada dasarnya dengan adanya sedikit pembaharuan dalam proses pembelajaran, akan membuat pembelajaran terasa dinikmati, nyaman tanpa ada rasa beban baik bagi guru maupun peserta didiknya.
Secara etimologis, museum berasal dari kata Yunani, mouseion, yang sebenarnya merujuk kepada nama kuil untuk sembilan Dewi Muses, anak-anak Dewa Zeus yang melambangkan ilmu dan kesenian. Bangunan lain yang diketahui berhubungan dengan sejarah museum adalah bagian kompleks perpustakaan yang dibangun khusus untuk seni dan sains, terutama filosofi dan riset di Alexandria oleh Ptolemy I Soter pada tahun 280 SM. Museum berkembang seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan manusia semakin membutuhkan bukti-bukti otentik mengenai catatan sejarah kebudayaan. Di Indonesia, museum yang pertama kali dibangun adalah Museum Radya Pustaka. Selain itu dikenal pula Museum Gajah yang dikenal sebagai yang terlengkap koleksinya di Indonesia, Museum Wayang, Persada Soekarno, Museum Tekstil serta Galeri Nasional Indonesia yang khusus menyajikan koleksi seni rupa modern Indonesia. (http://id.wikipedia.org/wiki/Museum).
Perlunya museum mini sebagai pembaharuan dalam proses pemahaman mata pembelajaran IPS pada tingkat SMA/MA memang sangat dibutuhkan. Wawasan Ilmu Pengetahuan Sosial setiap detiknya mengalami penambahan informasi, perkembangan wawasan, serta kita harus pandai dalam mengambil informasi yang baik. Museum mini, konsep pembaharuan dalam memberikan contoh bukti fisik dalam proses pembelajaran IPS, sebagai wadah informasi anak didik dan tentunya bagi warga lembaga. Sehingga kedepannya museum mini menjadi education centers hang of social science.
Pendidikan yang khas merupakan identitas suatu lembaga pendidikan yang dapat diunggulkan, mampu diberdayakan dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan mengajar dan peserta didik. Lembaga pendidikan merupakan kesatuan sistem yang harus optimal dalam memberikan proses pembelajaran dengan baik, dan mudah dilaksanakan oleh pengajar serta memahamkan peserta didiknya. Dengan adanya sistem yang dipermudah dan harmonis, akan melahirkan kelancaran dalam melahirkan anak didik sebagai generasi yang cerdas, terampil, berpikir inovasi, dan mampu membanggakan pribadi, lembaga, dan keluarganya serta memiliki akhlak yang baik.

Konsep Belajar di Museum Mini
Ruangan museum mini tentu didesain berbeda daripada ruangan kelas yang biasa dipakai mengajar setiap harinya, sehingga kenyaman belajar diutamakan. Ruangan museum mini tertata layaknya museum-museum yang sering kita kunjungi, dengan dinamisnya keberadaan ruangannya tertata secara rapi, pencahayaan yang baik, dan diutamakan kebersihannya. Sebagai pengajar memang membutuhkan media fisik yang harus ditunjukkan kepada anak didiknya agar mereka paham dan mengetahui secara langsung. Koleksi di museum setidaknya selalu memberikan perubahan pola pikir pada peserta didik. Pendidikan pada dasarnya merupakan merubah dari yang belum tahu menjadi mengetahui, dari yang baik agar menjadi sangat baik. Sehingga keberadaan museum mini di lembaga pendidikan merupakan tempat alternatif dalam proses memahamkan pembelajaran IPS.
Didalam proses belajar, tentunya berbagai permasalahan sangat komplek sekali, terutama dalam pembahasan materi ajar. Sehingga salah satu alternatif memecahkan permasalahan materi ajar, terlabih dahulu kita mencari referensi maupun literatur yang dapat dijadikan sumber pengetahuan. Dengan kontens dan karakteristik yang dimiliki oleh museum mini, mampu mempertahankan sudut pendidikannya. Karakter yang mampu membangun olah pikir peserta didik, serta dengan adanya museum mini, mampu bernarasi dengan baik untuk menambahkan wawasan pengetahuan anak didik.
Didalam konsep pengajaran di museum mini yang dimiliki oleh lembaga pendidikan, setidaknya memberikan ruang waktu bagi pengajar dan anak didik agar mampu merubah setigma proses pembelajaran yang selama ini masih dianggap monoton. Dengan keberadaan lingkungan lembaga pendidikan yang kondusif, harmonis, serta variatif dalam proses pembelajarannya, akan menjadi daya tarik sendiri. Menurut Adler, seperti halnya potongan tumbuhan dipengaruhi oleh tanah, cahaya, air, dan perhatian individual, demikian juga perkembangan siswa di sekolah bergantung pada lingkungan kelas dan perhatian yang mereka terima. Kepedulian, perhatian terhadap tiap individu, harus menjadi bagian dari lingkungan sekolah mereka. Lingkungan membentuk orang. Bahkan, percakapan yang sangat singkat memiliki tenaga untuk mengikis atau memperkuat pemahaman seseorang atau dirinya sendiri (dalam Elaine B. Johnson, 2010:226-227).
Menurut paradigma konstruktivistik, ilmu pengetahuan bersifat sementara terkait dengan perkembangan yang dimediasi baik secara sosial maupun kultural, sehingga cenderung bersifat subyektif. Belajar menurut pandangan ini lebih sebagai proses regulasi diri dalam menyelesikan konflik kognitif yang sering muncul melalui pengalaman konkrit, wacana kolaboratif, dan interpretasi. Belajar adalah kegiatan aktif siswa untuk membangun pengetahuannya. Siswa sendiri yang bertanggung jawab atas peristiwa belajar dan hasil belajarnya. Siswa sendiri yang melakukan penalaran melalui seleksi dan organisasi pengalaman serta mengintegrasikannya dengan apa yang telah diketahui. Belajar merupakan proses negosiasi makna berdasarkan pengertian yang dibangun secara personal. Belajar bermakna terjadi melalui refleksi, resolusi konflik kognitif, dialog, penelitian, pengujian hipotesis, pengambilan keputusan, yang semuanya ditujukan untuk memperbaharui tingkat pemikiran individu sehingga menjadi semakin sempurna (dalam makalah  I Wayan Santyasa).
Inovasi dalam proses pembelajaran, merupakan tindakan positif yang harus mendapatkan apresiasi dari lembaga pendidikan. Sehingga dengan adanya perkembangan dan pemberdayaan dalam proses pembelajaran akan menjadi acuan dalam pengembangan-pengembangan metode pembelajaran berikutnya. Pengajar jangan sampai disibukkan dengan administrasi yang berlebihan, agar mereka mampu untuk berkreasi dan konsentrasi secara optimal. Proses pembelajaran dengan adanya museum mini, tidak harus mengeluarkan kinerja yang terlalu besar, sebab guru sebagai pengajar yang aktif dalam membimbing peserta didiknya di dalam museum mini tersebut. Pengasahan pola pikir anak didik, menjadi keutamaan yang dinamis. Guru membimbing dengan pengetahuan yang dikuasainya, sehingga keberadaan museum mini sebagai tempat untuk pemahaman pada materi ajar.
Setiap peserta didik memiliki kewajiban dan hak untuk mengembangkan serta memberdayakan kapasitasnya secara optimal, kreatif, dan mengadaptasikan dirinya sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan lembaga pendidikannya. Setiap individu anak didik mampu melakukan customization baik ketika proses pembelajaran, maupun sudah berada di masyarakat nantinya. Wawasan yang mumpuni akan memberikan peluang baik selama anak didik mampu mengoptimalkan potensi diri dan lingkungan yang ada. Pembelajaran seharusnya menjadi aktivitas yang bermakna, mampu mengaktualisasikan seluruh potensi yang ada. Pada dasarnya pembelajaran itu terletak pada prosesnya, museum mini sebagai wadah proses pemahaman, anak didiklah yang setidaknya mampu menyimpulkan dari proses tersebut sebagai pembelajaran.

Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
Secara umum, tentunya pasti mengenal atau pernah mendengar istilah keberadaan Ilmu Pengetahuan Sosial atau biasa disingkat IPS. Sejak duduk dibangku Sekolah Dasar bahkan sesudah lulus sarjana, mendengar istilah Ilmu Pengetahuan Sosial sudah tidak asing lagi. Sehingga secara tidak langsung Ilmu Pengetahuan Sosial atau IPS merupakan ilmu masyarakat, lingkungan, dan kepribadian, yang selalu bersinggungan langsung dengan kehidupan disekitar. Ketika nanti sudah berada di masyarakat, tetap memakai Ilmu Pengetahuan Sosial dalam bersinggungan dengan lingkungan.
Istilah pendidikan IPS dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia masih relatif baru digunakan. Pendidikan IPS merupakan padanan dari social studies dalam konteks kurikulum di Amerika Serikat. Istilah tersebut pertama kali digunakan di Amerika Serikat pada tahun 1913 mengadopsi nama lembaga Sosial Studies yang mengembangkan kurikulum di Amerika Serikat (Marsh, 1980; Martoella, 1976, dalam internet http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2011/03/12/karakteristik-mata-pelajaran-ilmu-pengetahuan-sosial-ips/).
Ilmu sosial (Inggris: social science) atau ilmu pengetahuan sosial (Inggris: social studies) adalah sekelompok disiplin akademis yang mempelajari aspek-aspek yang berhubungan dengan manusia dan lingkungan sosialnya. Ilmu ini berbeda dengan seni dan humaniora karena menekankan penggunaan metode ilmiah dalam mempelajari manusia, termasuk metode kuantitatif dan kualitatif. Istilah ini juga termasuk menggambarkan penelitian dengan cakupan yang luas dalam berbagai lapangan meliputi perilaku dan interaksi manusia pada masa kini dan masa lalu. Berbeda dengan ilmu sosial secara umum, IPS tidak memusatkan diri pada satu topik secara mendalam melainkan memberikan tinjauan yang luas terhadap masyarakat (http://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu_sosial).
Namun pengertian di atas merupakan makna secara meluas pemahamannya mengenai pengertian Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Dalam tingkat SMA/MA keberadaan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial memang pelajaran yang mendasar. Keberadaan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) sendiri dibagi menjadi; sejarah, antropologi, sosiologi, ekonomi, akutansi, dan geografi. Sehingga dengan adanya pengembangan dan pemberdayaan mengenai pemahaman materi ajar mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, dapat memberikan ruang dan waktu bagi peserta didik untuk menambah wawasan pengetahuan sosial.
Sebutan Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai mata pelajaran dalam dunia pendidikan dasar dan menengah di negara kita, secara historis muncul bersamaan dengan diberlakukannya Kurikulum SD, SMP, dan SMA tahun 1975. IPS memiliki kekhasan dibandingkan dengan mata pelajaran lain sebagai pendidikan disiplin ilmu, yakni kajian yang bersifat terpadu (integrated), interdisipliner, multidimensional bahkan cross-diciplinary (Numan Somantri, 2001: 101, dalam Internet staff.uny.ac.id/sites/default/files/Pendidikan%20IPS%20SD.pdf‎).
Menurut siswa-siswi yang bernama Muhammad Barul dan Aning Septiani, yang mengambil kelas Jurusan IPS Unggulan di MAN Tulungagung 1, makna dari Ilmu Pengetahuan Sosial adalah sebuah ilmu yang sangat penting karena IPS adalah ilmu yang menyangkut keseluruhan pengetahuan sosial, di dalam IPS banyak mengandung unsur-unsur yang mempelajari tentang masyarakat, budaya, sejarah, ekonomi dan lain sebagainya.  Ilmu IPS merupakan ilmu yang sangat luas. Karena ilmu IPS harus mengetahui bagian-bagiannya secara mendetail. Tanpa kita tahu bagian yang kecil terlebih dahulu kita tidak akan mengerti bagian yang besar. Karena itu ilmu IPS adalah ilmu yang luas. Misalnya, tanpa kita membaca kita juga tidak akan mengerti apa maksud dari hal yang diinginkan. Dan ilmu IPS juga tidak bisa di kira-kira, karena sudah ada fakta pada zaman dahulu atau hal yang berkaitan dengan zaman sekarang (Wawancara, 15 Juni 2013/11:30 WIB).
Pada dasarnya Ilmu Pengetahuan Sosial adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari keberadaan sosial, baik sosial lingkungan sekitar, sosial masyarakat, dan sosial-sosial yang lainnya. Dengan ilmu yang dimiliki anak didik, maka akan terjadi pemahaman yang baik mengenai keberadaan pengertian sosial secara nyata dalam dunia pendidikan maupun ketika mereka sudah berada di masyarakat.

Komunikasi Pengajar dengan Anak Didik
Kualitas proses pembelajaran dipengaruhi oleh efektif tidaknya dalam komunikasi antara pengajar dan anak didik. Komunikasi yang efektif akan memberikan ruang dan waktu bagi peserta didik untuk menangkap materi, memahami, serta mengerti transformasi ilmu yang disampaikan oleh pengajar. Sehingga guru sebagai transformasi ilmu kepada anak didiknya, selayaknya memiliki kemampuan komunikasi aktif yang baik. Sebagai seorang guru memiliki tanggungjawab penuh terhadap komunikasi didalam proses pembelajaran, sebagai pengajar dituntut memiliki komunikasi yang baik, sopan dan santun, agar proses pembelajaran berjalan lancar tanpa ada komunikasi yang monoton.
Menurut Onong Ucahyana mengatakan, komunikasi sebagai proses komunikasi pada hakikatnya adalah proses penyampaian pikiran, atau perasaan oleh seorang komunikator kepada orang lain (komunikan). Pikiran bisa merupakan gagasan, informasi, opini, dan lain-lain yang muncul dari benaknya. Perasaan bisa berupa keyakinan, kepastian, keraguan, kekhawatiran, kemarahan, keberanian, kegairahan, dan sebagainya yang timbul dari lubuh hati (Ucahyana, 2002:11 dalam Bungin, 2009:31). Sehingga komunikasi bisa efektif apabila guru (komunikan) memiliki wawasan yang luas, untuk ditranformasikan kepada peserta didik. Ketika wawasan luas dan selalu memberikan pemahaman kepada anak didik, merupakan wujud guru yang harmonis dan mampu menempatkan posisi sebagai pendidik yang baik.
Guru sebagai kelompok sosial tentunya memiliki strategi komunikasi yang optimal, ketika memberikan pengajaran kepada siswa-siswinya. Guru setidaknya memiliki pemahaman bahasa komunikasi yang baik, sehingga anak didik tidak mengalami kesulitan ketika menyimak pembahasan materi ajar. Melihat sasaran objeknya, guru harus sesering mungkin memahami karakteristik anak didik di setiap kelas, untuk itu guru mampu berkomunikasi dengan baik agar dapat memahami kekurangan dan kelebihan anak didiknya dalam menutut ilmu.
Sehingga sebagai guru maupun pengajar harus memiliki pengetahuan yang luas dan memadai, hal tersebut untuk memberikan wawasan pula kepada anak didiknya. Pengetahuan adalah hasil dari belajar pula yang didapat dari pengalaman, baik pengalaman pengindraan, membaca buku, berpikir maupun dari referensi, sehingga kita mampu mengetahui dan memahami materi tersebut. Dengan sikap yang tegas sebagai pengajar, mampu mendidik anaknya menuju kepribadian berkarakter positif. Menurut Bonner bahwasanya, kebutuhan utama manusia dan untuk menghadirkan jiwa yang sehat, manusia membutuhkan hubungan sosial yang ramah. Kebutuhan ini dapat terpenuhi dengan sempurna bila manusia membina komunikasi yang baik dengan orang lain (Bonner, 1953, dalam Rahmad, 2003:89).
Komunikasi selalu dibarengi dengan naluri kejiwaan sebagai seorang pengajar, namun setidaknya menjadi pengajar harus memiliki talenta dalam berkomunikasi yang baik, bahasa positif, tanpa mengeluarkan kata-kata negatif, maupun tidak menyinggung perasaan anak didiknya. Guru sebagai makhluk yang sosial harus mampu menempatkan dirinya pada posisi yang baik, tidak mematikan karakter anak didiknya, bahkan kalau perlu sebagai pendidik selalu memotivasi anak didiknya. Pengajar dan yang diajar membutuhkan hubungan sosial yang harmonis, dinamis, serta bersinergi, dengan adanya komunikasi yang baik pulalah akan membentuk sinergi positif dalam menambah pengetahuan, antara pengajar dan yang diajar.
Tentunya yang kita harus ingat dalam komunikasi adalah memposisikan bahasa sebagai alat untuk memahamkan dalam komunikasi. Sehingga didalam komunikasi posisi kebahasaan sangatlah penting sekali untuk bisa dipahami makna yang dikomunikasikan. Menurut Brown dan Yule (1983:3-4), bahwasanya komunikasi adalah aktivitas sosial (dalam Suparno, 2000:2). Sehingga komunikasi dan bahasa, merupakan wujud kesatuan yang harus dimiliki setiap pengajar, agar mampu mengajar dengan baik dan benar. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Alwi, 2002:88), bahwasanya pengertian bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh semua orang atau anggota masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan mengidentifikasi dalam bentuk percakapan yang baik, tingkah laku yang baik, sopan santun.
Bahasa sebagai sarana atau media pemahaman ilmu pengetahuan yang tidak terlepas dari tujuan, yaitu bahasa sebagai alat pemahaman. Dengan berbahasa yang baik dan benar, secara tidak langsung akan menunjukkan sifat penalaran yang baik dan logis, dengan bernalar yang baik pula dapat dilatih dengan berbahasa yang baik, tutur kata yang sopan, meskipun itu seorang pendidik. Tujuan utama dalam berbahasa sebagai media komunikasi adalah untuk memperoleh sifat-sifat pemahaman dari komunikan, serta mampu menelaah nilai-nilai dari yang dikomunikasikan dengan baik.
Di dalam pemakaian bahasa ditemukan sejumlah ragam bahasa. Ragam bahasa merupakan salah satu dari sejumlah variasi yang terdapat dalam pemakaian bahasa. Variasi itu muncul karena pemakaian bahasa memerlukan alat komunikasi yang sesuai dengan situasi dan kondisinya. Agar banyaknya variasi itu tidak mengurangi fungsi bahasa sebagai alat komunikasi yang efisien, dalam bahasa timbul mekanisme untuk memilih variasi tertentu yang cocok untuk keperluan tertentu. Variasi itu disebut ragam standar (Kridalaksana, 1985:134).
Sehingga komunikasi antara pengajar dan yang diajar, setidaknya memiliki sifat memahamkan yang baik, tidak negatif. Namun keberadaan bahasa yang baik juga akan memberikan sinergi yang positif, untuk menghasilkan khasanah wawasan pengetahuan yang baru. Keberadaan museum mini yang menjadi konsep sebagai tempat memahamkan materi ajar Ilmu Pengetahuan Sosial, setidaknya sebagai pengajar juga memberikan komunikasi yang baik untuk memahamkan materi ajar kepada anak didik. Museum mini, komunikasi dengan bahasa yang baik, dan sifat memahamkan materi ajar dengan contoh yang nyata, setidaknya menjadi trobosan dalam mengajar.

METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian ini, merupakan langkah untuk mendapatkan sumber data maupun referensi didalam penulisan. Sehingga dengan adanya metode penelitian mampu mengoptimalkan pencarian sumber data, atau sumber referensi untuk menghasilkan data yang baik, dan tentunya sesuai dengan yang diharapkan.

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian untuk mengembangkan dan memberdayakan objek penelitian yang pada dasarnya bisa diberdayakan secara positif. Kegunaan penelitian ini untuk mengetahui perkembangan proses pembelajaran secara baik. Waktu penelitian kali ini peneliti mulia dari tanggal 15 Mei 2013 hingga 20 Juni 2013. Mengambil tempat penelitian di lembaga pendidikan Islam MAN Tulungagung 1, dengan alamat Jl. Ki Hadjar Dewantara, Beji, Boyolangu, Tlp. 0355 321693, Kabupaten Tulungagung, Kode Pos 66233, Propinsi Jawa Timur.
Di MAN Tulungagung 1 pada tahun pelajaran 2013/2014 akan mulai diadakannya keberadaan museum mini, dengan konsep sebagai media pembelajaran. Maka dari itu penulis mengambil objek penelitian di MAN Tulungagung 1 dengan mengambil tema proses pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dengan indikator pemahaman materi ajar Ilmu Pengetahuan Sosial, di ruang Museum Mini.

Teknik Pengumpulan Data
Penelitian kali ini teknik pengumpulan data sangat diperlukan, sebagai bahan literatur dan pengkajian referensi. Adapun teknik pengumpulan sumber data yang peneliti lakukan, diantaranya:

Wawancara
Peneliti menggunakan metode wawancara, karena dengan adanya hasil wawancara untuk melengkapi hasil penelitian dengan secara langsung dari pendapat anak didik serta warga, baik bapak ibu guru di MAN Tulungagung 1. Wawancara merupakan metode untuk melengkapi keberadaan penelitian sebagai sumber literatur sekunder. Dengan wawancara maka kita langsung bertatap muka untuk mencari informasi-informasi yang sedang peneliti butuhkan.
Wawancara merupakan suatu kegiatan untuk memperoleh data dengan cara bertanya langsung kepada responden atau sumber informan. Data yang diperoleh dari hasil wawancara ini dijadikan sebagai pembanding untuk menguatkan argumen-argumen (Bungin, 2001:58-59). Metode wawancara atau metode interview, mencakup cara yang dipergunakan kalau seseorang, untuk tujuan suatu tugas tertentu, mencoba mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari seorang responden, dengan bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang itu. Dalam hal ini, suatu percakapan meminta keterangan yang tidak untuk bertujuan suatu tugas, tetapi yang hanya untuk bertujuan beramah-tamah, untuk tahu saja, atau untuk ngobrol saja, tidak disebut wawancara (Koentjaraningrat, 1997:129).

Observasi Lapangan
Observasi, peneliti pergunakan sebagai keabsahan untuk menunjang penulisan ini, dengan observasi dapat melihat secara langsung keberadaan lokasi penelitian. Pada dasarnya memang sudah ada tempat atau ruangan yang akan dipakai sebagai museum mini, sebagai tempat pembelajaran. Menurut Waka Humas MAN Tulungagung 1 Bapak Masrohaini, dulunya ruangan yang akan dijadikan tempat museum mini adalah ruang multimedia.
Penelitian lapangan pada hakikatnya merupakan metode untuk menemukan secara khusus dan realitas apa yang terjadi di objek penelitian itu. Maka dengan itu dapat diperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara faktual, memaparkan dan melaporkan keadaan suatu objek apa adanya. Ringkasnya penelitian lapangan pada umumnya bertujuan untuk memecahkan masalah-masalah dalam menyingkap fakta apa adanya (Koentjoroningrat, 1997:108-110).

Instrument Penelitian
Alat yang peneliti pergunakan untuk penelitian kali ini diantaranya;
a. Komputer, sebagai alat menulis hasil penelitian sampai pengolahan data secara optimal.
b.  Heandphone, sebagai alat untuk merekam saat wawancara dengan sumber informan, sebelum diolah dalam bentuk tulisan yang sistematis.
c.  Buku tulis dan boll point, untuk mencatat hal-hal yang diperlukan saat observasi.

Sumber Data yang Didapat
Dengan penelitian, baik secara wawancara, observasi, dan pengoptimalisasian penelitian dengan pengolahan sumber data, peneliti tentunya mendapatkan hasil yang memuskan. Seperti halnya buku referensi yang mengenai dunia pendidikan dan pengajaran, teknik pembelajaran yang kondusif, inovatif, serta kreatif, dan buku literatur yang menyangkut inovasi pembelajaran. Adapun yang diperoleh secara observasi, seperti wawancara dengan sumber informan, dan melihat tempat observasi secara langsung. Dengan sumber data yang ada, peneliti olah secara optimal untuk menghasilkan tulisan yang sistematis, dan kontruktif.

MUSEUM MINI:
RUANG PEMBELAJARAN UNTUK MEMAHAMKAN MATERI AJAR IPS

Museum: Konsep Berpikir
Pembelajaran yang tidak melelahkan atau pembelajaran tidak mencuri waktu yang lama, sehingga bisa belajar dengan santai, tenang, namun mengena terhadap pola pikir anak didik. Konsep belajar di museum mini yang ada di dalam lingkup lembaga pendidikan ini setidaknya mampu memberikan wawasan kearifan lokal maupun global tanpa meninggalkan materi ajar yang semestinya. Keberadaan museum mini yang terdapat pada lembaga pendidikan, memiliki sifat penyampaian informasi terhadap anak didik. Pengembangan berpikir secara kreatif merupakan dasar kita untuk memahami hakikat pengetahuan.
Museum mini merupakan wadah akselerasi antara budaya, seni, sejarah, ekonomi, dan lain sebagainya untuk menjalin berkesinambungan antara waktu ke waktu. Ruang dan waktu menjadi sisi kehidupan dalam proses pembelajaran yang memberikan interaksi yang dinamis antara koleksi museum, pengajar, dan yang diajarkan. Komunikasi yang dinamis akan membuat prosesi pembelajaran menjadi senang tanpa kejenuhan (setereosasi). Dinamika dalam pembelajaran akan menunjukkan nilai-nilai yang realita mana yang kurang dan mana yang harus dibenahi, serta mana yang harus diberdayakan sesuai tujuan pembelajaran.
Kontribusi perubahan yang positif dalam sektor pembelajaran, akan memberikan wawasan yang baik dalam proses pembelajaran. Ketrampilan berpikir merupakan hal penting dalam proses kegiatan belajar. Dengan ketrampilan berpikir, peserta didik dapat merespon dengan adanya wacana dalam mata pelajaran yang sedang dibahas. Sehingga dengan adanya dukungan untuk mengolah pikiran, setidaknya menjadi khasanah berpikir bagi generasi pelajar. Keberadaan kearifan lokal yang ada di lingkungan sekitar tentunya bisa dijadikan suatu media pembelajaran. Maka dengan adanya konsep alternatif pembelajaran di tempat museum mini, diharapkan memudahkan pemahaman anak didik terhadap materi yang sedang diajarkan.
Museum mini yang berada di lingkungan lembaga pendidikan, mampu memberikan sikap pemahaman terhadap anak didik, terutama mengenai materi ajar IPS. Mengolah pemikiran dengan baik, akan mendasari anak didik senang dalam mengapresiasikan hasil pemikirannya. Memberdayakan lingkungan yang educative mencerminkan pengelolaan lingkungan yang baik dan mampu mengkondusifkan untuk ruang belajar anak didik.
Pembelajaran IPS perlu dirancang sedemikian rupa, sehingga berpotensi untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif peserta didik. Pengembangan dan pemberdayaan berpikir kreatif perlu dilakukan seiring dengan pengembangan proses pengevaluasian dan mengukur kemampuan anak. Berpikir kreatif menekankan aspek pemahaman, gagasan, keluwesan, pengamatan, dan ide-ide yang baik. Sehingga untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif seorang anak didik adalah dengan memberikan evaluasi secara tertulis, teks, maupun dengan komunikasi yang dilakukan oleh gurunya.
Selain ruang kelas, keberadaan ruang museum mini merupakan wadah untuk tempat berpikir, terutama mengenai wawasan pengetahuan IPS. Menurut Utami Munandar (2009:31), agar kreativitas anak dapat terwujud, maka diperlukan dorongan atau motivasi baik dari diri sendiri (motivasi instrinsik) dan dorongan dari luar atau lingkungan (motivasi ekstrinsik). Motivasi dari lingkungan sangat dibutuhkan oleh anak dalam mengembangkan pikirannya ketika anak tersebut mulai membentuk hubungan-hubungan baru dengan lingkungannya dalam upaya menjadi dirinya sepenunya.
Keberadaan ruangan museum mini tersebut, menjadi ruangan yang mampu mengembangkan potensi berpikir kreatif anak didik, melalui koleksi museum mini. Kreativitas berpikir memang sangat dibutuhkan dalam proses pembelajaran, dengan otak yang aktif untuk berpikir setidaknya memiliki ide-ide cemerlang dalam materi ajar yang sedang dipelajari. Masih menurut Utami Munandar (2009:1), bahwasanya kreativitas secara umum mencakup tiga hal, yaitu kognitif (berpikir), afektif (sikap dan kepribadian), dan psikomotor (keterampilan dan prilaku).

Belajar Tidak Harus Menunggu Diajar
Pada dasarya dunia pendidikan memang memerlukan instrument untuk memahamkan peserta didik dalam suatu materi ajar, sehingga perlunya alat pemahaman terhadap materi yang disampaikan memang diperlukan. Sepatutnya sebagai pengajar atau guru mempunyai imajinasi mengajar yang lebih luas serta mampu memanfaatkan alam dan lingkungan sekitar sebagai media pembelajaran yang positif. Hakikat pendidikan tidak hanya terpaku dalam ruang yang bernama kelas, melainkan keberadaan museum, alam sekitar, dan alat lainnya dapat menjadi alternatif lain yang positif. Belajar tidak harus menunggu untuk diajar, melainkan ketika pengajar sudah mampu memobilisasi anak didik, maka yang ada secara tidak langsung anak didik akan mampu berjalan sendiri dalam proses pembelajaran.
Keberadaan museum mini di suatu lembaga pendidikan, bisa menjadi alternatif dalam proses pembelajaran mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Kalau kita ketahui pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di tingkat SMA/MA, seperti halnya: Sejarah, Antropologi, Geografi, Ekonomi, Akutansi, dan Sosiologi. Sehingga ketika guru mengajar bisa langsung mengena materinya kepada anak didik ketika dimasukan ke dalam ruangan museum mini yang dimiliki oleh lembaga pendidikan yang bersangkutan. Di dalam museum ini sendiri, tentunya terdapat berbagai sajian menu koleksi contoh yang sesuai dengan materi Ilmu Pengetahuan Sosial.
Seperti contoh ketika materi sejarah, maka di museum mini itulah para pengajar dapat menerangkan langsung dengan instrument kesejarahan yang sudah dikoleksi. Begitu pula dengan materi mata pelajaran ekonomi, maka seperti contoh uang kartal, struk pembayaran/penarikan uang di bank, giro, cek, dan contoh perbankan lainnya. Pada mata pelajaran Sosiologi, seperti film kemasyarakatan, dan lain sebagainya tentunya yang dapat mewakili materi ajar.
Inti dari keberadaan museum mini sendiri sebagai wadah proses pembelajaran yang langsung melalui benda-benda koleksi. Museum mini, bisa terwujud apabila kebutuhan bapak/ibu guru sebagai pengajar sudah mampu berpikir secara rasional, bahwasanya mencerdaskan, memintarkan, dan memahamkan peserta didik tidak hanya terpaku pada teks-teks dan model ceramah. Namun dengan adanya fasilitas museum mini tersebut pengajar langsung menerapkan proses pembelajarannya secara contoh bukti fisik.
Lembaga pendidikan yang baik apabila mampu memenuhi kebutuhan peserta didiknya agar mampu membentuk karakteritik yang baik, pola berpikir yang dinamis, serta mampu mewujudkan keselarasan antara kehidupan pribadi, lembaga, dan masyarakat. Wujud karakteristik sedemikian rupa, bisa terjadi apabila keharmonisan terhubung dengan baik antara lembaga, peserta didik, wali murid, dan guru, sebagai pengajar yang memahami betul karakteristik siswa-siswinya, karena sebagai guru pasti sering bertatap muka langsung dengan anak didiknya.
Pengajar yang sering bertatap muka, tentunya mampu menilai keberadaan anak didiknya, kekurangan, dan kelebihan. Sehingga untuk memenuhi kekurangan pemahaman anak didiknya, maka selayaknya ada museum mini sebagai alternatif ruangan yang bisa dijadikan sebagai tempat pembelajaran. Museum mini yang didesain dengan khas interaksi pembelajaran akan menjadikan kenyaman peserta didik dalam memahami materi yang diajarkan oleh guru.
Didalam ruangan museum mini tersebut, setidaknya anak didik sudah mempunyai gambaran atau menambah wawasan pengetahuan. Ketika anak memasuki museum mini, pola pikiran anak didik sudah terjadi reaksi positif. Setidaknya museum mini memiliki apresiasi keilmuan terhadap anak didik, pengajar, dan lembaga.
Guru, istilah orang Jawa biasa diartika “Digugu lan Ditiru”, sifat keguruan harus mencerminkan adab sopan, santun, tutur tinutur yang baik, tidak menyinggung perasaan anak didik maupun orang lain. Sehingga guru setidaknya terus melakukan pembaharuan terhadap diri, dan proses inovasi pembelajaran. Pembaharuan dalam skala kecil, dimulai dari kepribadian, dan selanjutnya bisa diterapkan pada anak didik. Hal sedemikian rupa yang bisa dianggap belajar tidak harus menunggu untuk diajar.

Peralatan di Museum Mini IPS
Museum mini yang ada di lembaga pendidikan, merupakan wadah untuk pemahaman dalam materi pelajaran IPS yang sedang berlangsung. Peralatan adalah alat, media, atau barang benda, yang bisa mendukung terjadinya proses interaktif dalam pembelajaran dengan materi yang sedang diajarkan oleh pengajar. Didalam museum mini IPS, terdapat pula peralatan pendukung proses pembelajaran. Sehingga keberadaan museum mini IPS, ruang lingkup koleksinya mengenai mata pelajaran sejarah, antropologi, sosiologi, ekonomi, akutansi, dan geografi, adapun desain ruangan museum mini IPS diberi prasarana seperti: karpet, AC, tempat sampah, dan pewangi ruangan. Adapun peralatan lainnya sebagai pendukung keberadaan museum mini IPS yang penulis dapat dari Waka SasPras (Sarana Prasarana) MAN Tulungagung 1, yang berbentuk proposal ini diantaranya:

No
Barang Keperluan
Volume
Keterangan
1
Komputer
1 set
Terdiri:
1.      Monitor
2.      CPU
3.      Printer
4.      Sound speaker
2
Karpet
1 ruang
Untuk tepat duduk lesehan saat proses pembalajaran.
3
Lemari kaca
6 buah
bersaf
Penyimpanan peralatan media pembelajaran
4
Etalase
6 buah
Menyimpan barang media pembelajaran, dengan ukuran:
P: 1,5 meter
L: 0,5 meter
T: 1 meter
Persaf: 30 cm
5
Meja kecil
10 buah
Ukuran: 1 m x 1 m
Sebagai tempat berdiskusi
6
Papan tulis (White Board)
2 buah
Tempat menulis bapak/ibu guru untuk menerangkan materi pelajaran
7
Rak CD/DVD
1 buah
Tempat penyimpanan CD/DVD media pembelajaran

Selain itu penulis dapat menambahkan, tidak hanya barang yang berwujud fisik saja untuk dijadikan contoh materi ajar. Melainkan dengan adanya komputer PC, bisa diberi program multimedia pembelajaran, seperti program Encarta, software penyebaran Islam di Indonesia, software perbankan, dan film yang bertema pembelajaran. Sehingga sinergi yang baik untuk mendukung pembelajaran merupakan sesutau kebaikkan dalam mengembangkan dunia pendidikan. Peralatan yang dimaksud dalam tatanan museum mini IPS merupakan suatu media untuk proses pemahaman dalam pembelajaran materi ajar. Sehingga apa yang dimaksud dengan peralatan disini adalah suatu alat untuk media pembelajaran. Mata pelajaran IPS sendiri terbagi menjadi enam bagian, seperti sejarah, antropologi, sosiologi, ekonomi, akutansi, dan geografi. Setidaknya di dalam ruangan museum mini terdapat berbagai koleksi yang mewakili materi ajar IPS.
Seperti hal sejarah dan antropologi, terdapat koleksi arca, uang kuno, kitab klasik, lontar, serta lain sebagainya. Begitu pula dengan sosiologi, berbagai media yang bersinggungan juga ada, seperti gambar adat masyarakat, media film kerusuhan masyarakat, demonstrasi, dan rekaman wawancara masyarakat. Materi ajar yang lainnya seperti ekonomi dan akutansi juga memiliki koleksi tersendiri, untuk melengkapi museum mini, seperti contoh fisik uang kartal, giro, cek, software perbankan, cara pelayanan di bank maka dibuatlah mini bank, dan contoh fom akuntan (debet kredit).
Dengan adanya koleksi museum mini yang bisa dijadikan materi ajar pemahaman terhadap anak didik, merupakan kesatuan sistem untuk mengembangkan dan memperdayakan lingkungan sekitar. Setidaknya lembaga pendidikan sendiri juga memperhatikan peng-update-an koleksi yang berada di museum mini, hal tersebut untuk menjadikan proses pembelajaran semakin mudah.
Sekilas gambaran penggunaan museum mini IPS, agar tidak terjadi kecanggungan dalam pemakaiannya, yaitu:
1.      Saat mata pelajaran IPS yang sedang diampu guru memerlukan contoh atau suasana yang kondusif untuk mengajar, sehingga guru bisa mempergunakan ruangan museum mini IPS.
2.      Guru setidaknya memberikan pengarahan kepada anak didiknya sebelum ke museum mini IPS, dan guru sudah mempersiapkan agenda kegiatan terlabih dahulu sebelum mengajar di museum mini.
3.      Guru harus berkoordinasi terlabih dahulu dengan penjaga/pengurus museum mini, untuk mempersiapkan apa yang diperlukan ketika mengajar, sehingga pengajar setidaknya berkomunikasi terlebih dahulu.
4.      Setelah semua kesiapan optimal, guru memanggil anak didiknya yang berada di kelas untuk menuju ke museum mini IPS, tentunya ketika masuk ke museum mini dengan rapi, sopan, dan santun, serta absen terlebih dahulu ketika masuk museum mini IPS, guru yang memakai mengisi jurnal pemakaian ruangan terlebih dahulu.
5.      Anak didik dipersilahkan mengambil posisi duduk, sesuai dengan kelompok yang sudah dibagi atau meja yang sudah dipersiapkan petugas.
6.      Setelah proses pembelajaran berlangsung, guru sekali-kali mengingatkan terhadap anak didik pentingnya menjaga koleksi museum mini, dan juga kebersihan ruangan, agar ketika dipakai lagi terasa nyaman. Selain itu saat berdiskusi interaktif, anak didik tidak boleh membuat kegaduhan.
7.      Ketika proses pembelajaran sudah selesai, guru mengingatkan kembali barang-barang bawaan anak didik untuk di cek kembali, serta ketika keluar dari ruangan tidak boleh tergesa-gesa, dan akhirnya guru menutup proses pembelajaran dengan salam.

Intinya adalah penataan tata letak koleksi museum mini yang baik dan kebersihan terjaga, akan membuat nyaman dalam proses pemahaman materi ajar dengan media contoh fisik. Sinergi yang baik, akan menjadikan pembelajaran dan lingkungan lembaga menjadi terkendali dan kondusif. Bagi Liem Khing Nio, dalam hal pendidikan, semua amat tergantung dari yang tua. Kalau mau mendapatkan pendidikan yang baik, yang tua harus memberi contoh yang baik pula. Ini berlaku tidak hanya di sekolah tetapi juga di rumah. Jadi contoh itu merupakan hal yang paling penting dalam pendidikan. Kita tidak usah banyak omong, tidak usah gembar-gembor, tidak usah menyuruh anak membuat semboyan atau yel-yel, atau membuat maklumat lalu ditempelkan di mana-mana dan setiap pagi diucapkan. Apa arti semua, kalau yang tua tidak memberi contoh? Keharusan memberi contoh itu tidak hanya berlaku untuk zaman dahulu, tetapi juga untuk mendatang, bahkan sampai akhir zaman. Contoh tidak hanya diberikan kepada anak-anak saja, tetapi terus diberikan seiring dengan perkembangan usia dan jiwa anak. Selama contoh itu hilang dari pendidikan, jangan harap akan diperoleh manusia yang diharapkan (Tonny, 2004. 48-49).



Kepala Sekolah

Gambaran struktur pengelolaan museum mini di atas, merupakan kesatuan sistem untuk membangkitkan gairah pembelajaran dalam lingkup lembaga pendidikan. Tugas kepala sekolah sendiri selain sebagai penanggungjawab, juga bisa memberikan motivasi kepada guru maupun anak didiknya. Sedangkan waka kurikulum merupakan penggerak aktif kepada ketua jurusan IPS maupun ketua rumpun IPS agar bisa mengoptimalkan keberadaan museum mini IPS. Sedangkan Waka Humas, sangat dibutuhkan dalam penginformasian yang ter-update dari keberadaan museum mini IPS tersebut, mungkin bisa bekerja sama dengan pihak luar lembaga untuk meningkatkan keberadaan museum mini. Sebagai Waka SasPras, bergerak dalam bidang penambahan koleksi museum mini tentunya, serta mengerahkan tukang kebersihan untuk selalu membersihkan, serta mengontrol ruangan.
Tugas dari pengelola museum mini sendiri memerlukan tanggungjawab yang penuh, menginventaris, mengecek benda-benda koleksi, menjaga keamanan dan stabilitas penggunaan ruangan, membuat absen dan jurnal pemakaian, serta mengkondusifkan ruangan ketika ada guru atau pengajar yang sedang memakai.



PENUTUP
Simpulan
Model pemahaman materi ajar dengan langsung memberikan contoh berupa koleksi yang ada di museum mini, merupakan proses pembelajaran alternatif yang efektif. Model pembelajaran dengan konsep memahamkan materi ajar menerapkan contoh bukti langsung, dan dibawa pada ruangan museum mini, memiliki tujuan teoritik yang humanistic, adaptatif, dan memiliki orientasi kedepan yang baik. Di museum mini sendiri pada dasarnya pembelajaran yang sederhana, normatif, dan juga anak didik belajar bernarasi dengan koleksi museum mini, yang tentunya sesuai dengan materi ajar yang sedang dipelajarinya.
Model pembelajaran dengan di bawa ke museum mini merupakan penerapan studi yang di kemas secara koheren dengan hakikat pendidikan yang memahamkan. Namun secara filosofi, hakikat pembelajaran adalah untuk memfasilitasi aak didik dan pengajar dalam menumbuh kembangkan kesadaran belajar, sehingga anak didik mampu mengolah otak untuk berpikir yang baik, dan mampu memcahkan permasalahan. Sehingga museum mini untuk pembelajaran alternatif dalam konsep memahamkan anak didik dalam materi ajar Ilmu Pengetahuan Sosial.





DAFTAR PUSTAKA

Buku
Alwi, Hasan, 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Baharuddin dan Wahyuni, 2010. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jogjakarta : Ar-Ruzz Media.
Bungin, Burhan, 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta : PT. Rajawali Grafindo Persada.
.                          , 2009. Sosiologi Komunikasi; Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta : Penerbit Kencana.
Johson, Elaine B., 2010. CTL: Contextual Teaching & Learning, Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna. Bandung : Penerbit Kaifa.
Koentjaraningrat (Ed.). 1997. Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga. Jakarta : PT Gramedia Utama.
Kridalaksana, Harimurti. 1985. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Ende Flores : Nusa Indah.
Munandar, Utami, 2009. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Rahmad, Jalaluddin, 2003. Psikologi Komunikasi. Bandung : PT Remaja Rosadakarya.
Suparno, 2000. Budaya Komunikasi yang Terungkap dalam Wacana Bahasa Indonesia. Malang : Universitas Negeri Malang.
Tonny d. Widiastono (Ed), 2004. Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta : Penerbit Kompas.
Ucahyana. 2000. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung : Citra Aditya Bakti.

Makalah
I Wayan Santyasa, 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif. Disajikan dalam Pelatihan tentang Penelitian Tindakan Kelas bagi Guru-Guru SMP dan SMA di Nusa Penida, tanggal 29 Juni s.d 1 Juli 2007.
Peraturan Pemerintah Mengenai Permuseman, Tahun 1995.

Internet
http://id.wikipedia.org/wiki/Museum (diunduh, 10/06/2013  |  23:45 WIB).
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2011/03/12/karakteristik-mata-pelajaran-ilmu-pengetahuan-sosial-ips/ (diunduh, 15/06/2013   |   05:06 WIB).
http://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu_sosial (diunduh, 15/06/2013  |  05:25 WIB).
staff.uny.ac.id/sites/default/files/Pendidikan%20IPS%20SD.pdf‎ (diunduh, 17/06/2013  |  03:11 WIB)